Oleh : Bunda Kayyisa Al Mahira
Pemerintah mulai awal Juni lalu telah menerapkan kebijakan new normal. Kebijakan ini dibuat saat grafik kurva pandemi Covid-19 di Indonesia masih belum melandai.
Pemerintah berharap dengan adanya kebijakan new normal akan dapat menggerakan kembali roda-roda kegiatan perekonomian Indonesia yang laju pertumbuhannya sempat terpuruk di kuartal 1 2020, yaitu hanya 2,97% berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS).
Kebijakan new normal ini dinilai beberapa kalangan sangat prematur dan gegabah tanpa kajian ilmiah. Hal ini bisa memicu gelombang kedua dan sangat membahayakan nyawa rakyat. Kebijakan new normal diterapkan saat wabah ini masih belum menurun, alih-alih menurun mencapai puncak pun belum, para ahli memperkirakan puncak wabah sekitar bulan Juli atau Agustus.
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan Indonesia harus bersiap menghadapi pandemi Covid-19 gelombang kedua jika Pemerintah menerapkan era new normal saat angka penularan masih tinggi. Bahkan PSBB baru bisa dilonggarkan jika angka penularan sudah menurun (kompas.com, 18/5/2020).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun telah menetapkan syarat sebuah negara bisa menyelenggarakan new normal. Menurut WHO harus mempertimbangkan beberapa hal diantaranya yaitu bukti yang menunjukkan bahwa transmisi COVID-19 dapat dikendalikan. Kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina.
Kebijakan new normal di tengah wabah Covid - 19 yang masih tinggi ini menunjukan bahwa pemerintah lebih mengutamakan ekonomi dibandingkan dengan keselamatan nyawa rakyat. Padahal negara salah satu tugasnya adalah melindungi dan melayani rakyat bukan sebaliknya malah membahayakan rakyat.
Hal ini terjadi karena tata kelola negeri ini berlandaskan sistem kapitalis yang sekuler. Semuanya diukur dengan materi dan ekonomi sebagai prioritas utama.
Kebijakan ini sangat berbeda dengan Islam, sebagaimana saat terjadi wabah thoun, Khalifah Umar bin Khattab dengan cepat dengan tepat bertindak. Saat wabah penyakit melanda, maka dipisahkan antara rakyat yang sakit dan sehat.
Mereka yang sehat dilarang memasuki kawasan yang sedang dilanda wabah. Sementara itu, rakyat yang tinggal di daerah wabah tidak diperkenan meninggalkan daerahnya, harus tetap di rumah. Semua rakyat patuh tinggal di rumah, karena dijamin kebutuhan hidupnya oleh negara.
Dalam memutus rantai penyebaran virus ini harus diketahui siapa yang sehat dan siapa yang sudah sakit. Untuk mengetahui siapa yang sakit dan yang sehat dilakukan 3T (test, treatment, tracing). Kecepatan dalam melakukan 3T itu menjadi kunci keberhasilan memutus rantai virus.
Tes harus dilakukan dengan akurat secara cepat, masif dan luas. Lalu dilakukan tracing kontak orang yang positif dan dilakukan penanganan lebih lanjut. Selanjutnya treatment bagi mereka yang positif, mereka dirawat secara gratis ditanggung negara. Tentu semua itu disertai dengan langkah-langkah dan protokol kesehatan lainnya yang diperlukan.
Dengan langkah itu bisa dipisahkan antara orang yang sakit dan yang sehat. Mereka yang sehat tetap bisa menjalankan aktivitas kesehariannya. Mereka tetap dapat beribadah dan meramaikan masjid. Mereka juga tetap menjalankan aktivitas ekonomi dan tetap produktif. Dengan begitu daerah yang terjangkit wabah tetap produktif sekalipun menurun. Rantai wabah pun bisa diputus, ekonomi segera bangkit, rakyat bisa beraktifitas kembali dengan nyaman.
Inilah prosedur penanganan wabah sesuai petunjuk syariah, nyawa dan kesehatan rakyat tetap bisa dijaga. Agama dan harta (ekonomi) juga tetap terpelihara.
Kebijakan seperti inilah yang seharusnya diambil dan dijalankan sekarang ini. Penerapan syariah Islam memberikan solusi tuntas bagi wabah yang sedang terjadi saat ini. Syariah Islam memelihara agama, nyawa dan harta manusia. Masihkah alergi dengan penerapan syariah Islam yang memuliakan dan mensejahterakan?
Wallohu'alam bishowwab
Tags
Opini