Ketahanan Pangan Kapitalisme, Halalkan Segala Cara




Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban


Sebuah sidak yang dilakukan di Pasar Cikurubuk Tasikmalaya petugas menemukan telur infertil yang ikut dijajakan di salah satu kios pedagang telur ayam ras, Selasa (9/6/2020). Padahal jelas, penjualan telur infertil dilarang dijual dan dikonsumsi dalam Permentan Nomor 32 Tahun 2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi. Namun mengapa rakyat masih menjualnya?


Rakyat yang lapar dan tidak mampu mengakses sektor ekonomi yang lebih baik , sebab telah dikuasai asing dan Aseng akhirnya menghalalkan segala cara. Ketahanan pangan ala kapitalisme ini terbukti bobrok, sebab tak mampu menjamin kesejahteraan rakyat secara perindividu.


Pengabaian negara ternyata berperan lebih besar lagi dalam menciptakan sikap masa bodoh rakyat . Negara justru melunak pada korporasi dan keras terhadap rakyat. Artinya memang harus ganti sebuah sistem yang lebih real mengupakan kesejahteraan , yaitu Islam.


Kapitalisme yang berdiri diatas dasar sekulerisme sangat tidak manusiawi ketika dijadikan sebagai aturan mengatur perekonomian suatu bangsa. Karena memisahkan pengaturan agama dari kehidupan, maka halal haram tak menjadi pertimbangan. Asalkan keuntungan bisa didapat Maka itu menjadi prinsipnya yang utama. Karakter lainnya adalah tamak serta serakah terhadap upaya ekplorasi kekayaan alam negara lain, tak peduli rakyat terdzalimi maka berbagai pertemuan membahas perjanjian kerjasama gencar dilakukan.


Lebih kejam lagi jika menjajah dan membuat krisis sebuah wilayah atau negara maka akan dilakukan. Kelaparan yang kini melanda beberapa negara di dunia, tak pelak menjadi pukulan bagi pelaku ekonomi kapitalisme. Hingga mereka merengek meminta PSBB segera disudahi, sebab tungku keuangan mereka hampir padam.


Pada saat ekonomi sulit seperti saat ini, semestinya pengawasan negara terhadap kebutuhan pokok rakyatnya tidak berkurang sedikitpun . Sebab, manusia yang sehat akan bisa berjuang lebih kuat lagi. Umar bin Khattab begitu terharu ketika mendengar percakapan antara ibu dan anak di sebuah rumah.


Percakapan itu mengenai apakah susu akan dicampur air supaya bisa dijual lebih banyak. Seorang ibu tua berusaha meyakinkan bahwa itu adalah jalan keluar dari kesulitan ekonomi mereka, toh tidak ada yang tahu. Namun putrinya berkata lain, ia tak setuju susu dicampur air meskipun sedikit. Sebab ia yakin bukan Umar persoalannya, tapi Tuhannya Umat, akan mengadilinya lebih parah ribuan kali daripada Umar.


Watak rakyat seperti gadis itu sekarang langka, hari ini keimanan sebagian kaum muslim telah bergeser karena kapitalisme menciptakan kesenjangan dalam hidup. Maka tak ada upaya yang bisa dilakukan selain guna menguatkan ketahanan pangan kecuali dengan kembali kepada pengaturan Islam. Wallahu a' lam bish showab.

Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak