New Normal yang Dipaksakan



Oleh : Jumiyati Nurdin
          (Aktivis Dakwah)

Penaganan Covid-19 di Indonesia terus menuai kontroversi. Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan kebijakan akan diberlakukannya New Normal. Disaat wabah Corona masih mengganas hal ini bisa dilihat dengan semakin bertambahnya korban tetapi di sisi lain pemerintah mencanangkan  program “New Normal”  akan segera dilaksanakan.
Seperti dilansir dari Kompas.com(16/5/2020), definisi New Normal menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmita adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Hal ini berarti segala sektor kehidupan akan beroperasi seperti semula seperti dibidang ekonomi, transportasi, pendidikan, pemerintah dan lain sebagainya.
Mengutip data covid19.go.id,  total kasus per 30 Mei 2020 mencapai 25.773 orang, 7.015 pasien sembuh, dan 1.573 pasien meninggal dunia. Sementara, penularan virus Corona per harinya juga meningkat signifikan pada Mei 2020. Kalau bulan lalu hanya sebanyak 100 orang-400 orang, kini peningkatannya sempat menembus 900 orang.
Jika dilihat maka kebijakan untuk diberlakukannya New Normal dirasa kurang tepat. Mengacu pada syarat oleh para ahli bahwa New Normal bisa dilakukan apabila telah memenuhi enam kriteria s,alah satunya ialah kurva penambahan kasus Covid-19 yang mulai melandai.
Melihat fakta tersebut maka Indonesia belum memenuhi syarat untuk diberlakukannya New Normal. Maka tidak heran jika kebijakan yang dikeluarkan pemerintahpun mendapat berbagai protes dan tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat.
Epidemiolog FKM Universitas Hasanuddin Ridwan Amiruddin menilai, rencana penerapan hidup normal baru atau new normal yang dipilih pemerintah terkesan prematur. Pasalnya, penerapan ini dilakukan ketika kasus virus Corona di tanah air masih tinggi.
Ridwan menjelaskan, setiap negara pasti akan memikirkan dua hal, yakni bagaimana menangani Covid-19 dan bagaimana roda perekonomian tetap berjalan. Diandaikan sebagai piramida, sebuah negara akan menyelesaikan masalah keamanan dan kesehatan publik, lalu ketika pandeminya sudah dapat dikendalikan, barulah masuk ke konsen ekonomi.
Selain para ahli, tak ketinggalan organisasi keagamaan Muhammadiyah, adalah satu dari sedikit lembaga yang menyuarakan kritik dan skeptis dengan kebijakan Presiden Joko Widodo soal penanganan pandemi untuk berdamai dengan dengan Covid-19. Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Agus mengatakan ajakan tersebut "bukanlah suatu sikap yang tepat" mengingat pergerakan kasus positif baru terus naik dari hari ke hari. Ajakan tersebut juga tidak tepat karena "di sisi lain ada nasib para tenaga kesehatan dan warga yang terpapar dipertaruhkan.(Tirto,29/5/2020)
Pemberlakuan New Normal ini pun dibarengi dengan penurunan ribuan TNI. Hal ini semakin menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dalam menangani wabah ini. Penurunan TNI dan Polri di titik-titik keramaian untuk memperingati siapa saja yang tidak patuh.
Namun Kepala Biro Penelitian, Pemantauan dan Dokumentasi Kontras Rivanlee Anandar tidak setuju dengan pelibatan aparat karena menurutnya itu justru "membentuk situasi tidak normal, bukan pengkondisian kelaziman baru." "Malah cenderung masuk ke ranah sipil dan berbuat sewenang-wenang. Keterlibatan mereka dalam penanganan COVID-19 menyusutkan kebebasan sipil,(Tirto,27/5/2020).
Alih-alih ingin  menangani wabah agar reda dan kehidupan kembali ke titik nomal, yang ada membahayakan nyawa rakyat.
Melihat bagaimana pemerintah yang tergesa-gesa untuk memberlakukan New Normal disaat kurva wabah ini yang bahkan belum mencapai puncaknya menunjukkan bahwa keberlangsungan ekonomi lebih penting daripada nyawa rakyat. Hal ini dapat kita lihat siapa yang diuntungkan dari diberlakukannya kembali New Normal, yang pastinya adalah para pemilik modal atau pengusaha. Kita bisa bayangkan bagaimana pengusaha ini mengalami kerugian yang besar dikarenakan lockdown yang diberlakukan pemerintah, dan segera ingin meraup keuntungannya kembali. Disisi lain masyarakatlah yang dirugikan karena akan menjalani aktivitas seperti semula tanpa tahu bahaya yang ada di luar sana. Masyarakat tak punya pilihan lain selain keluar dan mencari nafkah, karena pemerintah tak menjamin kebutuhan masyarakat selama pandemi ini.
Tidak heran jika pemerintah mengambil langkah seperti itu, mengingat sistem ini berdiri di atas sistem kapitalisme, dimana para pemilik modal yang menjalankan roda pemerintahan secara nyata. Maka kebijakan yang diambilpun berdasarkan asas manfaat. Selama ada keuntungan maka tak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan nyawa  seorang manusia sekalipun.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem ini telah gagal dalam menangani wabah ini dan dalam menjamin keselamatan jiwa dan raga masyarakat serta menjamin kesejahteraan rakyat. Lalu bagaimana Islam memandang hal ini?
Istilah New Normal sendiri tidak dikenal dalam Islam, karena menurut ajaran Islam yang namanya kehidupan Normal adalah ketika kehidupan masyarkat bernapaskan Islam.  Aturan yang diterapkan adalah aturan Islam. Tidak ada asas manfaat dalam Islam, penguasanya juga merdeka tidak dikekang oleh pengusaha. Dalam Islam nyawa seorang manusia sangat berharga, bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak” (HR. Nasai 3978,Tirmidzi 1455).
Melihat kondisi yangng sudah sedemikian abnormal, masihkah kita berharap pada sistem ini?
Wallahu a'lam


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak