New Normal, Kepentingan Siapa?




Oleh : Ruly Ibadanah Nurfadillah
(Praktisi Pendidikan)

Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi pandemi terus menuai kontroversi. Organisasi keagamaan Muhammadiyah adalah satu dari sedikit lembaga yang menyuarakan kritik dan skeptis dengan kebijakan Presiden Joko Widodo soal penanganan pandemi COVID-19. (tirto.id, 29/05/2020) 

Kepada reporter Tirto, Jumat (29/5/2020), Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, "Belum waktunya berdamai dengan Corona, dan tagar lawan Corona masih harus diberlakukan karena menurut laporan tim Muhammadiyah COVID-19 Command Center (MCCC), keadaan daerah masih belum aman dari pandemi COVID-19." Berdasarkan laporan terakhir pada 26 Mei 2020 lalu, jumlah kasus yang ditangani jaringan rumah sakit Muhammadiyah sebanyak: ODP 3.126, PDP 1.623 dan positif 235.   Berdasarkan data itu, Muhammadiyah menyimpulkan saat ini kurva COVID-19 belum menunjukkan tren penurunan.

Kritik yang sama pun muncul dari Epidemiolog FKM Universitas Hasanuddin Ridwan Amiruddin yang menilai, rencana penerapan hidup normal baru atau new normal yang dipilih pemerintah terkesan prematur. Pasalnya, penerapan new normal dilakukan ketika kasus virus corona covid-19 di tanah air masih tinggi. (kanalkalimantan.com, 29/05/2020)

Ridwan menjabarkan mengapa dirinya menyebut prematur, lantaran kurva Covid-19 di Indonesia masih belum mencapai puncaknya, angkanya terus bertambah signifikan  setiap harinya. Padahal, WHO sendiri telah menetapkan 6 kriteria dalam menentukan negara tersebut bisa menerapkan new normal, salah satu dari kriteria tersebut adalah kurvanya sudah melandai.

Telah banyak pakar yang menjabarkan bagaimana kondisi Indonesia saat ini. Begitu pun berbagai langkah telah disarankan para pakar untuk bisa menahan laju penularan virus serta bagaimana seharusnya sikap pemerintah agar Indonesia mampu keluar sebagai pemenang dalam pertarungan melawan corona.
Sayang , kritik dan saran seolah diabaikan. Kontraproduktif, Pemerintah malah serius untuk mendukung kebijakannya. Tak tanggung-tanggung  mencapai 340 ribu TNI dan Polri di 25 kabupaten/kota dikerahkan untuk menjaga agar masyarakat patuh dengan norma baru ini.

Abainya  pemerintah terhadap suara pakar dan  ormas yang merupakan representasi umat adalah bentuk pelecehan terhadap sains dan pengabaian pemerintah terhadap aspirasi rakyatnya. 

Pada gilirannya masyarakat bisa melihat New normal adalah bentuk gagalnya kapitalisme global dalam menanggulangi pandemi. Lihat saja  kepasrahannya atas upaya penganggulangan wabah corona. Merasa tak akan mungkin bisa melawan corona, akhirnya berdamai dan rela hidup bersama corona. Resesi ekonomi global yang menghantui, siap mengintai para negara yang bertumpu pembiayaannya pada pajak dan utang.   Jika rencana new normal ini tetap diberlakukan, maka semakin nyata kebijakan pemerintah dikendalikan oleh para kapitalis. Seluruh kebijakannya bukan didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan umum yang didukung sains dan suara rakyat.

New Normal dengan Islam

Islam mengajarkan pada umatnya untuk menyelesaikan masalah pandemi dengan mengakhiri wabah, bukan berdamai. Yaitu memberlakukan kebijakan lockdown/karantina total untuk menghentikan laju penyebaran. Semua itu dilakukan semata untuk menyelamatkan nyawa manusia bukan ekonomi. Karena kegiatan ekonomi ada jika nyawa manusia tak hilang.

Jujur saja, tak terdapat konsep New Normal dalam Islam. Sebab kehidupan normal dalam Islam adalah ketika kehidupan masyarakat bernafaskan Islam. Syariah menjadi kiblat arah hidup manusia sesuai tujuan penciptaannya.  Maka setiap tindakan yang melanggar atau menentang syariat niscaya mengantar pada kemudaratan.  Seperti halnya memakan kelelawar, utang piutang dengan riba  serta mengorbankan nyawa manusia demi lancarnya usaha para pebisnis. Seluruh hal tersebut  diharamkan dalam  Islam.

Normal juga berarti penguasa berjalan di bawah aturan Islam dan tak dikangkangi para pengusaha. Seluruh kebijakannya independen, berfokus pada kemaslahatan umat. Seperti yang dilakukan Khalifah Umar saat menghadapi wabah Tha’un di Syam pada tahun 18 H. 

Saat itu Gubernur Syam, Abu Ubaidah menyampaikan telah terjadi wabah di kotanya.  Khalifah Umar  tak tergesa-gesa memberikan keputusan untuk masuk kota Syam. Khalifah Umar mendengarkannya dengan saksama lalu memutuskan setelah benar-benar yakin akan kejelasan perkara dan solusinya. Setelah itu datanglah Abdurahman bin Auf dan membenarkan keputusan Umar, dengan menyampaikan hadis Rasul Saw. Abdurahman bin Auf Ra. berkata,

“Saya tahu tentang masalah ini. Saya pernah mendengar Rasulullah (Saw.) bersabda, ‘Jika kalian berada di suatu tempat (yang terserang wabah), maka janganlah kalian keluar darinya. Apabila kalian mendengar wabah itu di suatu tempat, maka janganlah kalian mendatanginya.’” (HR Bukhari  Muslim).

Khalifah Umar juga tak alpa mendengar pendapat Amr bin Ash sebagai pakar dalam menghadapi pandemi. Beliau menginstruksikan pada rakyatnya yang ada di Syam untuk mengikuti kebijakan Amr bin Ash secara maksimal.

Amr bin Ash lalu berkata, 

“Wahai manusia sesungguhnya wabah ini seperti api yang menyala-nyala dan manusia yang berkumpul ini bahan bakarnya. Kayunya semakin berkumpul (manusia) maka semakin keras, dan cara mematikan api ini harus dipisah. Maka berpencarlah ke gunung-gunung.”

Demikianlah Khalifah Umar senantiasa mendengarkan suara umat dan juga suara pakar. Kalau pun harus menurunkan militernya, maka hal itu dilakukan semata demi membantu masyarakat memenuhi kebutuhan pokoknya. 
Hanya saja sosok pemimpin seperti Umar yang kebijakannya senantiasa berporos pada kemaslahatan umat tak akan lahir dari tangan peradaban kapitalisme.  Hanya Islam kaffah yang mampu mencetak figur penguasa tangguh yang amanah dan peduli pada kemaslahatan umat.   Wallaahu a’lam. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak