New Normal: Solusi Prematur yang Dipaksakan




Oleh: Ummu Ainyssa*


Hingga hari ini, penambahan kasus Corona atau Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda bakal membaik. Sejumlah data menunjukkan jumlah yang masih tinggi dan bertambah. Sejauh ini pemerintah sudah melakukan berbagai cara untuk mengatasi wabah ini, mulai dari memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), berdamai dengan Corona, hingga yang terbaru adalah kebijakan normal baru atau tatanan kehidupan baru yang disebut sebagai New Normal Life.

Kebijakan New Normal ini adalah kebijakan untuk membuka tempat-tempat publik seperti sekolah, bandara, perkantoran, tempat ibadah, pelabuhan, dan lain-lain dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Nampaknya kebijakan untuk menerapkan New Normal di tengah semakin lesunya ekonomi dampak pandemi Covid-19 pun benar-benar serius.

Dikutip dari Kompas.com pada Selasa (26/5/2020), saat meninjau stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat Presiden mengatakan TNI dan Polri akan disiagakan di keramaian untuk mendisiplinkan masyarakat dalam rangka menyongsong era New Normal atau kelaziman baru.
“Akan digelar di empat provinsi dan 25 kabupaten/kota mulai hari ini. Pasukan berada di titik-titik keramaian dalam rangka mendisiplinkan masyarakat agar mengikuti protokol kesehatan sesuai PSBB”, katanya.

Sementara Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyebut empat provinsi tersebut yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Gorontalo.
Kebijakan ini pun telah disambut oleh pemerintah daerah. Polda Jawa Barat menyatakan ada 17ribuan personel yang disiapkan untuk mengawal tatanan kehidupan normal baru. Kepala Bidang Humas Polda Jabar Komisaris Besar Saptono Erlangga mengatakan ke 17 ribu personel dari Polda Jabar tersebut akan mengawal pelaksanaan New Normal di 15 wilayah yang tersebar di Jabar.

Asa Indonesia untuk bebas kasus Corona pada bulan Mei pun kandas. Peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Pradiptajati Kusuma menilai Indonesia belum siap untuk menerapkan New Normal. Menurutnya di beberapa negara pelonggaran restriksi sosial diberlakukan karena jumlah kasus di negara mereka sudah berada di single digit setiap harinya sebelum New Normal dijalankan. 

Seperti diketahui beberapa negara seperti di Korea Selatan, Jerman, dan Singapura telah menerapkan New Normal pada 1 Juni 2020. Singapura saat ini kasus komunitas sudah di bawah 10 atau maksimal belasan per harinya. Ini mungkin karena sangat dibantu dengan kedisiplinan masyarakat dan ketegasan sanksi dari pemerintahnya. Begitu juga dengan Jerman yang mulai melakukan pelonggaran lockdown saat jumlah kasus positif di negaranya mencapai 400 orang per harinya. Setelah sebelumnya mengalami peak 6.000 kasus per harinya.

Jadi mereka melonggarkan restriksi sosial setelah angka kasus jauh di bawah. Apakah Indonesia sudah siap untuk melonggarkan restriksi sosial? Kalau dibandingkan dengan standar dari negara lain sih belum ya. Tapi juga restriksi sosial di Indonesia juga tidak seketat negara lain. Kata Pradiptajati kepada CNBC Indonesia, Rabu (27/5/2020).

Sementara di Indonesia penularan pasien kasus positif Covid-19 masih terbilang cukup tinggi. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat hingga Jumat (12/6/2020) jumlah kasus terkonfirmasi sebesar 36.408 dan pasien meninggal dunia sebesar 2.046 orang. Jumlah tersebut bertambah 1.111 orang dibanding sehari sebelumnya.

Epidemiolog FKM universitas Hasanuddin Ridwan Amiruddin juga menilai rencana penerapan hidup normal baru atau New Normal yang dipilih pemerintah terkesan prematur. Pasalnya penerapan New Normal dilakukan ketika kasus virus Corona Covid-19 di Tanah Air masih cukup tinggi. Ia mengatakan Indonesia hanya memikirkan menjalankan roda perekonomian meski pandemi Covid-19 belum selesai.

“Ini Indonesia masih di puncak, bahkan belum puncak sudah mau implementasi jadi terlalu dini, prematur ini. Jadi ini New Normal yang prematur.” Kata Ridwan dalam sebuah diskusi publik yang dilakukan secara virtual. suara.com, Kamis (28/5/2020)

Beginilah wajah buram penanganan wabah dalam sistem kapitalisme. Tolok ukur yang dipakai hanyalah mencari manfaat sebanyak-banyaknya. Menormalkan sistem ekonomi kapitalis yang mandek dipandang jauh lebih penting dibanding menyelamatkan nyawa rakyatnya. Manusia tetap harus berproduksi meskipun beresiko mati. Sementara proses produksi ini tidak lain hanya untuk menyenangkan masyarakat kapitalis agar perekonomian mereka tetap melejit dan bangkit kembali. Yang mana sejak pandemi masuk ke negeri ini awal bulan Maret lalu, laju pertumbuhan perekonomian sempat terpuruk di kuartal I-2020, yaitu hanya 2,97% berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS).

