Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Sosial)
Pemberlakuan new normal atau kenormalan baru oleh pemerintah selama pandemi virus Covid-19 dinilai belum tepat. Sebab, Indonesia belum aman dari penyebaran Covid-19. Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dr. Iwan Ariawan menyampaikan, dengan jumlah kasus yang masih terbilang tinggi maka penerapan new normal berisiko tinggi terhadap makin masifnya penyebaran virus Covid-19. Hal tersebut dikatakan oleh Iwan dalam diskusi virtual yang diadakan oleh para Syndicate, Minggu (21/6).
“Seharusnya mengacu persyaratan WHO, kalau kondisi jumlah kasus tidak naik selama dua minggu baru bisa dilonggarkan bahkan ada beberapa negara yang menetapkan pelonggaran dilakukan kalau sudah menurun selama satu bulan. Jadi sekarang kondisi di Indonesia belum aman untuk keluar dan bergerak, risikonya masih tinggi,” ujarnya (http://cnnindonesia.com, 22/6/2020).
Solusi Kapitalisme Ciptakan Rakyat Panen Masalah
Sejumlah negara, termasuk Indonesia mulai melonggarkan pembatasan dengan menerapkan protokol new normal untuk membangkitkan kembali perekonomian yang sejak lama terpuruk. Pada fase ini, masyarakat akan kembali dengan kesibukannya seperti bekerja, berbelanja, ataupun aktivitas lainnya sesuai dengan protokol kesehatan yang menjadi imbauan. Tidak terelakkan, tiga bulan masa Pembatasan Sosial telah melumpuhkan roda ekonomi dalam berbagai bisnis, sehingga ribuan orang yang terdampak banyak kehilangan pekerjaan. Sayangnya, pembukaan kembali ekonomi ini justru terjadi disaat wabah masih mengganas, yakni tatkala negara masih bersaing dengan sejumlah kasus besar positif virus Covid-19 harian yang berkisar hingga seribu orang. Seperti update sebaran kasus virus Covid-19 per Rabu (24/6) berdasarkan laporan data pada akun Twitter @BNPB_Indonesia, yang tercatat ada penambahan 1.113 kasus baru.
Namun di tengah kondisi ini, Staf Ahli Bidang Konektivitas, Pengembangan Jasa dan Sumber Daya Alam Kementerian Perekonomian, Edi Prio Pambudi mengatakan bahwa pemerintah terus melakukan kajian mendalam terkait pemberlakuan new normal. Edi juga menjelaskan penambahan kasus jangan dilihat dari satu sisi karena dilakukan pelonggaran, tetapi karena memang ada target pemeriksaan yang diperluas (http://m.tribunnews.com, 26/6/2020).
Hal yang senada juga disampaikan oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto yang menyebutkan bahwa masih tingginya kasus baru Covid-19 karena pelacakan yang dilakukan secara agresif. “Penambahan ini sangat signifikan dibeberapa daerah karena kontak tracing dari kasus konfirmasi positif yang kami rawat lebih agresif dilaksanakan dinas kesehatan di daerah,” kata Yurianto dalam keterangannya di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu Sore (http://nasional.kompas.com, 20/6/2020)
Padahal bila dilihat ke belakang, sejak pemberlakuannya para pakar seperti Pakar Epidemiolog FKM Unhas Prof. Ridwan Amiruddin, S.KM., PhD telah mengungkapkan bahwa penerapan new normal yang diterapkan oleh pemerintah adalah prematur dan keputusan yang berbahaya. “Jadi ini new normal yang prematur, kalau kita lakukan ini pasti akan terjadi keguguran dan itu bisa berdampak pada hancurnya banyak korban, terutama anak sekolah kita, para pengunjung mall, pengunjung pasar yang mereka belum bisa mempraktikkan bagaimana social distancing,” ujar Prof. Ridwan dalam diskusi publik online, Kamis (28/5) lalu.
Demikian pula, Dewan Pakar Ikatan Ahli Keshatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr. Hermawan Saputra yang mengatakan bahwa saat ini belum saatnya untuk memberlakukan protokol new normal karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari.
Terkait hal ini, telah banyak pakar yang menjabarkan bagaimana kondisi Indonesia saat ini. Begitupun mereka sejak lama telah mewanti-wanti bahwa pelonggaran PSBB dengan diterapkannya fase new normal akan mengakibatkan tingginya angka kasus Covid-19 di berbagai daerah di negeri ini. Sementara, dari pihak pemerintah kini mengelak dan beralasan bahwa faktor tes yang dilakukan secara masif dan agresif sebagai penyebab melonjaknya kasus terinfeksi. Jika kita berbicara tentang tes yang lebih masif memang hal ini sangat penting dilakukan agar seseorang yang terinfeksi dapat diidentifikasi dan ditangani dengan cepat. Namun, itu semestinya sudah menjadi tanggungjawab negara sebagai salah satu upaya preventif dalam menangani penyebaran virus Covid-19 agar jumlah kasus tidak menyebar luas.
