Ilusi Kebebasan Mengkritik dalam Demokrasi



Arif Susiliywati, S. Hum.



Muda, cerdas, penuh keberanian, dan vokal adalah kombinasi karakter yang mampu membawa perubahan. Tak mengherankan, suara pemuda dengan karakter ini begitu diperhitungkan pemegang kekuasaan. Tak berlebihan Presiden Soekarno dulu sampai mengatakan “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”


Ketika kritik seorang pemuda atas ketidakadilan menjadi viral dan mendapat banyak dukungan, dirinya pun dianggap 'ancaman' dan akhirnya mendapat serangan. Seorang komika populer, Bintang Emon melalui videonya secara jenaka mengklritik putusan peradilan Novel Baswedan yang dinilai irasional.


Dua terdakwa penyiraman air keras terhadap Novel hanya dituntut 1 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara karena jaksa menilai keduanya tidak sengaja melukai mata Novel. Tak lama setelah viralnya video tersebut, beredar luas meme yang menuding Emon menyalahgunakan sabu.


Warganet menyebut serangan terhadap Emon sebagai ulah akun-akun buzzer pendukung rezim sembari mengkritisi pemerintah yang takut pada generasi kritis (cnnindonesia.com, 16 Juni 2020).


Serangan pembunuhan karakter semacam ini jelas bukan pertama kalinya. Masih segar di ingatan Prof. Suteki seorang guru besar hukum dan dosen matkul Pancasila dituding sebagai anti Pancasila dan dicopot dari jabatannya setelah hadir sebagai saksi ahli secara keilmuan dalam sidang gugatan ormas yang distigma anti Pancasila.


Habib Rizieq sebagai tokoh sentral aksi bela Islam dirusak reputasinya lewat kasus pelecehan gambar seronok. Akibat fitnah terhadap khilafah ajaran Islam, seorang mahasiswa aktivis Islam Hikma Sanggala, di-DO dari kampusnya IAIN Kendari karena dituding mendakwahkan ajaran khilafah yang sesat.


Baru-baru ini, diberitakan pula panitia dan pembicara diskusi yang digelar mahasiswa Fakultas Hukum UGM mendapat aksi teror lantaran diskusi tersebut bertema pemakzulan presiden. Ironis, serangan semacam ini terjadi dalam sistem demokrasi yang dipuja-puja sebagai sistem terbaik dengan mekanisme saling mengawasi dan mengontrolnya (checks and balances).


Demokrasi diklaim menjamin kebebasan berpendapat dan mencegah kesewenang-wenangan, Kenyataannya, setiap pendapat yang mengungkap kebobrokan status quo dan menyuarakan perubahan dibungkam.


"Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" manis di bibir saja karena kebijakan penguasa bukannya mewakili aspirasi rakyat, melainkan melayani kelompok pengusaha yang menjadi sponsor bagi mereka hingga sampai ke kursi kekuasaan. Otoriter hadir dalam wujud korporatokrasi.
Tak mengherankan, opini dan penggerak opini yang dinilai mengancam akan segera dibungkam.


Inilah tabiat asli demokrasi sekular. Tak ada ruang untuk pendapat yang dinilai mengancam kepentingan penguasa dan pengusaha. Keberadaan buzzer yang 'dilestarikan' tuk kepentingan penguasa dan menyerang penggerak opini perubahan hanyalah sekelumit fakta tentang ilusi janji kebebasan mengkritik dalam demokrasi.


Dari sini jelaslah demokrasi tak akan bisa menjadi ruang yang kompatibel untuk dakwah Islam kaffah. Islam akan mengakhiri korporatokrasi karena setiap kebijakan wajib berdasarkan halal dan haram. Seruan penerapan syariat Islam secara kaffah akan mengembalikan hak membuat hukum kepada Allah semata.


Maka, tak mengherankan dakwah Islam dan para pengembannya tak luput jadi sasaran serangan pembungkaman. Serupa dengan hoaks negatif yang menyasar Emon karena kritik viralnya, para pengemban dakwah, bahkan ajaran Islam yang mulia turut mendapat stigma.


Belakangan Khilafah disebut sebagai 'virus' yang harus dijauhi layaknya virus Corona yang mengancam nyawa; disebut pula 'khilafahisme' yang disamakan dengan isme buatan akal manusia yang penuh keterbatasan. Setiap pihak yang secara objektif menerima kebenaran Khilafah sebagai ajaran Islam dan mendakwahkannya dicap radikal, intoleran, anti Pancasila, perongrong NKRI, dan sebagainya.


Stigmatisasi dan pembunuhan karakter adalah strategi klasik yang sejak dahulu diandalkan untuk menghadang dakwah. Manusia sekelas Rasulullah SAW yang nasabnya terbaik, akhlaknya termulia pun tak luput menjadi korban perusakan reputasi semacam ini.


Stigma 'pendusta' dipropagandakan oleh tokoh-tokoh Quraisy untuk merusak citra al-amin yang sebelumnya mereka sendiri sematkan pada beliau. Stigma 'penyihir' dan 'orang gila' dilekatkan pada beliau walau mereka tak kuasa menolak keindahan dan kebenaran Alquran. Para tokoh Quraisy berpikir dengan hancurnya kredibilitas sang juru dakwah dan julukan negatif terhadap ajaran yang dibawanya dapat membuat umat menjauh dari keduanya.


Strategi curang ini diambil tatkala suatu pandangan atau opini mulai berdampak luas dan disambut masyarakat serta dinilai penguasa sebaagai ancaman. Ketika kritik yang menyoroti ketidakadilan sistem peradilan demokrasi viral, kredibilitas Emon langsung ingin dihancurkan dengan hoaks penyalahgunaan narkoba.


Ketika gagasan khilafah ajaran Islam dan solusi hakiki segala masalah mulai mendapat sambutan luas, ajaran Islam ini difitnah dan ormas yang mendakwahkannya semena-mena dicabut status badan hukumnya serta dipersekusi dakwahnya.


Kasus Emon dan banyak fakta-fakta lainnya mengingatkan kita bahwa penyeru kebenaran sunnatullah akan berbenturan dengan para penyeru kebatilan. Karena ajaran Islam seluruhnya adalah kebenaran, para pengemban dakwah Islam akan selalu dihadapkan pada permusuhan & penghadangan dakwah.


Namun, tentu semua upaya tersebut akan sia-sia karena kemenangan dakwah adalah kepastian. “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya walau orang-orang kafir membencinya" (QS. Ash Shaff: 8).


Sebanyak apapun stigma, hoaks, dan fitnah yang para pembenci dakwah buat, kesadaran umat akan ajaran Islam & kewajiban menerapkannya akan semakin kuat. Di tengah umat akan bermunculan orang-orang seperti, Tufhail bin 'Amru ad-Dausi yang ketika mendengar hoaks dan stigma terhadap Rasulullah SAW, ia berkata pada dirinya, "Demi Allah, aku adalah seorang penyair dan laki-laki yang cerdas. Aku bisa membedakan yang baik dan yang buruk."


Dengan dakwah Islam yang tak henti diemban dan semakin gamblangnya berbagai kerusakan dan ilusi janji-janji sistem sekular, umat niscaya akan berpaling pada Islam. Karenanya, dakwah harus terus dilanjutkan, khususnya oleh para syabab (pemuda) yang tsiqah, mukhlis, dan berpikiran cemerlang.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak