Oleh : Vita Thohirah
Sungguh memilukan, ditengah situasi dan kondisi yang serba kekurangan karena adanya wabah Covid-19 saat ini, Pemerintah justru dengan mudahnya menaikan Iuran BPJS kesehatan. Dimana penambahan jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia semakin meningkat (lihat Covid-19.go.id) dan disampaikan langsung oleh juru bicara pemerintah terkait penanganan Covid-19 Achmad Yurianto. Hal ini tentu membuat rakyat semakin menderita. Para pekerja di PHK, Kelaparan dimana-mana, krisis ekonomi semakin menghantam dunia, kebutuhan kuota melonjak untuk belajar online, serta harga BBM tak kunjung turun.
Dilansir dari Mataram.tribunnews.com - Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan.
Perpres tersebut menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk menaikan Iuran BPJS Kesehatan. Berikut ini, rincian kenaikan Iuran BPJS Kesehatan:
- Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000, dari saat ini Rp80.000.
- Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp100.000, dari saat ini sebesar Rp51.000.
- Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp25.000 menjadi Rp42.000. Namun, Pemerintah memberi subsidi Rp16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp25.500. Kendati demikian, Pada Tahun 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan Pemerintah berkurang menjadi Rp7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah sebesar Rp35.000.
Pemerintah mengaku bahwa dengan diterbitkannya Perpres baru tersebut adalah untuk lebih memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Kebijakan ini sungguh tak sensitif terhadap penderitaan rakyat. Penguasa tidak menunjukan empati sama sekali. Sedangkan rakyat, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Bisa dipastikan kenaikan Iuran BPJS akan membuat daya beli makin nyungsep dan pertumbuhan ekonomi bisa minum.
Selain itu, kenaikan Iuran BPJS kesehatan juga dianggap melanggar keputusan Mahkamah Agung (MA). MA memutuskan untuk membatalkan keputusan Jokowi menaikkan Iuran BPJS kesehatan.
Sebelumnya, Jokowi pernah menaikkan Iuran BPJS kesehatan untuk peserta mandiri sebesar 100 persen mulai awal tahun ini. Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres Jaminan Kesehatan tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, pasal tersebut juga dinyatakan bertentangan dengan sejumlah Undang-undang (detik.com, 14/05/2020).
Dalam putusan pembatalan saat itu, MA menilai bahwa defisit jaminan sosial (BPJS) kesehatan disebabkan salah satunya karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS. Oleh karenanya, menurut MA, defisit BPJS tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan Iuran bagi Peserta PBBU (Pekerjaan Bukan Penerima Upah) dan BP (Bukan Pekerja).
Dengan adanya kenaikkan Iuran BPJS Kesehatan di tengah wabah seperti ini menegaskan bahwa Pemerintahmemang tidak memiliki kepedulian terhadap rakyatnya. Dalam situasi sulit seperti ini, Pemerintah seharusnya mengurasi urusan rakyat, baik dalam kebutuhan pokok maupun dalam bidang kesehatan. Namun hal ini, Pemerintah justru membuat rakyat semakin sulit. Pemerintah di era Kapitalis menjadikan kesehatan sebagai salah satu ajang bisnis yang sangat menjanjikan. Sungguh, memprihatinkan nasib rakyat saat ini.
Jika menoleh kebelakang, jaminan sosial (BPJS) kesehatan ini disebut-sebut sebagai salah satunya solusi dari segala macam persoalan kesehatan yang ada di masyarakat. Atas nama gotong royong, dan Iuran BPJS Kesehatan diwajibkan atas setiap individu. Baik yanh sakit-sakitan, maupun yang sehat, semuanya itu harus terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Ahli-ahli untuk meringankan beban dan memberikan pelayanan terbaik pada rakyatnya. Namun, pada kenyataannya BPJS Kesehatan justru semakin mencekik rakyat. Pelayanan yang buruk, obat yang tidak generik, hingga jumlah korban jiwa tidak tertolong karena penolakan diberbagai Rumah Sakit akibat menggunakan kartu BPJS Kesehatan.
Berbeda dengan cara Islam menangani masalah kesehatan. Dalam Islam, kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Mengatasi pandemi, tak mungkin bisa melepaskan diri dari performa kesehatan itu sendiri. Islam mewajibkan negara (Khilafah) menjadi tempat rakyat untuk mencari solusi. Kebutuhan vital rakyat terhadap kesehatan menjadi tanggung jawab Negara untuk melayani.
Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna. Selain mengatur persoalan individual seperti makanan, minuman, pakaian dan akhlak, Islam juga mengatur hal udubiyah (ibadah) dengan Allah seperti sholat, puasa, zakat, ibadah haji, dzikir, doa dan dakwah.
Kesehatan dalam pandangan Islam sebagai kebutuhan pokok publik, Islam meletakkan dinding pemisah tebal antara kesehatan dan kapitalisasi atau aspek bisnis. Negara akan menyediakan layanan kesehatan, sarana dan prasarana pendukung dengan visi melayani kebutuhan rakyat secara meneyeluruh tanpa diskriminasi, baik muslim maupun nonmuslim.
Negara (Khilafah) berfungsi sebagai pelayanan rakyat, dan tidak menjual layanan kesehatan pada rakyatnya. Negara tidak boleh mengkomersilkan hak publik sekalipun yang mampu membayar. Layanan kesehatan yang berkualitas dijamin ketersediannya oleh Negara. Ini terbukti dari banyaknya institusi layanan kesehatan yang didirikan selama masa kekhalifahan agar kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan gratis dan bermutu.
Maka, masihkah kita tetap mempertahankan dan berpegang teguh pada sistem demokrasi kapitalis yang hanya berdiri untuk kepentingan dan manfaat para penguasa dan pengusaha ataukah mencampakkannya?. Mari tinggalkan kapitalis dan saatnya kembali pada penerapan syariat Islam secara kaffah.