Oleh : Eri*
Hakikatnya manusia ingin diperlakukan sama dimata hukum. Sesuai dengan fitrahnya yang menyukai keadilan dan membenci kezaliman. Begitu pula Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pasal 7 menyatakan bahwa "Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun."(wikipedia.org)
Namun faktanya, manusia sering mendapatkan kezaliman dan diskriminasi hukum. Ini terjadi disebabkan kurang tegas hukum tersebut yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Belum lama ini, masyarakat dibuat geram dan mempertanyakan atas keputusan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut pidana setahun penjara untuk pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
Kritikan tajam dan sindiran menjadi trending di jagad maya. Publik menumpahkan kekesalan mereka dengan memakai kata-kata 'ga sengaja'. Salah satunya komika Bintang Emon membuat video sindiran 'ga sengaja' yang kemudian diposting ulang oleh Njawa Shihab. (tribunkaltim.co 13/6/2020)
Banyak rakyat kecil dan lemah menjadi korban dari peradilan yang menerapkan hukum-hukum sekuler buatan manusia. Segelintir orang bahkan memanfaatkan kemampuan ekonominya, untuk 'membeli' hukum demi kepentingan dirinya. Kebobrokan sistem sekular menjadikan keadilan barang mewah. Mengakibatkan terjadinya diskriminasi hukum terhadap rakyat kecil.
Terlalu sering negeri ini mempertontonkan ketidakadilan dan kasus Novel bukanlah satu-satunya. Contoh lain, Rica seorang ibu asal Pekanbaru-Riau, terpaksa mencuri sawit sebesar Rp. 76.500 karena tiga anaknya kelaparan. Hakim pun menyatakan bersalah dan memvonis tujuh hari penjara dengan masa percobaan dua bulan. (suara.com 4/6/2020)
Inilah pengadilan berasaskan sistem kufur. Bertumpu pada hukum sekuler buatan manusia. Melahirkan para penegak hukum yang bermental rusak dan mudah disuap bahkan jauh dari nilai-nilai agama. Pengadilan semu yang menjadi alat gebuk segelintir orang berduit atau berkuasa. Rakyat kecil hanya menjadi korban dari kepentingan mereka.
Untuk mewujudkan keadilan maka dibutuhkan sistem yang memiliki aturan komprehensif, mampu menyelesaikan seluruh permasalahan manusia. Sistem yang bersumber dari Sang Pencipta, Allah SWT. Islam diturunkan kepada manusia untuk menjadi rujukan. Sebagai standar untuk menciptakan keadilan hakiki.
Memutuskan perkara secara adil merupakan kewajiban Ulil Amri, Qadhi maupun penguasa. Serta menjadikan Syariat Islam sebagai dasar memutuskan perkara. Sistem yang melahirkan para pemimpin dan penegak hukum yang amanah serta memiliki rasa takut terhadap siksaan-Nya di akhirat. Sepanjang Islam diterapkan telah berhasil memberikan keadilan bagi seluruh umatnya tanpa diskriminasi.
Umar bin Khattab, ia adalah pemimpin yang teguh prinsipnya, berani, tegas serta adil. Banyak permasalahan umat yang diselesaikan Umar dengan adil. Suatu hari, anak Gubernur Mesir Amir bin 'Ash, memukul seorang petani miskin. Sang petani tidak terima lalu mengadu kepada sang Khalifah. Umar pun geram mendengar pengaduan dari sang petani, lalu mempersilakan petani miskin tadi untuk membalasnya.
Kasus lainnya, pembantu Hatib bin Abi Balta'ah ketahuan mencuri seekor unta milik pria asal Muzainah. Umar lantas menggelar sidang untuk mengadili perkara tersebut dan mengetahui pembantu itu mencuri karena terpaksa sebabnya ia kelaparan. Umar lalu mengimbau Abdurrahman bin Hatib agar membayar dua kali lipat harga unta yang dimiliki orang Muzainah itu. Dengan demikian, status unta tadi menjadi halal–yakni tak lagi sebagai barang curian.
Dari kedua kisah diatas, Umar ingin mengajarkan banyak hal. Bahwa semua manusia mempunyai hak yang sama dihadapan hukum, tidak peduli jabatan, kedudukan sosial maupun harta. Untuk kasus kedua, kebijakan Umar ini bukan tanpa didasari nash. Ia merujuk surah al-Baqarah ayat 173, Artinya, “…jika dalam keadaan terpaksa bukan sengaja hendak melanggar atau mau melampaui batas maka tidaklah ia berdosa. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih.”
Keadilan hakiki akan hadir ditengah-tengah umat apabila menerapkan syariah Islam secara kaffah. Adil akan tercipta jika setiap memutuskan perkara berdasarkan Al-Qur'an dan as-sunah. Selain itu, sistem yang shahih akan melahirkan pemimpin maupun hakim yang memiliki keimanan tinggi. Pemimpin yang memperlakukan secara sama umatnya tanpa diskiminatif. Peradaban Islam telah membuktikan bahwa keadilan bukan utopis, kelak menjadi sebuah keniscayaan bagi seluruh umat Muslim di dunia dengan Syariah Islam.
Waallahu a'lam bis shawwab.
*(Pemerhati Masyarakat)
Tags
Opini