Oleh: Amallia Fitriani
Mahalnya tes corona telah menelan korban, seorang ibu hamil bernama Ervina Yana di Makassar, Sulawesi Selatan, kehilangan bayinya di dalam kandungan saat akan dilahirkan. Penyebabnya adalah karena tindakan operasi kelahiran yang telat akibat dia harus menjalani proses pemeriksaan Covid-19, sebagai prasyarat operasi kehamilan.
Sedangkan dia tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp.2,4 juta. Padahal kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan."Ibu Ervina ditolak tiga rumah sakit karena biaya rapid dan swab testnya tidak ada yang menanggung. Sehingga di RS terakhir, anak dalam kandungannya meninggal," kata pendamping Ervina dan juga aktivis perempuan, Alita Karen, Rabu (17/6). (BBC.com, 18/06/2020).
Peristiwa itu jelas menjadi banyak sorotan publik yang menyayangkan peristiwa tersebut terjadi. Seandainya penangan yang diberikan oleh pihak RS cepat, mungkin bayi itu bisa terselamatkan. Akhirnya ditengah publik muncul dugaan bahwa uji tes Covid-19 baik melalui rapid maupun swab test telah "dikomersialisasikan".
Seperti yang dilansir kompas.com (19/06/2020). Pengamat kebijakan publik dari dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyebutkan, saat ini terjadi "komersialisasi" tes virus corona yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes ini.
"Karena hingga sekarang tidak ada aturan khusus tentang ini. Pemerintah harus turun tangan menetapkan harga standar yang terjangkau."
"Lihat sekarang rapid test itu sekitar Rp 500.000 dan PCR sampai Rp2 juta. Itu sangat mahal. Ditambah lagi masa berlaku rapid test hanya tiga hari dan swab test hanya tujuh hari. Artinya tes menjadi kewajiban untuk kondisi tertentu," katanya.
Di Jakarta, harga tes virus corona bervariasi. Untuk rapid test berkisar dari Rp 300.000 hingga Rp 500.000, sementara untuk swab test berkisar dari Rp1,5 juta hingga Rp 5 juta, tergantung dari seberapa lengkap pengecekan yang ingin diperiksa.
Isu komersialisasi tes Covid-19 itupun dibantah oleh Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI). Dilansir kompas.com (19/06/2020), Ketua Umum ARSSI, Susi Setiawaty, menjelaskan bahwa tudingan "mahalnya" tes virus corona itu disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, pihak rumah sakit harus membeli sendiri alat dan perlengkapan tes.
Kedua, biaya untuk membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam tes tersebut, dari dokter, petugas laboratorium, hingga petugas medis yang membaca hasil tes tersebut. "Katanya RS mau cari untung, apanya yang mau cari untung? Masih banyak yang tidak bisa dibayar juga, banyak yang tidak bisa diklaim," katanya.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi ikut menanggapi terkait komersialisasi tes Covid-19, hal ini terjadi dikarenakan pemerintah tidak segera menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Pihaknya menerima banyak laporan dari masyarakat tentang mahalnya harga tes seperti rapid test, PCR, dan swab. "Seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemenkes, segera menetapkan HET rapid test. Sehingga konsumen tidak menjadi obyek pemerasan dari oknum dan lembaga kesehatan tertentu dengan mahalnya rapid test," ujar dia.
"Masyarakat sebagai konsumen perlu kepastian harga. Selain mengatur HET pemerintah juga perlu mengatur tata niaganya". (kompas.com, 21/06/2020).
Jelas kondisi ini bisa dimanfaatkan oknum yang tidak bertanggung jawab dengan memberikan tarif yang mahal dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Itu akibat dari tidak ada aturan dan kontrol dari pemerintah.
Komersialisasi Buah Kapitalis
Seharusnya hal ini menjadi perhatian negara dalam mengatasi berbagai polemik yang muncul dimasa pandemi. Terlebih peran utama negara seharusnya mengurus dan mengatur rakyat dalam memenuhi semua hajat hidup rakyatnya, terutama dalam masalah pelayanan kesehatan. Namun, sistem kapitalisme membuat negara berlepas tangan dalam mengatur hajat hidup rakyatnya.
Dalam sistem kapitalis, negara hanya berperan sebagai regulator, yang mengatur arah kebijakan agar kebijakan yang dibuat sesuai dengan kepentingan penguasa dan para pemodal, tanpa memperdulikan kepentingan dan kebutuhan rakyatnya.
Polemik yang terjadi dalam pengaturan tes Covid-19 ini juga menunjukan ketidakseriusan pemerintah menanggulangi pandemi, terlihat dari tidak adanya kejelasan penetapan harga tes swab padahal tes swab sangat urgen dilakukan di seluruh wilayah Indonesia pada masa pandemi ini.
Paradigma penguasa saat ini bukan untuk mengurusi umat atas dasar ketakwaan kepada Allah, tapi paradigmanya untuk mendapatkan keuntungan materi demi kepentingan dirinya dan kelompoknya.
Pada sistem kapitalis saat ini, apapun menjadi lahan bisnis dan menjadi bahan komersial yang menguntungkan bagi para pemilik modal, salah satunya tes Covid-19 yang bisa menjadi peluang meraih keuntungan oleh sebagian oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal ini sekaligus mencerminkan buruknya pengaturan dan pelayanan kesehatan negara dalam sistem kapitalisme.
Jaminan Kesehatan dalam Islam
Negara dalam sistem Islam menjamin penuh pelayanan kesehatan bagi rakyatnya karena kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas publik yang dikelola dengan baik demi kemaslahatan rakyatnya.
Pelayanan kesehatan dan pengobatan itu akan disediakan dan diberikan secara cuma-cuma, sebagai bentuk pengurusan negara atas rakyatnya. Sesuai dengan sabda Rasul saw.:
Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).
Sejarah mencatat bagaimana kepemimpinan Nabi Muhammad saw, sebagai kepala negara pada masa itu, beliau menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. juga menyediakan dokter gratis untuk mengobati Aslam (HR al-Hakim).
Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan adalah termasuk kebutuhan dasar yang wajib disediakan oleh negara secara gratis untuk seluruh rakyat tanpa membedakan tingkat ekonominya.
Dalam sistem Islam masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama, tidak ada pengkelasan, dan seluruh rakyat bisa mengakses fasilitas kesehatan dengan cepat dan mudah. Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan banyak dana, dan pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah.
Yaitu dari pengelolaan kepemilikan umum yaitu berbagai macam tambang, minyak, gas, dan SDA lainnya. Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu mampu mencukupi biaya dalam memberikan pelayanan kesehatan secara memadai, gratis dan berkualitas untuk seluruh rakyat.
Jadi solusi atas semua polemik yang dihadapi umat saat ini, terutama polemik komersiasasi dalam bidang kesahatan ini, hanya akan mampu diatasi dengan menerapkan kembali sistem Islam secara kaffah dalam kehidupan bernegara.
Wallahu’alam bi-ashowab
Tags
Opini