Perlu dipahami bahwa sejak awal munculnya pandemi memang negara kita sudah gagal dalam upaya pencegahan dan penanganan terhadap penyebaran virus Covid-19. Lihat saja, sikap pemerintah yang terkesan meremehkan dan gegabah terlihat dengan tidak menetapkan langkah lockdown dengan cepat, guna memutus laju penyebaran virus Covid-19, justru kegiatan ekspor-impor tetap berjalan, jalur penyeberangan dibuka, pasar dibuka dan sebagainya. Ditambah lagi, nekat menerapkan adaptasi new normal di tengah pandemi ini dengan mengabaikan instruksi dari para pakar ataupun tim medis semakin menunjukkan bentuk ketidaksiapan langkah yang diambil sehingga wabah menginfeksi hingga puluhan ribu orang di Indonesia.
Miris, melihat negara selama ini berlepas tangan akan tanggungjawabnya melindungi rakyat sekaligus memenuhi seluruh kebutuhan dasar mereka. Melihat kebijakan yang diciptakan, nampak memaksa masyarakat untuk bertaruh nyawa sendirian melawan wabah tanpa penolong sedikitpun. Dari pihak pemerintah, mungkin tidak merasakan tapi rakyat dan para tenaga medis yang berjibaku langsung dengan penyebaran virus Covid-19 ini hanya mampu gigit jari. Pihak pemerintah hanya aktif menyampaikan penambahan kasus dalam setiap harinya namun minim dalam upaya menyelamatkan negeri dari hantaman pandemi.
Seharusnya, di tengah kondisi seperti ini negara hadir mencari jalan keluar yang solutif untuk menangani pesoalan ini, menjamin seluruh kebutuhan dasar seluruh rakyat secara merata selama masa karantina sekaligus mengupayakan untuk memutus rantai penyebaran virus Covid-19 sesegera mungkin. Namun, alih-alih melakukan hal itu, demi perekonomian mereka rela “menggadaikan” nyawa rakyat dengan nekat menjejaki fase new normal.
Sesungguhnya, kebijakan ini nampak menunjukkan bahwa negara telah siap untuk menghadapi tantangan tahap kedua Covid-19 sekaligus menjadikan negeri ini sebagai lahan untuk panen korban Covid-19. Sikap pemimpin negara seperti ini merupakan cerminan pemimpin dalam sistem rusak kapitalisme yang senantiasa berada di garda terdepan barisan ekonomi, bukan rakyat. Juga, pemimpin yang tidak pernah sepenuh hati ingin melindungi rakyatnya, melainkan hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kalangan kapitalis bermodal tebal. Maka, memperjuangkan perubahan dalam sistem ini hanya membuang energi saja, dengan hasil yang dipanen berupa masalah baru dan kesengsaraan.Islam Solusi Sempurna Tuntaskan Wabah
Jika dalam sistem kapitalisme, kebijakan yang disuguhkan hanya menambah deretan masalah baru, namun berbeda halnya dengan Islam. Dalam Islam, pemimpin negara senantiasa serius menangani setiap urusan rakyatnya sehingga kebijakan yang diambil akan berpatokan pada syariah demi kemaslahatan rakyat. Adapun dalam kondisi pandemi seperti ini, maka negara wajib mengambil tindakan preventif maupun kuratif untuk mengatasi wabah. Negara juga memberikan jaminan kebutuhan dasar kepada seluruh lapisan masyarakat.
Peran negara dalam Islam begitu dekat dan terlihat jelas, bukan hanya bermodal kebijakan tanpa solusi melainkan solusi ampuh seperti yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam menangani wabah yakni dengan prinsip karantina total (lockdown). Disamping itu, prinsip Islam dalam penanganan wabah adalah dengan pengisolasian segera terhadap orang yang terinfeksi dan pengobatan yang layak hingga sembuh.
Dalam bidang kesehatan, negara menjadi garda terdepan bertanggungjawab dalam menjamin kehidupan seluruh kebutuhan rakyat atas pelayanan kesehatan secara gratis dan berkualitas seperti rumah sakit, klinik ataupun fasilitas kesehatan seperti obat-obatan, APD, rapid tes, swab test dan lain sebagainya di tengah wabah seperti saat ini. Berkaitan dengan hal ini, tentu memerlukan dana yang tidak sedikit. Maka, konsekuensi pembiayaannya dipenuhi oleh negara dari kas negara yang sumber-sumber pemasukannya telah ditentukan dan dibenarkan oleh syariah, yang tentu saja tidak dibebankan kepada rakyat. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan milik umum yang menjadi tanggungjawab negara atas pengelolaannya seperti berbagai macam tambang, minyak, hutan juga dari sumber-sumber lainnya seperti zakat, kharaj, ghanimah, fa’i, usyur dan sebagainya. Inilah yang menyebabkan negara mampu menunjang perekonomian dan membiayai kesehatan rakyatnya ataupun bidang lainnya.
Sungguh, hal inilah yang membawa negara pada keberhasilannya melewati wabah dengan kebijakan lockdown diterapkan disertai dengan landasan politik dan ekonomi negara yang kuat. Dan semua itu dapat diraih tatkala roda perekonomian dalam negeri diatur sesuai dengan pandangan hukum syariat. Oleh sebab itu, jika kita mengharapkan persoalan pandemi ini tidak terjadi berlarut-larut, maka sungguh hanya dalam naungan sistem Islam, sebagai sistem negara yang menjadikan aqidah Islam dalam menerapkan Islam Kaffah. Wallahu a’lam bi shawwab