Oleh: Neng Ipeh*
Sejak pandemi virus corona mulai menginfeksi Indonesia pada awal Maret lalu, seluruh kegiatan pembelajaran di perguruan tinggi mulai beralih melalui daring atau online. Semenjak itu pula, beragam keluhan mulai dirasakan oleh para mahasiswa, baik dari efektivitas maupun fasilitas pembelajaran yang kurang memadai.
Secara bergiliran, nama sejumlah kampus pun memuncaki trending di media sosial Twitter dalam beberapa minggu terakhir. Mereka menuntut agar uang kuliah tunggal ( UKT) diturunkan dan mendapat fasilitas yang memadai saat kuliah daring, seperti subsidi pulsa bagi mahasiswa. Banyak dari mereka menganggap bahwa hak yang diterima mahasiswa selama pembelajaran daring tak sebanding dengan biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang dibayarkan selama satu semester.
Dampaknya, sejumlah mahasiswa menuntut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menurunkan uang kuliah sebagai aksi protes lewat media sosial. Hal ini dikarenakan kampus mereka menaikkan harga pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) di tengah pandemi virus corona 2019 (Covid-19). Tagar #MendikbudDicariMahasiswa dan #NadiemManaMahasiswaMerana pun menjadi topik populer di Twitter. (www.twitter.com/03/06/2020)
Banyak dari mereka yang mengunggah cuitan disertai empat buah gambar yang masing-masing bertuliskan, 'Kebijakan kampus merdeka, kampusnya merdeka, mahasiswanya sengsara', 'Kuliah daring, UKT kok enggak miring?', 'Kerja ekstra, gaji ditunda, guru honorer gimana?', dan 'Diajak audensi susah, mendikbud kemana?'.
Menanggapi maraknya tuntutan mahasiswa terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT) di media sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud) memastikan tak ada kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di masa pandemi Covid-19.
Hal itu disampaikan oleh Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nizam. Dalam keterangan tertulisnya, Nizam menjelaskan, jika ada perguruan tinggi negeri (PTN) yang menaikkan UKT, berarti keputusan tersebut diambil sebelum masa pandemi dan hanya diberlakukan kepada mahasiswa baru sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tuanya. (www.kompas.com/09/06/2020)
Pendidikan adalah salah satu elemen penting bagi seorang anak. Melalui pendidikan, anak dapat memperoleh ilmu dan skill yang berguna di masa depan. Orangtua sebagai orang terdekat dari buah hati sangat memperhatikan masalah pendidikan. Mereka rela mengeluarkan biaya tak sedikit demi terjaminnya kualitas pendidikan yang diperoleh anak.
Berbicara tentang biaya pendidikan salah satu perusahaan perbankan internasional HSBC, mengeluarkan survei terkait negara dengan pengeluaran biaya untuk tertinggi. Dari hasil survei yang dirilis HSBC pada tahun 2018, Indonesia menduduki peringkat ke-13 dari daftar negara dengan biaya pendidikan termahal di dunia. (www.cnbcindonesia.com/10/06/2020)
Maka, mendambakan pendidikan berkualitas, berfasilitas unggul, sekaligus berbiaya ramah bahkan gratis, saat ini bagaikan mimpi di siang bolong. Beban biaya pendidikan tentunya telah menambah berat beban pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat. Terlebih jika harus bersekolah di lembaga pendidikan swasta. Keterbatasan daya tampung sekolah negeri, menjadikan sekolah swasta kerap menjadi pilihan terakhir bersekolah. Akibatnya, mereka tentu harus menanggung biaya lebih.
Mahalnya biaya pendidikan tersebut sesungguhnya merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan negara yang rusak, baik menyangkut tata kelola negara yang kapitalistik maupun sistem pendidikannya.
Tentu menjadi sebuah pertanyaan, apakah mungkin suatu negara bisa memberikan layanan pendidikan murah dan berkualitas?
BISA, jika paradigma kapitalis dalam mengelola pendidikan ditinggalkan. Dan selanjutnya diganti dengan paradigma sahih, yakni Islam yang dijalankan dalam sistem Khilafah.
Dalam Islam, negara benar-benar menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah investasi bagi masa depan. Melalui sistem pendidikannya, Islam akan melahirkan output generasi yang berkualitas, baik dari sisi kepribadian maupun dari penguasaan ilmu pengetahuan.
Sayangnya sistem pendidikan Islam tak hanya berdiri sendiri namun juga saling berkaitan dengan sistem lainnya seperti politik, ekonomi, sosial. Sayangnya penerapan semua sistem tersebut tak mungkin bisa terjadi jika landasan negaranya masih Kapitalisme-sekuler.
* (Aktivis BMI Community Cirebon)
Tags
Opini