Kezaliman atas Komersialisasi Tes Kesehatan




Lagi-lagi kasus menyedihkan di negeri yang kaya raya akan sumber daya alam ini. Seorang ibu hamil dari keluarga tidak mampu, karena punya riwayat diabetes militus dan bayi dalam kandungannya cukup besar, harus segera menjalani operasi persalinan. Namun kenyataan memilukan, Bu Ervina Yana di Makassar, Sulawesi Selatan, kehilangan bayinya di dalam kandungan saat akan dilahirkan. Penyebabnya adalah karena tindakan operasi kelahiran yang telat akibat dia harus menjalani proses pemeriksaan Covid-19.

"Ibu Ervina ditolak tiga rumah sakit karena biaya rapid dan swab test nya tidak ada yang menanggung. Sehingga di Rumah Sakit terakhir, anak dalam kandungannya meninggal," kata pendamping Ervina dan juga aktivis perempuan, Alita Karen, Rabu (17/6). bbc.com/indonesia, 18/06/2020.

Mahalnya Biaya, Menelan Korban Nyawa

Untuk mengetahui seseorang terinfeksi Covid-19 atau tidak, butuh biaya mahal. Harganya pun bervariasi di berbagai instansi. Biaya rapid test mulai dari Rp 200.000 hingga Rp 600.000, dengan masa berlaku hanya tiga hari. Sementara untuk swab test (alat PCR) antara Rp 1,5 juta hingga Rp 6,5 juta dengan masa berlaku tujuh hari. Setelah itu, hasil tes sudah tidak berlaku dan harus tes ulang jika diperlukan.

Mahalnya biaya tes Covid-19 telah menelan korban. Dalam kasus di atas, keluarga berusaha agar bu Ervina bisa menjalani rapid test sebagai persyaratan menjalani operasi untuk persalinannya. Dengan membayar Rp600.000 bisa diketahui hasilnya reaktif atau positif corona. Selanjutnya pasien disarankan menjalani swab test dengan biaya sekitar Rp2,4 juta. Namun keluarga pasien tidak mampu membayar sejumlah tersebut. Keluarga pun memindahkan pasien ke rumah sakit lainnya. Namun di rumah sakit terakhir, menurut hasil USG bayinya sudah dinyatakan meninggal.

Komersialisasi Biaya Tes Covid-19

Berbagai pihak pun menanggapi atas mahalnya biaya tes Covid-19. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan, tingginya harga tes Covid-19 dikarenakan pemerintah belum menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) atas tes yang dilakukan di luar rumah sakit rujukan.

Sedang Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) menjelaskan, mahalnya biaya tes corona disebabkan beberapa hal, diantaranya : Pertama, pihak rumah sakit harus membeli sendiri alat dan perlengkapan tes. Kedua, biaya untuk membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam tes tersebut, dari dokter, petugas laboratorium, hingga petugas medis yang membaca hasil tes tersebut, lalu ditambah pemeriksaan rontgen.

Kebijakan yang Menyengsarakan

Setiap derita yang dialami rakyat tidak terlepas dari kebijakan yang diterapkan pemerintah. Kondisi mau melahirkan bagi seorang ibu miskin yang punya riwayat resiko tinggi adalah masa darurat. Keharusan tes Covid-19 sebelum menjalani operasi persalinan, ditambah tidak terjangkaunya harga tes kesehatan bagi keluarga tidak mampu adalah sebuah kezaliman penguasa atas pengurusan rakyat yang menjadi amanahnya.

Bagaimana tidak, bayi sudah siap lahir dan harus melalui proses operasi, ditunda pelayanannya hanya karena harus menjalani rapid test dan swab test? Sedang hasil swab test pun tidak bisa dilihat seketika. Swab test secara mandiri dengan biaya sangat mahal baru bisa diketahui sekitar tiga hari, sedang swab test yang biayanya agak lebih murah, hasilnya baru diketahui antara tujuh sampai sepuluh hari.

Andai negara teliti dengan kebutuhan kesehatan bagi setiap individu rakyatnya, fasilitas dan layanan disediakan dengan mudah dan memadai, tentu dapat dihindari kasus kematian bayi dalam kandungan ibu Ervina dan ibu-ibu hamil lainnya. Namun itu tak dilakukan oleh penguasa saat ini. Alih-alih menjamin kebutuhan kesehatan, rakyat justru dipaksa mengikuti kebijakan yang ada.

Beginilah kondisi rakyat ketika diatur oleh penguasa yang bersikukuh menerapkan sistem kapitalisme. Negara difungsikan tidak lebih hanya sebagai regulator. Berbagai kebijakan diterapkan atas dasar nilai materi bagi korporasi dan sebagian penguasa negeri. Kesehatan dan nyawa manusia hanyalah objek untuk diindustrialisasi. Sehingga rakyat sengsara, menjadi korban komersialisasi.

Jaminan Kesehatan Dalam Islam

Islam adalah sistem yang sempurna. Diwahyukan Allah SWT kepada RasuNya untuk kemaslahatan umat di seluruh dunia. Dalam sistem Islam, kesehatan termasuk kebutuhan dasar manusia yang sifatnya kolektif, yang pemenuhannya wajib dijamin oleh negara. Tidak diperbolehkan bagi negara untuk mengalihkan kewajiban ini kepada pihak lain. Meski demikian, layanan kesehatan swasta dan pribadi tetap diperbolehkan berjalan. Semua warga negara memilki akses yang sama terhadap fasilitas kesehatan, tanpa memandang kemampuan financial.

Seorang pemimpin negara dalam sistem Islam (Khalifah) bertanggung jawab penuh dalam menjamin penyediaan layanan kesehatan terbaik dan bebas biaya. Rasa tanggung jawab pemimpin Islam akan muncul karena menyadari bahwa tugas posisi sebagai pemimpin, pengatur dan pelindung adalah amanah yang akan dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT kelak di akhirat.

Islam memberikan perhatian dan penghargaan tertinggi pada kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, melebihi aspek apapun. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, "...Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya..."  (TQS.al-Maidah[5]:32).
Juga berdasar sabda Rasulullah SAW yang artinya, "Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak." (HR. Nasa'i).

Sempurnanya jaminan kesehatan dalam sistem Islam diakui oleh sejarawan Barat Will Durant dalam The Story of Civilization. Dia menyatakan," Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa menarik bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarawan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun."

Maka beralih kepada penerapan sistem Islam, menjadi kebutuhan yang pasti bagi Indonesia maupun dunia, menuju peradaban yang mulia dengan jaminan kesehatan yang sempurna. Bukan hanya jaminan kesehatan di masa pandemi, namun juga dari generasi ke generasi, karena ini sistem buatan Illahi.
Wallahu a'lam bishshawâb.

Penulis : Sumiatun
(Komunitas Pena Cendekia, Jombang)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak