New Normal Terbit Saat Wabah Semakin Meroket



Oleh: Miftahhurahmah, S.Pd


Sejak awal Maret 2020, kebijakan penanganan percepatan Covid-19 di Indonesia, memang terkesan sporadis dan berubah-ubah. Mulai dari galaunya pemerintah antara definisi pulang kampung dan mudik, masih longgarnya Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk ke Indonesia, pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga berdamai dengan corona yang dimaknai sebagai kondisi “New Normal”.
Pemerintah Pusat melalui Presiden Joko Widodo meminta masyarakat bersiap untuk menjalani ‘new normal’ atau hidup normal baru di tengah pandemi Covid-19 yang akan mulai dijalankan pemerintah pada 1 Juni 2020 mendatang.(jejakrekam.com/25/05/2020)
Kebijakan yang diambil oleh orang nomor satu di negeri ini telah menuai pro dan kontra di tengah masyarakat, sebagian besar menyangsikan apakah memang sudah sepatutnya Indonesia mengambil langkah new normal yang sekarang menjadi trend global karena banyak negara-negara lain melakukan hal yang sama, namun tak sedikit pula yang menyetujui pemberlakukan kondisi ini lantaran tuntutan ekonomi, karena usaha-usaha mereka diambang kebangkrutan jika situasi PSBB atau bekerja dari rumah terus dilakukan.

Terlepas dari adanya pro dan kontra pemberlakuan new normal di beberapa provinsi dan kota atau kabupaten di seluruh Indonesia, ada hal yang harus diperhatikan agar dipenuhi untuk memberlakukan kebijakan ini, diantaranya adalah sudahkah kurva penyebaran virus menurun dari hari kehari, bisakah dipastikan masyarakat mematuhi protokol kesehatan jika new normal diberlakukan.

Terkait hal pertama  fakta berbicara bahwa  saat ini jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia menurut data terakhir covid19.go.id pada Senin (25/5/2020) yang diakses jejakrekam.com pukul 19.00 Wita mencapai 22.750 orang. Di Kalimantan Selatan sendiri, jumlah orang terpapar virus asal Wuhan tersebut hingga hari ini pukul 16.00 Wita berdasar data GTPP Covid-19 Kalsel mencapai 603, dengan Banjarmasin yang mendominasi sebesar 226 kasus. Angka yang masih sangat tinggi untuk dianggap aman.

New Normal hanya berlaku bagi negara-negara yang sudah sukses melawan Covid-19 seperti Cina, Taiwan, Vietnam, dan Jerman. Sementara di Indonesia? Data per Selasa 26 Mei 2020 ada 415 kasus baru dengan total 23.165 pasien positif. Bagaimana bisa menerapkan New Normal sementara grafik pasien positif corona semakin meroket?
Faktor kedua yakni kesadaran masyarakat, berkaca dari kondisi pra lebaran, dimana mall, pasar, dan tempat umum lainnya masih dipenuhi oleh orang-orang yang berbelanja kebutuhan lebaran yang didominasi kebutuhan akan sandang. Banyak fakta yang terjadi ketika mereka berkumpul, mereka berjubel tak menjaga jarak, dan tak semuanya menggunakan masker.

Ini yang sangat dikhawatirkan ketika new normal di berlakukan pada saat wabah ini belum benar-benar berakhir sementara kondisi masyarakat justru tingkat kesadarannya masih minim. Pertanyaan yang akhirnya muncul adalah tepatkah langkah yang diambil penguasa jika kehidupan normal baru dengan segenap protokolernya diterapkan di Banua ini?

Ada beberapa sarana yang akan dibuka kembali selain pasar, mall, transportasi, yakni sekolah dan acara pernikahan. Terkait acara pernikahan ada batasan jumlah undangan yang dibolehkan dan tetap ada protokol kesehatan yang harus dijalankan. Namun siapa yang bisa menjamin bahwa seluruh masyarakat bisa mematuhi hal itu? mengingat kesadaran mereka tentang bahaya virus ini saja masih disangsikan berkaca dari kondisi mereka yang berjejalan di pasar dan mall beberapa waktu lalu.

Hal yang paling mengkhawatirkan adalah wacana sekolah akan dibuka lagi, andai kebijakan ini diambil disaat wabah sudah hilang, atau minimal sudah ada vaksin yang ditemukan, maka ini akan sangat menyenangkan bagi orangtua dan anak didik yang sudah terlanjur bosan di rumah. Tetapi apa yang akan terjadi jika hal ini dilakukan justru ketika kurva pasien positif masih tinggi bahkan cenderung meroket?

Fakta di negara-negara lain yang kembali membuka sekolah-sekolah justru segera menutup kembali karena ditemukan fakta anak-anak mulai terjangkiti virus ini.
orang dewasa saja masih ngeyel tak pakai masker dan tidak jaga jarak, lalu bagaimana bisa berharap banyak dari anak-anak untuk disiplin akan protokol kesehatan.
Sungguh sangat mengkhawatirkan meski pemberlakuannya disertai dengan kedisiplinan sekalipun.

Dalam Islam penanganan wabah didasarkan pada basis data ilmiah dan sains, menjadikan peran sains dan ilmuwan dalam pengambilan kebijakan negara terdiri dari beberapa langkah, diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, Islam memberikan porsi bagi para pakar atau yang biasa disebut dengan khubaro’ dalam mengambil kebijakan negara untuk menyelesaikan masalah masyarakat yang rumit dan membutuhkan analisis mendalam. Pada masa kekhilafahan Islam pernah terjadi wabah Tha’un (sejenis penyakit kolera) saat dipimpin oleh Umar bin Khaththab. Beliau tidak memberikan keputusan sendiri melainkan meminta pendapat dari para pakar dan orang-orang yang berilmu berkaitan dengan wabah ini. Amr bin Ash, seseorang yang terkenal cerdik dalam mengatasi masalah-masalah rumit, mulai melakukan analisis terkait wabah ini. Dia menyimpulkan bahwa penyakit ini menular saat orang-orang berkumpul sehingga rekomendasi yang diberikan adalah dengan melakukan karantina kepada masyarakat.
Kedua, fokus ilmuwan dan sains digunakan untuk menyelesaikan masalah masyarakat, bukan sekadar memenuhi target keuntungan dunia industri semata.

Ketiga, Support penuh negara dalam Islam untuk pengembangan sains dan teknologi. Harusnya banyaknya ilmuwan yang sudah bersusah payah mencoba mencari solusi untuk pandemi ini benar-benar dihargai dan hasil karya anak negeri ini mestinya diapresiasi dan didengarkan oleh penguasa negeri.
Maka sudah seharusnya kita berusaha menerapkan Kembali Islam kafah, sehingga berbagai persoalan yang ada bisa mendapatkan solusi secara tuntas.
Wallahu a'lam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak