Oleh: Tri Fani
Kasus Novel Baswedan, adalah salah satu kasus dari banyaknya kasus yang sangat menarik bagi saya. Pencarian yang hampir tiga tahun dan persidangan yang banyak digelar, ternyata hanya menghasilkan tuntutan satu tahun kurungan penjara bagi para terdakwa.
Padahal, sesuai Pasal 170 KUHP subsider 351 ayat 2 KUHP, terdakwa terancam hukuman lima tahun penjara. Itu pun masih kurang bagi saya sebenarnya. Kaget? Ah, tidak. Sudah terbiasa disuguhi sinetron macam begini. Kata Pak Jaksa, tuntutannnya hanya setahun. Hal itu karena kedua terdakwa telah menyesali perbuatannya dan meminta maaf. Selain itu, jaksa bilang, terdakwa tak berniat membuat Novel Baswedan terluka. Ah, ya salaam. Terus itu air keras yang dibawa niatnya buat diapain? Ditenggak?
Namun, selain tuntutan hukuman yang makin membuat gambaran hukum Indonesia seperti itu adanya, ada yang sangat menarik di persidangan ini. Yakni pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut yang berbunyi,
"Seperti kacang lupa pada kulitnya, karena Novel ditugaskan di KPK padahal dibesarkan di institusi Polri, sok hebat, terkenal dan kenal hukum sehingga menimbulkan niat terdakwa untuk memberikan pelajaran kepada Novel dengan cara membuat Novel luka berat."
Diksi yang disampaikan di atas menurut saya sangat tendensius pada korban. Entahlah, saya menangkap bahwa ucapan ini malah menggiring opini bahwa Novel Baswedan layak diberi pelajaran agar tak seperti kacang lupa pada kulitnya. Meski pelajaran yang diberikan itu benar-benar di luar koridor hukum yang sah. Sangat bertentangan dengan hukum apapun, kecuali hukum rimba.
Pantas saja, dari awal, pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, menilai ada sikap distriminatif dari aparat kepolisian dalam menyelesaikan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan. Dan pada sidang terakhir di bulan Mei, kuasa hukum Novel Baswedan menjabarkan tak tanggung-tanggung SEMBILAN kejanggalan di dalam persidangan.
Kasus ini rupanya akan "dipaksa" berhenti sampai sini saja. Jangan berharap ada pengungkapan siapa dalang besar yang ada di balik layar. Oh iya, by the way, bagaimana dengan Dewi Tandjung yang berkoar-koar bahwa kasus Novel hanya rekaan Novel saja? Gak diapa-apain kah? Ah, sudah lah. Tak usah dijawab.
Padahal, jika hukum Islam diterapkan, maka pelaku penyiraman Novel Baswedan harus dikenai sanksi qishosh di mana mata dibayar mata. Dan kalau pun korban memaafkan, maka qishosh diganti dengan diyat (denda). Di mana terdakwa harus membayarkan 50 ekor unta untuk satu mata yang hilang fungsinya.
عَنْ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ لَهُ ، وَكَانَ فِي كِتَابِهِ : وَفِي اْلأَنْفِ إذَا أُوْعِبَ جَدْعُهُ الدِّيَةُ ، وَفِي اللِّسَانِ الدِّيَةُ ، وَفِي الشَّفَتَيْنِ الدِّيَةُ ، وَفِي الْبَيْضَتَيْنِ الدِّيَةُ ، وَفِي الذَّكَرِ الدِّيَةُ ، وَفِي الصُّلْبِ الدِّيَةُ ، وَفِي الْعَيْنَيْنِ الدِّيَةُ ، وَفِي الرِّجْلِ الْوَاحِدَةِ نِصْفُ الدِّيَةِ
Dari `Amru bin Hazm bahwa Rasullullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis untuknya, dalam ditulisan itu, “Pada hidung yang terpotong diyatnya utuh, pada lidah diyatnya utuh, pada kedua bibir diyatnya utuh, pada dua buah biji dzakar diyatnya utuh, pada batang kemaluan diyatnya utuh, pada shulb (tulang syaraf reproduksi) diyatnya utuh, pada kedua mata diyatnya utuh, dan pada satu kaki diyatnya setengah."
Maksud dari setengah, adalah setengah diyat nafs (100 ekor unta).