Oleh Ummu Ash Shofi
Wabah Covid-19 masih merebak. Namun pemberlakuan "New Normal Life" mulai dijalankan. Sejumlah permasalahan masih bermunculan di masa pandemi ini. Mulai dari kenaikan jumlah kematian dan orang yang terkonfirmasi Covid-19, defisit yang semakin terbuka, dan lain sebagainya.Termasuk lonjakan impor pangan yang sempat terjadi. Lantas, apakah lonjakan impor ini merupakan hal yang wajar? Mengapa ini bisa terjadi? Adakah solusi yang dapat diraih atas permasalahan ini?
Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) mengatakan, terjadi kenaikan kebutuhan garam di 2020, yang tadinya hanya berkisar 3 juta - 4,2 juta ton kini menjadi 4,5 juta ton (cnbcindonesia.com/31/05/2020). Sebelumnya, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Prihasto Setyanto juga mengatakan impor hortikultura seperti bawang putih dan kentang yang terjadi dilakukan lantaran pasokan dalam negeri saat ini yang belum mencukupi kebutuhan (money.kompas.com/25/05/2020).
Namun, di lain pihak Kementerian Riset dan Teknologi (Menristek) meminta agar e-commere mengurangi produk impor di platform (katadata.co.id/02/06/2020). Tak dapat dipungkiri, Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor setiap tahun selalu melakukan impor pangan khususnya hortikultura. Termasuk disaat wabah terjadi. Hal ini diklaim karena produksi petani lokal yang menurun. Kalaupun ada peningkatan jumlah produksi di beberapa bahan pangan tertentu namun tetap saja tidak dapat memenuhi kebutuhan nasional. Sebab, kebutuhan nasional juga diklaim meningkat dari tahun ke tahun.
Selain itu ada perbedaan sikap yang diberikan antara Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Pertanian khususnya soal impor di masa wabah. Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah melalui Kementerian Pertanian mendukung para petani untuk membudidayakan bawang putih. Namun Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 27 Tahun 2020 pada Rabu 20 Maret 2020. Regulasi itu berisi perubahan atas Permendag Nomor 44 Tahun 2019 tentang ketentuan impor produk hortikultura. Impor tersebut tanpa harus persetujuan impor baik itu Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) maupun Surat Persetujuan Impor (money.kompas.com/20/03/2020).
Sehingga, hal ini membuka keran lebar bagi para importir hortikultura. Perbedaan sikap dua kementerian ini menegaskan bahwa tidak ada kebijakan yang terintegrasi untuk memenuhi pangan rakyat. Sebab, tidak ada kemandirian produksi pangan yang sejalan. Terlebih lagi, kepentingan pebisnis menjadikan situasi wabah saat ini menjadi peluang untuk mendorong pelonggaran syarat impor. Walhasil, jika pemilik kebijakan terus bergantung kepada para pebisnis maka para petani lokal akan semakin terpuruk dan swasembada pangan akan sulit dicapai. Tentu saja hal ini harus dihentikan. Karena bagaimanapun juga, negara merupakan penanggung jawab segala urusan rakyat.
Negara dalam pandangan Islam merupakan pelayan dan pelindung rakyat. Negara wajib memberikan jalan bagi warga negara dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Namun, negara yang mengemban ideologi kapitalisme mustahil dapat melakukan hal tersebut. Sebab, negara sekuler hanya akan mementingkan para kapitalis daripada rakyat mereka sendiri. Sedangkan dalam negara Islam yaitu Khilafah Islamiyah, negara wajib menerapkan semua hukum berdasarkan Alquran dan hadis.
Khilafah adalah negara swasembada. Khilafah akan mengoptimalkan sumber daya alam yang telah Allah SWT berikan baik diperut bumi, didaratan maupun di lautan. Khilafah juga akan mempertahankan lahan-lahan produktif, memberdayakan para petani dan memproduksi alat-alat berat secara mandiri. Khilafah melarang warga negara melakukan kegiatan penimbunan bahan pangan dan melakukan ekspor-impor secara langsung tanpa izin negara. Sehingga, Khilafah akan memiliki jumlah pangan yang berlimpah dan mampu memenuhi kebutuhan dasar warga negara sekalipun di masa wabah seperti saat ini.
Tags
Opini