New Normal, Narasi Timpang Hadapi Wabah Dari Kaum Kapital



Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis

Menurut Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmita: “New Normal  Life adalah perubahan perilaku untuk tetap beraktifitas normal namun dengan ditambah penerapan protocol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19”.( Tribun Kaltim, 25 Mei 2020)

Sementara Direktur Regional WHO, Dr. Hans Henri P. Kluge memberikan panduan bagi Negara yang akan menerapkan ‘new normal’ bahwa setiap langkah untuk meringankan pembatasan dan transisi harus memastikan: Terbukti transmisi covid-19 sudah bisa dikendalikan, Kesehatan masyarakat dan kapasitas system kesehatan mampu mengidentifikasi,mengisolasi,menguji,melacak kontak, dan mengkarantina, Melakukan pengaturan ketat terhadap tempat yang memiliki kerentanan tinggi, Resiko penyebaran imported case dapat dikendalikan, Masyarakat berperan aktif terlibat dalam era transisi ( Tempo.co,dan WHO) 

Sementara belajar dari kasus Korea Selatan yang mengalami lonjakan kasus Covid-19 setelah memasuki  new normal (setelah sebelumnya mengalami penurunan jumlah kasus Covid positif) hingga ada 79 kasus baru ( AFP, 28 Mei 2020 dan Jurnal Presisi, 29 Mei 2020), seharusnya menjadikan Indonesia mengkaji kembali keputusan new normal ini lebih matang. Apalagi angka kasus Covid-19 yang masih tinggi.  

Bagi masyarakat yang sadar, situasi ini tentu dirasa sangat memprihatinkan. Banyak politisi, pengamat, aktivis, akademisi, dan praktisi yang protes keras akan sikap penguasa yang berubah – rubah dan gampangan dalam urusan nyawa rakyat. Terlebih bagi kalangan nakes yang selama ini selalu ada di garda terdepan. Nyaris setiap saat mereka berkalang nyawa demi kesembuhan pasien corona yang terus berjatuhan. Wajar jika mereka mempertanyakan, jika risiko penularan sengaja makin diperbesar, berapa lama lagi mereka harus berjuang, menahan diri jauh dari keluarga dan ketat melakukan physical distancing demi keamanan?

Namun sepertinya pemerintah kian tak peduli dan kehilangan rasa empati. Mereka seolah ingin lepas tangan dari kewajiban mengurus rakyat terutama yang terdampak wabah. Dan lantas membiarkan para nakes berlama-lama bertarung nyawa. Pemerintah pun beralasan, roda ekonomi sudah nyaris lumpuh dan saatnya kembali diputar. Menyerahkan penyelesaian pada mekanisme seleksi alam, jelas merupakan sebesar-besarnya bentuk kezaliman. Demi alasan ekonomi, rakyat dibiarkan bebas tertular. Sungguh terlihat nyata, hari ini sesungguhnya pemerintah sedang berdiri di sisi kepentingan kapitalisme global. Karena roda ekonomi yang sedang coba kembali diputar hakikatnya adalah roda ekonomi kapitalisme global. Inilah kenyataannya, kekayaan alam milik rakyat nyaris seluruhnya dikuasai korporasi lokal dan internasional. Bahkan hajat hidup orang banyak pun habis dibisniskan.

Dalam Islam, urusan nyawa rakyat menjadi hal yang diutamakan. Bahkan keberadaan syariat dan negara dalam Islam (yakni khilafah) salah satunya berfungsi untuk penjagaan nyawa manusia dan penjamin kesejahteraan hidup mereka. Menurut pemahaman islam, amanah kekuasaan tak hanya berdimensi dunia, tapi juga berdimensi akhirat. Maka bisa dipastikan, negara dan penguasanya akan sungguh-sungguh menuaikan kewajiban. Menjadi pengurus umat sekaligus menjadi penjaganya.

Wajar jika saat peradaban khilafah ini belasan abad tegak, umat manusia hidup dalam kedamaian sesungguhnya. Apa yang dibutuhkan manusia, mulai dari kebutuhan dasar termasuk kesehatan, kehormatan, keamanan, benar-benar dipenuhi negara.

Maka, pelaksanaan syari’at islam mengharuskan pelaksanaan yang menyeluruh. Karena seperti kondisi sekarang, negara tidak cukup menyelesaikan kondisi wabah dengan pendekatan kesehatan semata. Namun, perlu ketahanaan ekonomi beserta seluruh turunanya (yakni pengurusan harta umum dan harta negara yang tepat, serta melindungi harta pribadi rakyatnya). Tak terkecuali posisi politis negara di mata internasional, sehingga mampu mengambil kebijakan secara mandiri, sosial masyarakat juga memiliki budaya ketaatan yang tinggi, karena mereka paham, ketaatan kepada pemimpin yang taat kepada Allah dan RosulNya, adalah hukum syara’ yang harus dilaksanakan.

Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak