Oleh: Rumi*
Pandemi Corona Virus 2019 (COVID-19) telah merenggut banyak nyawa di seluruh dunia. Jumlah kasus yang terjadi di hampir seluruh bagian di dunia mengalami kenaikan. Hal ini terus mendesak pemerintah negara di seluruh dunia untuk menetapkan kebijakan guna menurunkan angka kasus COVID-19. Tak terkecuali bagi Indonesia yang baru-baru ini tersiar kabar akan berencana untuk menetapkan new normal atau normal baru.
Pemerintah Indonesia melalui Juru Bicara Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto mengatakan, masyarakat harus menjaga produktivitas di tengah pandemi virus corona COVID-19 dengan tatanan baru yang disebut new normal.
"Sekarang satu-satunya cara yang kita lakukan bukan dengan menyerah tidak melakukan apapun, melainkan kita harus jaga produktivitas kita agar dalam situasi seperti ini kita produktif namun aman dari COVID-19, sehingga diperlukan tatanan yang baru," kata Achmad Yurianto dalam keterangannya di Graha BNPB, Kamis (tirto.id 28/5/2020).
Kebijakan new normal merupakan kebijakan membuka kembali aktivitas ekonomi, sosial, dan kegiatan publik secara terbatas dengan menggunakan protokol kesehatan yang berlaku. Protokol kesehatan yang diberlakukan antara lain rutin cuci tangan pakai sabun, pakai masker saat keluar rumah, jaga jarak aman dan menghindari kerumunan.
Sayangnya, kebijakan yang diharapkan bisa menjadi solusi atas pandemi tiada akhirnya ini mendapatkan respon yang kurang baik dari berbagai pihak dan masyarakat kebanyakan. Banyak pihak memandang bahwa kebijakan ini sangat tidak tepat dan berbahaya jika diterapkan dalam situasi saat ini.
Epidemiolog FKM Universitas Hasanuddin Ridwan Amiruddin menilai, rencana penerapan hidup normal baru atau new normal yang dipilih pemerintah terkesan prematur. Pasalnya, penerapan new normal dilakukan ketika kasus virus corona covid-19 di Tanah Air masih tinggi.
Ridwan menjelaskan, setiap negara pasti akan memikirkan dua hal, yakni bagaimana menangani covid-19 dan bagaimana roda perekonomian tetap berjalan. Diandaikan sebagai piramida, sebuah negara akan menyelesaikan masalah keamanan dan kesehatan publik, lalu ketika pandeminya sudah dapat dikendalikan, barulah masuk ke konsen ekonomi. (kanalkalimantan.com/07/06/2020)
Respon yang sama juga dilontarkan oleh Peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Pradiptajati Kusuma. Menurutnya, beberapa negara yang melakukan pelonggaran restriksi sosial karena jumlah kasus di negara mereka sudah berada di single digit setiap harinya sebelum new normal dijalankan. (cnbcindonesia.com/07/06/2020)
Kebijakan new normal hanya berlaku bagi negara-negara yang sudah sukses melawan COVID-19 seperti Cina, Taiwan, Vietnam, dan Jerman. Sampai dengan saat ini Indonesia masih belum mengalami penurunan yang signifikan, sementara angka kasus masih mengalami penaikan yang tajam.
Per 7 Juni 2020, total kasus positif COVID-19 mencapai 31.186 orang dengan angka penaikan sebanyak 672 orang (covid19.go.id/07/06/2020). Hal ini menjadi salah satu alasan bahwa Indonesia masih belum siap untuk menerapkan new normal.
Kebijakan normal baru yang digadang pemerintah tak memiliki dasar sains dan terkesan terburu-buru. Bahkan pada faktanya kebijakan ini tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan World Health Organization (WHO).
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengingatkan setiap negara yang hendak melakukan transisi, pelonggaran pembatasan, dan skenario new normal harus memerhatikan hal-hal berikut ini; (1) Bukti yang menunjukkan bahwa transmisi COVID-19 dapat dikendalikan, (2) Kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina, (3) Risiko virus corona diminimalkan dalam pengaturan kerentanan tinggi, terutama di panti jompo, fasilitas kesehatan mental, dan orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ramai, (4) Langkah-langkah pencegahan di tempat kerja ditetapkan - dengan jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, dan kebersihan pernapasan, (5) Risiko kasus impor dapat dikelola. 6. Masyarakat memiliki suara dan dilibatkan dalam kehidupan new normal.
Berdasarkan hal tersebut, berbagai pihak dan masyarakat memandang bahwa Indonesia masih belum memenuhi kriteria sebagai negara yang siap untuk menerapkan normal baru. Hal ini kontras menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat telah membulatkan suara untuk menolak kebijakan new normal di tengah menanjaknya kurva pandemi dalam negeri. Lebih jauh membahas persoalan ini, banyak pakar memandang bahwa kebijakan normal baru lebih dominan pada pertimbangan ekonomi dan politik semata.
Kebijakan new normal seolah membuka topeng sistem kapitalis yang telah mendarah-daging di negeri ini. Mengingat betapa besar imbas dari perintah pemerintah untuk melaksanakan segala aktivitas dari rumah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan di seluruh Indonesia terhadap para pemegang modal.
Namun pada faktanya, rencana kebijakan new normal justru mendapatkan respon negatif dari berbagai pihak. Bahkan kesimpulan paling menyakitkan mengatakan bahwa new normal hanya mempertimbangkan sektor ekonomi dan politik saja. Serta menutup mata pada kurva pandemi COVID-19 yang masih terus melonjak kian harinya.
Lalu, bagaimana seharusnya penanganan wabah didasarkan pada basis data ilmiah dan sains menurut syariat Islam? Ada tiga hal yang menjadi kebijakan negara untuk menangani wabah dalam sistem Islam. Yakni memberikan porsi bagi para ahli atau pakar dalam mengambil kebijakan negara dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah masyarakat, kebijakan didasarkan pada kemashlahatan umat seluruhnya bukan hanya segilintir kelompok saja, dan dukungan penuh negara dalam pengembangan sains dan teknologi.
Ketiga hal ini menjadi ikhtiar atau usaha untuk menciptakan solusi dalam menangani wabah yang terjadi. Bukan sekadar kompromi agar roda perekonomian kembali melaju, tetapi juga solusi agar wabah segera berlalu.
*(Mahasiswi Kampus Cirebon)
Tags
Opini