Kasus Baru Corona Makin Banyak: Karena Tes Atau New Normal?




Oleh: Fina Fadilah Siregar
  
Pemberlakuan new normal atau kenormalan baru selama pandemi virus corona yang direncanakan pemerintah dinilai belum tepat. Sebab Indonesia masih belum aman dari penyebaran Covid-19.
  
Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dr. Iwan Ariawan menyampaikan, dengan jumlah kasus yang masih terbilang tinggi maka penerapan new normal beresiko tinggi terhadap makin masifnya penyebaran virus corona. 
 
Hal tersebut dikatakan Iwan dalam diskusi virtual yang diadakan oleh Para Syndicate, Minggu (21/6). "Seharusnya, mengacu persyaratan WHO, kalau kondisi jumlah kasus tidak naik selama dua minggu baru bisa dilonggarkan bahkan ada beberapa negara yang menetapkan pelonggaran dilakukan kalau sudah menurun selama satu bulan. Jadi sekarang kondisi di Indonesia belum aman untuk keluar dan bergerak, risikonya masih tinggi," katanya.
  
Selain itu, Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dr. Panji Fortuna Hadisoemarto juga menilai pemerintah seharusnya fokus pada menekan angka kasus virus corona dahulu ketimbang berpikir melonggarkan aturan demi ekonomi. "Agenda pemberantasan penyakitnya tidak ada, narasi yang dibawa malah hidup berdampingan, berdamai dengan covid. Ini masalahnya kebijakan amburadul karena arahnya bukan memberantas, kalau agendanya kuat untuk memberantas Covid-19 baru kita bisa menemukan jalan," kata Panji. 
  
Menurut Panji, perekonomian Indonesia pun akan sulit berjalan kalau wabah belum diatasi karena kesehatan masyarakat perlu diperkuat lebih dulu.
 
Sepakat dengan hal itu, Iwan menambahkan, pemerintah seharusnya memikirkan kesehatan masyarakat terlebih dulu ketimbang ekonomi. "Kesehatan harus aman dulu baru ekonomi bisa tumbuh. Pedomannya itu harus aman dan produktif, jangan terbalik produktif dulu baru nanti aman," ucapnya.
  
Sementara itu, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menyebut masih tingginya kasus baru Covid-19 karena pelacakan yang dilakukan secara agresif. "Penambahan ini sangat signifikan di beberapa daerah karena kontak tracing dari kasus konfirmasi positif yang kami rawat lebih agresif dilaksanakan dinas kesehatan di daerah," kata Yurianto dalam keterangannya di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu sore.
  
Yuri menyebut, orang yang ditemukan lewat hasil pelacakan itu kemudian dites spesimennya menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Tes Cepat Molekuler (TCM). "Dan mendapatkan hasil signifikan positif. Ini upaya kita untuk menjawab bahwa pemeriksaan harus masif berbasis dari data kontak tracing yang dilaksanakan secara agresif," kata dia.
  
Yuri menegaskan pelacakan agresif disertai tes masif ini penting untuk menemukan kasus positif di masyarakat. Orang yang dinyatakan positif pun kemudian bisa segera diisolasi atau dirawat. "Ini menjadi penting agar tidak menjadi sumber penularan," kata dia.
  
Sebagai informasi, kasus baru Covid-19 tembus di atas seribu per hari. Pada Sabtu (20/6/2020) pemerintah mencatat ada penambahan 1.226 kasus berdasarkan data yang dihimpun dalam 24 jam terakhir. Penambahan itu menyebabkan total kasus Covid-19 di Indonesia menjadi 45.029.
  
Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan para ahli berpandangan bahwa tingginya angka kasus baru corona di berbagai daerah karena pelonggaran PSBB di tengah kondisi ketidaksiapan masyarakat. Oleh karena itu, semestinya program new normal dicabut. 
 Sementara pihak pemerintah beralasan tingginya angka kasus baru corona karena faktor tes masif dan pelacakan agresif yg dilakukan oleh pemerintah.
  
Apapun alasannya, melakukan tes dan pelacakan adalah tanggung jawab negara agar memastikan individu yang terinfeksi tidak menularkan kepada individu yang sehat. Sehingga individu yang sehat tetap produktif menjalankan aktivitasnya. Juga merupakan kewajiban negara mencari jalan keluar jitu bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terdampak pembatasan selama masa karantina. Jangan hanya membuat pencitraan dengan memberikan bantuan yang jumlahnya sangat sedikit, lantas merasa sudah bertanggung jawab kepada rakyat sepenuhnya. Pemerintah juga jangan dengan mudah mengatakan bahwa rakyat harus berdamai dengan corona dan membiarkan rakyat begitu saja tanpa perlindungan apapun, baik kesehatan maupun finansial.
  
Semestinya kelesuan ekonomi yang dialami pelaku ekonomi raksasa/kapitalis tidak menjadi pendorong kuat pemerintah memberlakukan new normal dengan risiko mengorbankan keselamatan jiwa masyarakat luas, karena keselamatan jiwa adalah hal yang paling utama bagi setiap individu. 
  
Pada akhirnya, hanya sistem Islamlah satu-satunya solusi yang sempurna untuk menyelesaikan segala problematika kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi. Dalam Islam, negara menjamin semua kebutuhan rakyatnya tanpa terkecuali baik dalam kondisi normal ataupun ada wabah. Jadi tak akan ada istilah kelesuan ekonomi, apalagi keselamatan jiwa yang terancam. Semua masyarakat merasakan hidup sejahtera dan penuh berkah didalamnya. Jadi masihkah ada diantara kita yang ingin terus hidup dalam naungan sistem kapitalisme? Wallahu a'lam bish showab.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak