Kebutaan Mata dan Kebutaan Hukum



Oleh Suci Hardiana Idrus

Entah bagaimana rasanya menjadi Novel Baswedan, tatkala mendengar tuntutan bagi pelaku kriminal terhadap dirinya dipersidangan yang hanya dituntut satu tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum. Sudahlah matanya buta, hukumnya pun seolah ikut buta. Sidang tersebut disiarkan secara "Live Streaming" di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Kamis, 11, Juni, 2020.

Dari kasus ini, tentu banyak hal yang menganggu posisi akal sehat kita sebagai manusia. Kasus yang berlangsung selama kurang lebih 2 tahun itu hanya berbuah kekecewaan dan ketidakadilan yang dipertontonkan di mata publik. Tak tanggung-tanggung, publik pun seakan dibuat resah hingga jagad dunia maya begitu ramai memperbincangkan kasus Novel Baswedan. Hingga yang terakhir menjadi viral seorang Stand up Comedy Bintang Emon, mengunggah video di Instagram pribadinya dengan caption "Ga Sengaja" yang mengkritisi jalannya proses persidangan tersebut pada tanggal 21 Juni 2020. Ia mempertanyakan ketidaknormalan hukum yang sedang berjalan di pengadilan. 

Trendingnya Taggar #gaksengaja di Twitter menjadi tanda bahwa mata publik mulai terbuka pikirannya menanggapi dengan begitu cepat mengenai adanya kejanggalan dan ketidakadilan hukum di negeri ini. Apalagi korbannya adalah seorang penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sejak tahun 2007. Bagaimana bisa orang sepertinya tidak mendapatkan keadilan hukum. Lantas bagaimana nasib rakyat biasa untuk mendapatkan keadilan? Tentu hal ini semakin mengurangi rasa kepercayaan rakyat sebagai warga negara yang ingin menuntut keadilan. Di samping itu, beberapa kasus yang serupa mulai diungkit kembali dan disandingkan oleh kasus Novel Baswedan. Salah satunya adalah mengenai kasus penusukan Wiranto.

Melansir dari CNN Indonesia, tanggal  16, Juni, 2020, Pelaku penusukan terhadap Eks Menko Polhukam Wiranto, Syahrial Alamsyah alias Abu Rara dituntut pidana 16 tahun penjara.

Tuntutan dibacakan saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (11/6).

"Terdakwa Syahrial Alamsyah alias Abu Rara pidana penjara selama 16 tahun," ujar Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Barat Eko Aryanto kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Selasa (16/6).

Pada tanggal 15, Juni, 2020, Dalam akun Twitter Novel Baswedan, ia bahkan mengungkapkan ketidakyakinannya terhadap 2 orang pelaku penyiraman air keras terhadap dirinya.
"Saya juga tidak yakin kedua orang itu pelakunya. Ketika saya tanya penyidik dan jaksanya mereka tidak ada yang bisa jelaskan kaitan pelaku dengan bukti. Ketika saya tanya saksi-saksi yang melihat pelaku dibilang bukan itu pelakunya. Apalagi dalangnya? Sudah dibebaskan saja daripada mengada-ada." Ungkapnya dilaman Tweeter miliknya.

Banyaknya bukti kejanggalan kasus tersebut dipersidangan, seolah menunjukkan wajah hukum di negeri ini tak begitu bisa diandalkan, jika benar ada intervensi dari pihak lain terhadap lembaga peradilan. Tuntutan satu tahun penjara bagi pelaku kriminal seolah-olah melecehkan hukum itu sendiri dan para penegaknya. Masyarakat tentu mengharapkan agar lembaga hukum peradilan bisa independen tanpa ada intervensi dari pihak manapun untuk menutupi sebuah kejahatan demi terciptanya rasa keadilan ditengah-tengah masyarakat, serta hukuman yang pantas bagi orang-orang yang bertindak jahat terhadap orang lain.

Bagaimana Islam memandang hal tersebut?
Islam tidak hanya dipandang sebagai agama saja, akan tetapi substansinya adalah adanya syariah yang mengatur segala aspek kehidupan manusia di dunia dengan halal-haram, yang disertai dengan wajib, sunnah, ataupun makruh. Syariah juga memberi pengaturan sekaligus solusi bagi tiap permasalahan, termasuk masalah kriminalitas. Kasus yang terjadi pada Novel Baswedan masuk ke dalam hukum qisash.

Qisash adalah suatu hukuman yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk tindak pidana yang dilakukan, seperti membunuh dibalas dengan membunuh.

Hukuman mati seperti ini disebut qisas karena hukumannya sama dengan tindak pidana yang dilakukan mengakibatkan qisas tersebut. Seperti, membunuh dibalas dengan membunuh dan memotong kaki dibalas dengan pemotongan kaki pelaku tindak pidana tersebut. 

Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS al-Baqarah [2]: 178).

“Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah [2]: 179).

Imam Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan jika qisas dilaksanakan, orang yang ingin membunuh akan merasa jera karena takut akan diqisas jika melakukan pembunuhan. 

Ibnu Katsir mengatakan, hikmah di balik pensyariatan qisas adalah menjaga jiwa manusia karena orang yang hendak membunuh jika mengetahui akibatnya ia juga akan dibunuh sebagai balasan dari perbuatannya, ia akan berhenti. Sehingga, hukuman itu memberikan kehidupan bagi manusia.

Qisas memang merupakan hukuman yang kejam. Namun, sejujurnya pelaku pembunuhan jauh lebih kejam, bahkan sangat kejam. Seseorang dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) ketika hukum qisas akan dijalankan. Namun, orang yang telah membunuh orang lain tidak terkena hukum HAM.

Wallahu'alam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak