Lonjakan Penyebaran Covid Semakin Tinggi, Negara Harus Fokus dan 'Gercep'




Oleh : Ummu Amira Aulia
(Tulungagung).


Penambahan pasien COVID-19 di Indonesia kembali menyentuh angka 900. Total hingga Sabtu (23/5), COVID-19 di Tanah Air mencapai 21.745 kasus.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona atau COVID-19 Achmad Yurianto, mengatakan, terhitung sejak 22 Mei 2020 pukul 12.00 WIB hingga 23 Mei 2020 pukul 12.00 WIB, kasus positif mengalami kenaikan sebanyak 949 orang.

Sampai media asing pun memberikan penilaian yang kurang mengenakan untuk Indonesia. Dilansir The Guardian, Indonesia mencatat lonjakan angka kasus infeksi virus corona jelang perayaan Idul Fitri yang sangat mengenaskan. Pada Kamis (21/5/2020), Indonesia melaporkan 973 infeksi baru, sehingga jumlah total kasus yang dikonfirmasi menjadi 20.162, sampai per Sabtu (23/5/2020) angka infeksi meningkat menjadi 21.745 berdasarkan www.covid19.go.id.

Disinyalir masih banyak masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan selama merayakan Lebaran.
"Kita masih lihat masyarakat yang ritualnya lebih didahulukan daripada apa yang sudah dihimbau pemerintah. Kondisi seperti ini bakal mempersulit dan memperlama kita dalam mengatasi virus ini," kata Wakil Ketua Umum PB IDI dr. Adib Khumaidi kepada Republika.co.id, Senin (25/5).
Kelurahan Sunter Agung di Jakarta Utara misalnya, merupakan daerah dengan kasus positif Covid-19 tertinggi. Berdasarkan peta kasus di laman corona.jakarta.go.id pada Ahad (24/5) ada 143 kasus positif Covid-19 di wilayah tersebut. Namun, pelaksanaan menyambut Idul Fitri, dari mulai malam takbiran yang masih ramai, sholat Idul Fitri di masjid yang sampai tumpah ruah keluar masjid, menjadikan keheranan tersendiri.

Beberapa kebijakan pemerintahan, yang perlu dievaluasi adalah :

*Pertama*, lambatnya penanganan sejak awal kasus terjadi.

Sana Jaffrey, sarjana nonresiden pada Program Asia di Carnegie Endowment for International Peace menilai Indonesia telah melakukan blunder dalam penanganan pandemi virus corona Covid-19. Dalam artikel yang ditayangkan Carnegie Endowment, ia berkesimpulan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunda langkah-langkah pencegahan dan mengandalkan klaim yang tidak terbukti bahwa cuaca tropis akan memperlambat transmisi di negara terpadat keempat di dunia itu.

Kelambatan penanganan ini, terjadi sampai sekarang. Ketidaksiapan pemerintah dalam memberikan layanan kesehatan memperparah lonjakan kasus ini.

*Kedua*, fokus pemerintah pada perbaikan ekonomi dengan kampanye "new normal" adalah upaya yang tidak pas.

Beberapa pengamat grafik penyebaran covid di Indonesia, mengatakan bahwa "new normal" bisa dilakukan bila sudah grafik melandai.

Pakar epidemologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dr Riris Andono Ahmad menjelaskan banyak hal yang harus diperhatikan pemerintah sebelum benar-benar memberlakukan new normal. Bisa dilakukan ketika infeksi virus Corona sudah terkendali.
"Ketika kemudian COVID-19 sudah terkendali yakni ada indikator misalnya jumlah penularannya rendah, tidak ada lagi klaster besar kemudian juga kemampuan diagnosis dan penemuannya sudah memadai kemudian punya fasilitas untuk karantina, maka itu (normal baru) bisa mulai dilakukan," jelasnya (m.detik.com).

*Ketiga*, hutang negara makin menggelembung.

Kebijakan New Normal memang tidak lepas dari perekonomian Indonesia. Makro maupun mikro. Pemerintah melebarkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2020 ke level 6,27% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Defisit anggaran yang melebar ke 6,27% itu setara Rp 1.028,5 triliun terhadap PDB. Untuk memenuhi itu, pemerintah rencananya akan menerbitkan utang baru sekitar Rp 990,1 triliun. Berdasarkan draf kajian Kementerian Keuangan mengenai program pemulihan ekonomi nasional yang diperoleh detikcom, pemerintah hingga saat ini sudah menerbitkan surat utang negara (SUN) senilai Rp 420,8 triliun hingga 20 Mei 2020.

Wajar jika penyebaran covid di Indonesia belum berakhir juga. Dalam demokrasi, jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan dan terkesan menggampangkan nyawa rakyat adalah wajar. Kebijakan bukan berorientasi pada kemaslahatan masyarakat. Kadang berpihak pada pengusaha atau orientasi profit. Rakyat pun akhirnya mencari solusi masing-masing. Si kaya mampu bertahan, si miskin makin tersiksa.

Allah SWT telah menurunkan syariat Islam yang sempurna. Syariat Islam yang pastinya mengandung kemaslahatan. Namun masih saja manusia menolaknya.

Syariat Islam yang kaffah ini, sudah terbukti kegemilangannya selama 14 abad. Diperuntukkan untuk seluruh umat, baik muslim maupun non muslim.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala negara Islam, senantiasa dituntun oleh syariat. Bukan hawa nafsu manusia. Terbukti, selama 14 abad Islam memimpin dunia, tidak pernah terjadi defisit anggaran.

Karena itu, mengapa masih ragu mengambil Islam kaffah?wallohua'lam bisshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak