Oleh : Irayanti
(Aktivis Muslimah Kendari)
Belum lagi terealisasikan kebijakan PSBB dengan serius, rakyat sudah kembali dibuat kebingungan dengak kebijakan pemerintah menghadapi korona yang belum kunjung pergi. Pemimpin negara kembali menyerukan satu kebijakan yaitu "new normal " versi mereka yang terlihat sekedar membebek tren global.
New normal merupakan satu istilah yang diluncurkan oleh WHO. Konsep yang dapat diterapkan pada negara-negara yang diyakini telah melalui fase pada kondisi lebih baik pasca wabah covid-19 yang telah menelan jutaan nyawa umat manusia. Sedang di Indonesia, kurva korona belum lagi menurun ke arah yang lebih baik.
Indonesia Belum Layak New Normal
WHO menetapkan standar sebelum menerapkan konsep new normal. Pemerintah di suatu negara harus memenuhi beberapa ketentuan yang telah ditetapkan dengan 6 syarat yakni :
Negara yang akan menerapkan konsep new normal harus mempunyai bukti bahwa transmisi virus corona mampu dikendalikan. Mempunyai kapasitas sistem kesehatan masyarakat yang mumpuni (mampu mengidentifikasi, menguji, mengisolasi, melacak kontak, dan mengkarantina pasien covid-19). Risiko penularan wabah harus diminimalisir terutama di wilayah dengan kerentanan tinggi (panti jompo, fasilitas kesehatan, dan tempat keramaian). Langkah-langkah pencegahan di tempat kerja harus ditetapkan, seperti physical distancing. Risiko penularan impor dari wilayah lain harus dipantau dan diperhatikan dengan ketat. Masyarakat harus dilibatkan untuk memberi masukan, berpendapat, dalam proses masa transisi the new normal. Keenam poin tersebut mesti dipenuhi setiap negara yang ingin menerapkan konsep new normal. Lalu, bagaimana dengan kesiapan Indonesia?
Menurut Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr.Hermawan Saputra mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan new normal. Menurutnya belum saatnya, karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari. Menurut beliau ada pra syarat yang harus di penuhi jika ingin melakukan new normal (merdeka.com, 25/5/2020).
Kepentingan Siapa?
Dampak korona ini memang luar biasa dalam sentral ekonomi baik kalangan menengah ke bawah hingga para korporat. Konsep new normal disinyalir bertujuan membangkitkan ekonomi kembali namun sayangnya akan membahayakan masyarakat sendiri terlebih negeri kita belumlah layak untuk ikut serta dalam tren new normal seperti negara-negara lain yang telah melandai pandemiknya. Alih-alih ekonomi bangkit justru wabah gelombang ke dua mengintai di depan mata. Na'udzubillahi min dzalik.
Sejak awal munculnya pandemi, pemerintah Indonesia memang tidak mengantisipasi sebagai bentuk pencegahan misalnya dengan membolehkan para TKA dan wisatawan datang ke Indonesia bahkan tidak mengikutsertakan para ahli, tenaga kesehatan yang berkompeten dalam mengeluarkan kebijakan ketika pandemi mulai mewabah. Pemerintah cenderung mendengar para stafnya dan para kroni-kroninya saja.
Kebijakan yang dikeluarkan membingungkan masyarakat hingga sempat trending #IndonesiaTerserah. Sebut saja dari galaunya pemerintah mendefinisikan pulang kampung dan mudik, masih longgarnya Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk ke Indonesia, pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta kacaunya kebijakan daerah akibat kebijakan pemerintah pusat yang pling plang.
Kebijakan yang makin memperjelas pemerintah Indonesia terkekang kapitalis (pemilik modal) adalah kebijakan pembelian alat rapid test dari Cina yang efektivitasnya diragukan. Sebagaimana kita ketahui Cina merupakan negara tempat negeri ini menumpuk utang. Ahmad Rusdan, pakar dan juga peneliti biomolekuler dari Stem Cell and Cancer Institute, menyebutkan bahwa ilmuwan tidak dilibatkan dalam kebijakan pembelian alat rapid test ini. Pasalnya rapid test yang dibeli dari Cina tidak mendeteksi adanya virus corona di dalam tubuh seseorang, namun hanya mendeteksi antibodi saja. Sedangkan tes yang akurat adalah tes berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR), yang dapat mendeteksi keberadaan virus corona dalam tubuh pasien.
Tak salah jika masyarakat menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19 ini lebih didominasi kepentingan ekonomi dan politik dibanding kepentingan kesehatan dan keselamatan warga negaranya. Lebih mementingkan para kapitalis, inilah realita negeri kita yang menerapkan kapitalisme dibalik kata pancasilaisnya.
Penanganan Wabah Negara Islam
Negara Islam (khilafah) dalam penanganan wabah akan mengambil pendapat para pakar untuk menyelesaikannya. Selain itu, penentuan kebijakan dalam Islam juga didasarkan pada hukum tasyri’ yaitu kesesuaian dengan sumber hukum Islam: Alquran, Sunah, Ijmak Sahabat, dan Qiyas.
Hal ini sebagaimana pada masa kekhilafahan Islam pernah terjadi wabah Tha’un (sejenis penyakit kolera) saat dipimpin oleh Umar bin Khaththab. Beliau tidak memberikan keputusan sendiri melainkan meminta pendapat dari para pakar dan orang-orang yang berilmu berkaitan dengan wabah tersebut. Beliau meminta pendapat dari Amr bin Ash, seseorang yang terkenal cerdik dalam mengatasi masalah-masalah rumit, mulai melakukan analisis terkait wabah ini. Dia menyimpulkan bahwa penyakit ini menular saat orang-orang berkumpul sehingga rekomendasi yang diberikan adalah dengan melakukan karantina kepada masyarakat.
Dalam negara Islam juga, negara akan mendukung para pakar dan ilmuwan untuk melakukan penelitian dan mencari pengobatan yang semuanya dilakukan semata-mata untuk kemashalatan bersama bukan kepentingan industri apalagi para kapitalis.
Islam adalah agama sempurna dan paripurna. Di dalamnya memang ditujukan untuk memberikan kontribusi terhadap peradaban dunia dan kemashalatan umat. Menjadikan Islam aturan kehidupan secara menyeluruh adalah kewajiban dan kebaikan. Marilah kembali kepada Islam dengan naungan khilafah.
Wallahu a'lam bishawab.