Miris, Masih Marak Miras Ditengah Pandemi





Oleh: Tri S,Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)

Puluhan liter arak jowo (Arjo) disita polisi Polres Blitar Kota dalam razia minuman keras. Kapolres Blitar Kota, AKBP Leonard M Sinambela mengatakan razia yang digelar pada Kamis 7 Mei 2020 siang tadi menindaklanjuti adanya orang yang meninggal dunia akibat pesta miras (minuman keras) yang terjadi di wilayah Kademangan Blitar (Mayangkaranews.com, 08/05/2020).

Dari razia yang digelar selama 2 jam itu, Polres Blitar Kota & Polsek jajaran berhasil menyita 48 botol arak jowo, 22 botol anggur merah, 13 botol bintang kuntul & 25 botol minuman keras jenis lainnya dari puluhan penjual yang ada di wilayah hukum Polres Blitar Kota. Puluhan penjual miras itu, kata dia, semuanya belum memiliki ijin usaha jual miras. Sehingga polisi langsung melakukan penyitaan.

Menurutnya, puluhan penjual miras itu juga dijerat Pasal Tindak Pidana Tingan atau Tipiring akibat perbuatannya. Leonard menambahkan razia miras ini juga sebagai upaya menciptakan kondisi aman di bulan puasa Ramadhan terlebih pada masa pandemi Virus Corona.

Persoalan miras dalam sistem kapitalis tidak dilarang, sebab tidak termasuk jenis kriminalitas. Dengan memenuhi syarat tertentu, peredaran dibolehkan, sehingga produksinya terus ada. Selama produksi tetap ada, korban akan tetap ada. Sebab produsen akan memutar segala cara untuk memasarkan dagangannya, meski di bulan Ramadhan sekalipun.

Permasalahan minuman keras di Indonesia, sesungguhnya berpangkal dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini akan membuka ruang bermunculannya bisnis haram termasuk minuman keras. Prinsipnya, selama ada permintaan pasar, menguntungkan bagi pengusaha dan ada pemasukan buat negara, maka bisnis apapun termasuk yang merusak masyarakat akan difasilitasi. Alasan inilah sesungguhnya yang menjadi latar belakang terbitnya Keppres No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.

Keppres inilah yang membuka ruang bagi para pengusaha untuk memproduksi minuman beralkohol dengan izin dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Pasal 2). Selain itu, Keppres ini pun membedakan minuman beralkohol yang termasuk dalam kategori barang dalam pengawasan dan yang tidak diawasi. Minuman beralkohol yang diawasi adalah yang kadar alkoholnya antara 5% hingga 55% (golongan B dan C), adapun yang kadar alkoholnya 1%-5% (golongan A) tidak termasuk dalam pengawasan (pasal 3). Itu artinya, minuman yang kadar alkoholnya 5% atau di bawah itu, bebas dijual tanpa ada pembatasan tempat. Bisa dilihat, Keppres ini menyisakan banyak ruang untuk bebas beredarnya minuman keras. Sangat bisa dipahami jika banyak kriminalitas terjadi dikarenakannya.

Syariat Islam jelas mengharamkan minuman keras (khamr) (Al-Maidah [5]: 90) dan memandang meminum khamr sebagai kemaksiatan besar dan pelakunya harus dijatuhi sanksi had. Adapun hukuman bagi peminum khamr adalah dijilid 40 kali dan bisa lebih dari itu. Islam juga mengharamkan dan menghilangkan semua hal yang terkait dengan khamr, mulai dari perizinan, produksi (pabrik), distribusi (toko yang menjual minuman keras), hingga yang meminumnya. Semuanya dilaknat Allah swt. Dalam hal ini, pemerintah wajib mengambil kebijakan mencabut Keppres 3/1997 dan menggantinya dengan kebijakan yang melarang total miras mulai dari hulu hingga hilir.

Bahaya khamr dan semua keburukan akibatnya hanya akan bisa dihilangkan dari masyarakat dengan penerapan syariah Islam secara utuh. Karena itu, impian kita akan masyarakat yang tentram, bersih, bermartabat dan bermoral tinggi, hendaknya mendorong kita melipatgandakan perjuangan untuk menerapkan syariah Islam dalam bingkai sistem politik yang diemban oleh sebuah negara.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak