Oleh: Ria Asmara
Suasana Ramadan dan Idul Fitri masih terasa meski sudah beberapa hari berlalu. Sebagai seorang muslim, meskipun bulan suci semakin jauh meninggalkan kita, namun kita harus senantiasa menjaga agar seluruh aktivitas kita tidak keluar dari rel syariat-Nya.
Bahkan saat ini kita harus semakin gencar melakukkan amalan surga. Karena ibarat pedang, kita sudah ditempa selama sebulan lamanya. Tentu kualitasnya harus lebih baik, lebih tajam. Dan amalan surga itu di antaranya adalah mengoreksi penguasa.
Sebagian kalangan menganggap bahwa aktivitas mengoreksi penguasa ini adalah suuzon. Bahkan ada yang beranggapan bahwa ini adalah aktivitas mengotori hati, sehingga mereka menganggap tak pantas mengotori hati disaat Idul Fitri baru saja pergi.
Padahal sebagai seorang muslim, kita tak boleh mendiamkan kezaliman penguasa. Jika ada kebijakan penguasa yang salah arah, tidak berpihak kepada rakyat tapi justru berpihak kepada asing, maka kita harus kritisi.
Saat ini, banyak daftar hitam kebijakan penguasa yang tidak berpihak pada rakyat. Menyakiti hati rakyat. Seperti misalnya, saat rakyat diminta untuk bekerjasama menghambat penyebaran Covid-19 dengan stay at home, tapi penguasa justru membuka lebar-lebar pintu masuk untuk TKA (Tenaga Kerja Asing) asal Cina.
Kemudian juga, ditengah krisis yang dihadapi rakyat saat ini. Penguasa justru menaikkan iuran BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Juga mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) yang diduga pro konglomerat. Dan masih banyak lagi deretan daftar hitam kebijakan penguasa yang melukai hati rakyat.
Dalam situasi seperti ini, aktivitas mengoreksi penguasa menjadi sangat penting. Dan sekali lagi, aktivitas mengoreksi penguasa ini bukanlah aktivitas yang mengotori hati. Tetapi, ini termasuk kewajiban dari Allah yang pahalanya sangat besar. Bahkan disejajarkan dengan penghulu/pemimpin para syuhada.
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath)
Sebaliknya, jika kita hanya berdiam diri membiarkan penguasa yang zalam. Mendiamkan kebijakannya yang menyengsarakan rakyat. Atau kita justru mendukung kebijakannya. Atau kita justru tegak berdiri bersamanya. Maka Allah mencelanya.
"Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku akan ada para pemimpin? Siapa yg masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan menyokong kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya dan dia juga tidak akan menemuiku di telaga." (HR Tirmidzi, Nasai dan al Hakim)
Aktivitas mengoreksi penguasa yang dimaksud di sini tentu bukan sekedar asal nyinyir saja. Tetapi harus berdasarkan fakta dan data. Juga disertai solusi syariatnya berdasarkan Alquran dan sunah. Wallaahu a'lam bishawab.