Kehidupan Normal Baru Ketika Kondisi Kian Lesu



Oleh: Alfiah Tsabita
(Pembina Bengkel Remaja Kupang)

Kemunculan Corona Virus Disease atau Covid-19 berhasil mempengaruhi bahkan mengubah berbagai bidang dan aspek kehidupan manusia menjadi kian lesu. Mulai dari kesehatan, ekonomi, politik, sosial masyarakat, hukum, pendidikan hingga hubungan Internasional yang ada di dunia. Tiap negara yang terdampak wabah ini melakukan berbagai upaya untuk mencegah penularan Covid-19, dengan harapan agar tidak tercipta efek yang lebih buruk lagi.
Beda negara, beda pula cara penanganannya. Hingga saat ini, terdapat beberapa negara yang telah berhasil menekan jumlah kasus korban positif terinfeksi Covid-19. Singapura misalnya, saat ini kasus Covid-19 di Negara Singa itu sudah di bawah 10 atau mungkin maksimal belasan per harinya. Tidak hanya Singapura, negara lain seperti Korea Selatan dan Jerman juga mengalami hal yang serupa yakni penurunan jumlah kasus hingga berada pada single digit. Dengan kondisi tersebut, negera-negara ini berani mengambil kebijakan untuk melakukan pelonggaran restriksi sosial yang sebelumnya telah diperketat, atau dengan kata lain negara-negara ini  per tanggal 1 Juni 2020 kemarin telah menerapkan kebijakan a new normal atau kehidupan normal baru (CNBC Indonesia, 27/5/20).
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Berbeda dengan Singapura, Korea Selatan ataupun Jerman, penerapan kebijakan new normal dinilai belum cocok untuk diterapkan di Indonesia saat ini. Karena Indonesia belum memenuhi kriteria yang menjadi syarat agar bisa diberlakukan new normal, salah satunya yakni melandainya kurva kasus positif terinfeksi Covid-19.
Bahkan menurut beberapa ahli, Indonesia dianggap belum mencapai puncak pandemi karena belum secara maksimal melakukan tes massif.
Namun, pemerintah seolah tidak memperdulikan hal tersebut. Ungkapan Presiden Indonesia untuk berdamai dengan virus Corona pun semakin terbukti dengan akan diterapkannya kebijakan New Normal. Tak heran berbagai pihak turut mengomentari aturan ini.
Organisasi keagamaan Muhammadiyah juga turut menyuarakan kritik dan skeptis atas kebijakan ini. Abdul Mu’ti mengungkapkan bahwa belum waktunya berdamai dengan Corona, dan tagar lawan Corona masih harus diberlakukan. Diwaktu yang sama, Agus Samsudin pun turut bersuara, baginya ini bukanlah suatu sikap yang tepat, mengingat pergerakan kasus positif baru terus naik dari hari ke hari. Ajakan tersebut bagi Agus juga tidak tepat karena di sisi lain ada nasib para tenaga kesehatan dan warga terpapar yang dipertaruhkan (Tirto.id, 31/5/20).
Selain itu, masyarakat juga dinilai belum siap untuk menghadapi pola kesehatan yang baik dalam menghadapi wabah ini. Menurut Pradiptajati ketika masyarakat hendak melakukan suatu hal yang mendesak di luar rumah, masyarakat harus melakukan physical dan sosial distancing, juga hygiene yang baik seperti menggunakan masker dan sering mencuci tangan. Jika dillihat dalam kehidupan sehari-hari, semua itu belum dilakukan secara serempak oleh tiap individu masyarakat [CNBC Indonesia, 27/5/20].
Namun sekali lagi, berbagai komentar ini jelas tidak dihiraukan oleh pemerintah. Bahkan tidak segan-segan demi memaksakan kebijakan new normal ini, pemerintah turut melibatkan TNI dan Polri.
Berbicara tentang new normal sendiri tidak akan terlepas dari dampak kegagalan pemerintah ala sistem kapitalis dalam mengatasi wabah Covid-19 ini. Lihat saja wabah ini telah berhasil membuat krisis dan lesunya semua aspek kehidupan. Sifat sistem kapitalis yang hanya melihat nilai materi dan asas kepentingan ekonomi serta korporasi terasa dominan dalam berbagai kebijakan yang telah dibuat. Penelitian dibidang sains dan juga suara publik bukanlah dasar pertimbangan tiap kebijakan yang ada.
Bukan tanpa bukti hal ini dikatakan, alih-alih menyiapkan dan menjamin kehidupan masyarakat dalam kondisi wabah, pemerintah lebih sibuk menyiapkan skenario pembukaan berbagai sektor industri, jasa bisnis, toko, pasar, mall, sektor kebudayaan, sektor pendidikan, serta berbagai aktivitas sehari-hari lainnya di luar rumah.
Dari sini nampak bahwa pemerintah tidak menimbang upaya penanggulangan wabah sama sekali, melainkan yang dipikirkan hanya bagaimana agar roda perekonomian dapat berjalan normal kembali.
Kebijakan new normal ini akan memaksa masyarakat agar berjuang lebih berat lagi dalam mengurusi kehidupan yang kian hari kian lesu, sebab rakyat harus berhadapan dengan kebobrokan sistem kapitalis sekaligus berhadapan dengan wabah yang kian mengganas. New normal bukan hanya mampu membahayakan masyarakat, melainkan konsep ini bertentangan dengan konsep Islam dalam menangani wabah.
Dalam Islam saat kondisi wabah, maka kebijakan penguncian wilayah atau yang saat ini dikenal dengan istilah lockdown yang dilakukan sesuai syariat merupakan cara yang paling efektif dalam memutus rantai wabah, bukan malah meminta rakyat hidup berdampingan dengan wabah. Pemerintahan Islam tentunya tidak akan menjadikan asas kepentingan ekonomi sebagai dasar merumuskan kebijakan, sebab Islam menjadikan hukum syara dan kemaslahatan umat sebagai fokus utama dalam membuat kebijakan.
WalLahu a’lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak