Oleh: Yogin Yuanita
(Mahasiswa Aktif)
Sejumlah daerah di Indonesia, kini telah bersiap menuju pemberlakuan new normal life. Sebelum “new normal life”, pemerintah telah lebih dahulu merilis istilah “berdamai dengan corona”. Menurut update yang dikutip dari Kompas.com (26/05/2020), “new normal” adalah nama lain dari “hidup berdamai dengan Covid-19”. “New normal” kembali diumumkan di tengah pandemi virus corona yang kian meluas dan menginfeksi jutaan orang di dunia, termasuk di Indonesia.
Di antara rencana pelaksanaan “new normal life” adalah TNI dan Polri akan mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan di lapangan, seperti penggunaan masker hingga menghindari kerumunan guna memastikan kegiatan masyarakat tetap aman dari virus corona. Terkait hal ini, Jokowi menyatakan bahwa pemerintah ingin masyarakat tetap bisa produktif meski ada pandemi, dengan mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Dalam keterangannya pula, Jokowi sempat memuji kota Bekasi yang telah menekan penularan virus Corona, yang ditunjukkan oleh kurva R0 di bawah angka 1. Jokowi berharap konsep new normal tetap memperhatikan angka penularan virus Corona. Meski demikian, aroma penguatan ekonomi lebih dominan ketimbang menguatkan kesehatan dan keselamatan masyarakat.
Begitulah karakter peradaban kapitalisme buruk dan berbahaya yaitu mengakui nilai materi semata. Dinyatakan Syaikhul Islam Al ‘Aaalim Taqiyuddin An Nabhani rahimahullah, dalam tulisannya berjudul Al Hadharah Al Islamiyah, buku An Nizhamul Islam, “Oleh karena itu tidak akan ditemukan dalam peradaban Barat nilai moral, atau nilai spiritual, atau nilai kemanusiaan, kecuali nilai materi saja”. Sehingga, aspek ekonomi yang hanya membahas sisi materi dan manfaat dalam sistem ekonominya, menjadi fokus daripada mengatasi urusan kesehatan dan nyawa manusia. Bahkan perkara kesehatan sendiri tidak lebih dari jasa yang dikomersialkan.
Hal ini terlihat pada konsep “new normal” atau “new normal life” ini. Demi hasrat meraih nilai materi, rezim berkuasa berlepas tangan dari mengatasi pandemi Covid-19 yang tengah berkecamuk. Kendati untuk itu, kesehatan dan nyawa miliaran manusia menjadi taruhannya.
Tak hanya mengagungkan materi, pengabaian kebenaran sains oleh peradaban Kapitalisme juga tampak pada “new normal”. Hal ini telah membuat kekhawatiran para ahli memuncak, khususnya ahli kesehatan. Di Indonesia, sejumlah para ahli kesehatan pun telah bersuara. Khususnya melihat kurva epidemiologi yang jangankan melandai, menunjukkan titik puncak (peak) pun belum. Namun pemerintah telah membuat timeline bagi aktivitas ekonomi. Wakil ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan, “Saat ini terlalu cepat untuk mengambil langkah new normal. Untuk masuk new normal, pemerintah harus memiliki indikator dan kriteria berbasis data penanganan corona secara medis dan epidemiologis”. (kompas.tv)
Ketua IDI Surabaya juga menyebut belum mengetahui kapan corona akan berakhir. Namun jika protokol “new normal” diterapkan, ada satu pekerjaan rumah. (detik.com)
Anthony S Fauci, dokter ahli penyakit menular dan direktur National Institute of Allergy and Infectious Disease di Amerika Serikat menyatakan hal yang sama. Ia menentang langkah Trump yang membuka kembali sekolah dan ekonomi saat wabah sedang mengganas, dan menyatakan kepada sejumlah gubernur negara bagian, “Ada risiko nyata bahwa Anda akan memicu wabah yang mungkin tidak dapat anda kendalikan”.
Ia juga menegaskan, “We don’t know everything about the virus and we really better be pretty careful, particularly when it comes to children.” (Kita tidak tahu segalanya tentang virus dan kita sebaiknya berhati-hati, terutama ketika menyangkut anak-anak).
Sedangkan perawatan dan vaksin bukanlah jaminan, sebagaimana ia nyatakan, “The idea of having treatments available or a vaccine to facilitate the re-entry of students into the fall term would be something that would be a bit of bridge too far.“ (Ide penyediaan perawatan dan vaksin untuk memfasilitasi siswa kembali ke sekolah di musim gugur adalah penyelesaian yang terlalu jauh).
Kepada masyarakat Amerika yang bertanya-tanya kapankah kehidupan mereka kembali normal, ia (Anthony S Fauci) berpesan, “You’ve got to be realistic and you’ve got to understand that you don’t make the timeline, the virus makes the timeline”. (Anda harus realistis dan mengerti, bahwa bukan Anda yang membuat timeline, viruslah yang membuat timeline). Artinya, timeline kalender epidemiologi (kondisi virus penyebab pandemi) harusnya dijadikan landasan kapan aktivitas kehidupan bisa kembali normal, bukan ekonomi, dan hal ini membutuhkan data saintifik. Sementara data saintifik sendiri belum menunjukkan landaian kurva Covid-19, di dunia maupun di Indonesia. Bahkan di sejumlah negara, kurva melandai yang kembali naik menunjukkan adanya gelombang pandemi kedua.
Bagaimana Islam Memandang Hal Ini?
Allah Swt berfirman yang artinya: “Kalian mengatakan dengan mulut-mulut kalian apa yang kalian tidak mempunyai ilmunya. Kalian mengiranya sederhana pada hal itu adalah besar di sisi Allah”. (TQS Ibrahim [24]:15).
Peradaban Islam adalah satu-satunya peradaban berkarakter mulia, pemberi rasa tenteram dan ketenangan bagi kehidupan umat manusia.
Karakter yang begitu sempurna telah ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya, “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan penyejahtera bagi seluruh alam.” (TQS Al Anbiya [21]: 107).
Lebih dari itu, keberadaan peradaban Islam yang berdasarkan akidah Islam menjadikannya sebagai satu-satunya peradaban yang sesuai fitrah bani insan. Islam memiliki gambaran tentang kehidupan sebagai aktivitas yang harus dijalankan sesuai dengan perintah dan larangan Allah dan memaknai kebahagiaan hidup sebagai teraihnya ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semua hal ini meniscayakan dalam peradaban Islam terwujud nilai materi, spiritual, kemanusiaan, dan moral secara serasi.
Ini di satu sisi, di sisi lain Islam menihilkan aspek hegemoni manusia bersamaan dengan terwujudnya fungsi negara yang sahih. Sehingga, manusia pada posisi mulia di tengah pesatnya kemajuan sains dan teknologi. Buah manis keharmonisan peradaban Islam dengan kebenaran sains. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan dalam QS Al Isra (17): 70, yang artinya, “Kami telah memuliakan anak-anak Adam.” Tidak sekadar konsep, peradaban Islam dengan karakternya yang mulia sebagai pewujud kesejahteraan seluruh alam, benar-benar telah teruji selama puluhan abad dan di dua per tiga dunia. Ini semua telah diukir oleh tinta emas peradaban sejarah.
Hari ini, dengan karakternya yang begitu sempurna, peradaban Islam adalah satu-satunya harapan dunia. Pembebas dari pandemi Covid-19 yang berlarut-larut. Juga pembebas dunia dari agenda hegemoni. Baik di Timur oleh Cina dan sekutunya, maupun di Barat oleh AS dan sekutunya. Berikut dengan lembaga internasional seperti WHO, PBB, WB, IMF, dan korporasi raksasa dunia yang menjadikan kesehatan dan nyawa manusia sebagai objek hegemoni. Pada gilirannya, peradaban Islam –Khilafah– akan membawa dunia pada puncak kesejahteraan untuk kedua kalinya dengan izin Allah SWT.
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan din yang benar agar dimenangkan-Nya atas semua din. Dan cukuplah Allah sebagai saksi…” (TQS Al Fath[48]: 28). Allahu A’lam.
Mari kita pikirkan dengan seksama apakah kita masih menggantungkan harapan pada sistem Kapitalisme Yang terbukti gagal? Ataukah justru berjuang menerapkan kembali solusi terbaik yang berasal dari Islam, yang terbukti mampu menyelamatkan.
Wallahu a’lam bish-showab