Sungguh kebijakan New Normal merupakan kebijakan yang prematur dan dipaksakan. Bagaimana tidak, masyarakat dipaksa untuk hidup normal di tengah keadaan yang abnormal. Masyarakat dipaksa beraktivitas kembali di tengah-tengah virus berbahaya yang kasat mata. Berbeda dengan New Normal di dalam Islam. Islam merupakan agama sempurna yang diturunkan oleh Allah SWT lengkap dengan semua aturannya.

Sebenarnya akar masalah dari semua ini adalah karena gagalnya sistem kapitalisme dalam menangani wabah. Jika saja negara begitu sigap sejak awal sebelum wabah masuk ke negeri ini dengan petunjuk yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat, kemungkinan kasus wabah tidak akan sebanyak ini. Namun nyatanya sejak awal langkah isolasi dengan luar negeri dan juga isolasi antar daerah tidak segera diterapkan oleh Pemerintah. Akibatnya, Covid-19 pun menyebar hampir ke seluruh negeri.

Padahal jauh sebelum ini Rasulullah pernah mencontohkan bagaimana cara penanganan wabah menurut syariat Islam. Di dalam Islam keselamatan nyawa manusia harus lebih didahulukan daripada kepentingan ekonomi. Apalagi sekadar memenuhi kepentingan ekonomi segelintir orang, yakni para kapitalis. Karena itu bagaimana mengendalikan dan mengatasi pandemi Covid-19 harus diprioritaskan.

Upaya yang pertama dilakukan adalah dengan isolasi/karantina wilayah yang terkena wabah. Rasullullah saw. bersabda:
“Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Dan jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu”. (HR al-Bukhari).

Tindakan isolasi ini dimaksudkan agar wabah tidak meluas ke daerah lain. Karena itu supply berbagai kebutuhan untuk daerah itu tetap harus dijamin. Ini hanyalah masalah manajemen dan teknis. Relatif mudah diatasi. Apalagi dengan teknologi modern saat ini. Namun  demikian, semua itu bergantung pada kebijakan dan sikap amanah Pemerintah sebagai pengurus rakyat.

Tindakan cepat isolasi/karantina cukup dilakukan di daerah terjangkit saja. Daerah lain yang tidak terjangkit bisa tetap berjalan normal dan tetap produktif. Daerah-daerah produktif itu bisa menopang daerah yang terjangkit baik dalam pemenuhan kebutuhan maupun penanggulangan wabah. Dengan begitu perekonomian secara keseluruhan tidak terdampak.

Setelah itu, di daerah terjangkit wabah diterapkan aturan agar memisahkan antara orang yang sakit /terjangkit wabah dengan orang yang sehat.
“Janganlah kalian mencampurkan orang yang sakit dengan yang sehat”. (HR al-Bukhari).

Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara menjaga jarak antar orang-perorangan serta harus diketahui siapa yang sakit dan siapa yang sehat. Jaga jarak bisa dilakukan dengan physical distancing seperti yang pernah diterapkan oleh Amru bin ‘Ash dalam menghadapi wabah Tha’un ‘Umwas di Palestina. 

Adapun untuk mengetahui siapa yang sakit dan yang sehat harus dilakukan 3T (test, treatment, tracing). Kecepatan dalam melakukan 3T itu menjadi kunci. Harus dilakukan tes yang akurat secara cepat, masif dan luas. Lalu dilakukan tracing kontak orang yang positif dan dilakukan penanganan lebih lanjut. Mereka yang positif dirawat secara gratis ditanggung negara. Tentu semua itu disertai dengan langkah-langkah dan protokol kesehatan lainnya yang diperlukan.

Sementara bagi mereka yang sehat tetap bisa menjalankan aktivitas kesehariannya. Mereka tetap dapat beribadah dan meramaikan masjid. Mereka juga tetap menjalankan aktivitas ekonomi dan tetap produktif. Dengan begitu daerah yang terjangkit wabah tetap produktif sekalipun menurun.

Dan inilah New Normal menurut syariat Islam. Dengan penanganan sesuai petunjuk syariah ini, nyawa dan kesehatan rakyat tetap bisa dijaga. Agama dan harta (ekonomi) juga tetap terpelihara. Kebijakan seperti itulah yang semestinya diambil dan dijalankan oleh pemerintah sekarang ini.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.


*(Pendidik Generasi dan Member AMK)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak