Ilusi Keadilan dalam Sistem Demokrasi, Menyuburkan Korupsi



Oleh : Hj. Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) sangat menyesalkan dua terdakwa pelaku penyerangan penyidik KPK Novel Baswedan yang kehilangan mata kirinya, hanya dituntut satu tahun penjara. "Meminta hakim untuk mempertimbangkan fakta dan hukum secara cermat, dengan mengabaikan tuntutan jaksa," kata Peneliti PSHK Giri Ahmad Taufik dalam keterangan tertulis. Dilansir oleh kompas.com. (12/6/2020)

Bukan yang pertama kali, masyarakat disuguhi tontonan yang mengecewakan, sungguh irasional. Tidak masuk akal, itulah kata-kata yang pas untuk peradilan yang sekadar memenangkan kemauan rezim.
Walhasil, mencari keadilan dalam rezim demokrasi ibarat mimpi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa peradilan di negeri ini mandul, hanya tajam ke bawah, dan tumpul ke atas.

Tampaknya penyiraman air keras kepada Novel Baswedan ada korelasi dengan upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KPK yang selama ini menjadi tumpuan dan harapan masyarakat agar dapat memberantas korupsi di negeri ini, kini diprediksi ada upaya pelemahan melalui revisi UU KPK No. 30 Tahun 2012, yang diprakarsai oleh DPR dan pemerintah.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, bahwa proses pengesahan revisi UU KPK yang begitu cepat dan lancar bukti bahwa pemerintah dan DPR sudah menyetujui sejak awal. Wacana penguatan KPK yang digaungkan pemerintah dan DPR hanya ilusi saja, merupakan kebohongan publik, justru yang ada pelemahan KPK. (Kompas.com.17/9/2019)

Di samping
pelemahan melalui revisi UU, ada kriminalisasi, kekerasan, fitnah dan intimidasi terhadap pejabat KPK, mulai dari tabrak lari, teror bom molotov, hingga penyiraman air keras. Hal tersebut berdampak buruk terhadap upaya pemberantasan korupsi. Sebab kasus yang ditangani KPK menjadi terhambat. Lebih dari itu dikhawatirkan ada upaya penghilangan barang bukti. 

Buah dari upaya pelemahan secara terus-menerus, kini terlihat adanya kasus dugaan korupsi yang melibatkan politikus PDIP Harun Masiku dan komisioner KPU Wahyu Setiawan. Untuk menggeledah kantor DPP PDIP urung dilakukan karena harus izin dari Dewan Pengawas KPK. Padahal di dalam kasus yang sama KPK tidak mendapat hambatan ketika menggeledah kantor KPU tanggal 13 Januari 2020. Dalam hal ini dapat ditarik benang merah, adakah hubungannya 
dengan hasil pemilu 2019 yang saat itu terjadi tragedi dan polemik? Bagaimana pula dengan kasus korupsi asuransi Jiwasraya, Asabri sudah tidak ada kabar beritanya lagi.

Direktur Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng  mengatakan, segala macam skandal mega korupsi beririsan (bersinggungan) dengan berbagai faktor, salah satunya kekuasaan (lembaga eksekutif). Itulah sebabnya sejak rezim orde baru hingga sekarang kasus mega korupsi belum terjamah oleh KPK yakni Korupsi Bank Century, BLBI, hambalang, dan lainnya,
KPK tidak punya kemampuan untuk membongkar dan menjerat ke ranah hukum. Apalagi kini, KPK hanya menjerat korupsi kelas teri. Itu pun disetting untuk mengelabui masyarakat seakan-akan rezim peduli dengan pemberantasan korupsi. Nyatanya korupsi di negeri ini semakin menjadi-jadi.

Korupsi juga marak di lembaga legislatif. Jika kita menelisik
"Data di wibsite KPK, saat ini lebih dari seribu perkara korupsi sudah ditangani, hingga divonis bersalah. Pelaku pejabat publik terbanyak adalah anggota DPR/DPRD ada 255 perkara. Kemudian kepala daerah berjumlah 110 perkara kasus korupsi dan pencucian uang. Belum sejumlah politisi. (Dilansir oleh detik.com.6/9/2019)

Sangat ironis, lembaga legislatif (DPR), pembuat hukum yang dipilih rakyat, justru mengkhianati rakyat. Ketuanya Setya Novanto, terjerat kasus korupsi e-KTP. Anehnya, meskipun statusnya terpidana bisa keluar masuk dengan leluasa jalan-jalan menikmati makanan padang. Hukuman pun tidak sebanding dengan perbuatannya sehingga tidak menimbulkan efek jera, bagi yang lainnya.

Begitu juga korupsi yang terjadi di lembaga yudikatif.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang tahun 2007-2018 Mahkamah Agung telah membebaskan 101 narapidana korupsi. Alih-alih menjadi benteng terakhir penegakan hukum, lembaga yudikatif ini malah menjadi titik lemah pemberantasan korupsi. Inkonsistensi dalam memutus perkara, ini jelas menjatuhkan marwah sistem peradilan negeri ini. Jika dibiarkan, tren vonis ringan akan menjalar hingga ke pengadilan tinggi dan pengadilan negeri.

Semua itu kini telah terbukti, salah satu di antaranya yakni dua terdakwa pelaku penyerangan penyidik KPK hanya dituntut satu tahun penjara. Bahkan ada koruptor yang mendapat remisi pembebasan program asimilasi.  Alih-alih memberantas korupsi, justru meyuburkan korupsi.

Wajar, jika Indonesia menjadi surga bagi para koruptor. Sebab, semua aspek kekuasaan demokrasi, baik legislatif, eksekutif dan yudikatif gagal memberantas korupsi, justru ketiga lembaga tersebut saling bersimbiosis mutualisme alias kongkalikong. Itulah wajah buruk peradilan dalam sistem demokrasi.

Semua itu disebabkan karena asasnya demokrasi sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak boleh mengatur urusan negara. Apalagi paham ini ditopang oleh empat pilar kebebasan (liberalisme), yakni kebebasan berakidah, kebebasan berpendapat, kebebasan bertingkah laku dan kebebasan berkepemilikan. Inilah salah satu unsur penyebab rusaknya tatanan kehidupan. Sedangkan dalam Islam semua perbuatan harus terikat dengan hukum syara'. Bahkan lebih dari itu, dalam sistem demokrasi yang berhak membuat hukum adalah manusianya sendiri, berdasarkan akal dan hawa nafsunya. Wajar, jika tidak adil dan keadilan itu hanya sebuah ilusi. Jelas ini, bertentangan dengan Islam, karena "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." Sebagaimana firman-Nya:

قُلْ إِنِّي عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ ۚ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ ۚ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ الْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ

Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al-Qur'an) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. 'Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah'. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik." (QS. al-An'am [6]: 57)

Hanya Islam yang Dapat Mewujudkan Keadilan

Islam adalah agama yang sempurna, mengatur semua lini kehidupan. Termasuk sistem peradilan, dimana aturan berasal dari Allah yang Mahaadil dan Maha Mengetahui akan ciptaan-Nya, sehingga sudah barang tentu aturannya adil dan memberikan rasa keadilan. 

Sistem peradilan dalam Islam, disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Oleh sebab itu 
semua perbuatan tercela disebut kejahatan dan harus dikenai sanksi (uqubat). Adapun bentuk uqubat ada empat yakni: Hudud, Jinayah, Ta'zir dan Mukhalafat.
Masing-masing uqubat ada pembahasan secara rinci dan detail, berdasarkan syariat Islam, yang bersumber pada Al-Qur'an, Hadis, Ijma' sahabat dan Qiyas.

Bagaimana dengan sanksi hukum kasus penyerang Novel Baswedan menurut Islam?
Karena menciderai mata maka uqubatnya jinayah yang ditujukan atas penganiayaan terhadap badan, yang mewajibkan qishash (balasan setimpal) atau diyat (denda). Sebagaimana firman Allah Swt.

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat),  bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishashnya.
Jika mendapat suatu pema’afan, hendaklah yang diberi ma’af membayar diyat atau denda.

Diyat pada bagian tubuh yang berjumlah tunggal (lidah, hidung dll), maka diyatnya utuh 100 ekor unta seperti diyat nafs (jiwa). Begitu juga diyat pada anggota badan yang berpasangan (mata, telinga, tangan dll) diyatnya utuh. Jika salah satu maka diyatnya setengah, berarti 50 ekor unta.

Bagaimana dengan Korupsi? Uqubatnya disebut ta'zir.
Dalam syariat Islam, korupsi adalah perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. 

Sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Oleh sebab itu seorang hakim harus menegakkan syariat Islam. Sebagaimana firman Allah: ”Hendaklah engkau menghukum antara mereka menurut pengaturan yang diturunkan Allah.” (QS. al-Maidah [5]: 49) Maka seorang hakim dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang hukum Islam secara matang.

Adapun bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.

Sanksi hukum dalam Islam bersifat zawajir (pencegahan), artinya mencegah orang lain yang ingin melakukan kesalahan yang sama. Juga bersifat jawabir (penebusan dosa), jika sanksinya telah dilaksanakan, maka diakhirat tidak dihisab dan tidak dimintai pertanggungjawaban. Inilah keistimewaan hukum Islam, yang tidak ada dalam hukum positif demokrasi. Meskipun sanksinya berupa hukuman mati, tetap di akhirat akan dihisab.

Sistem peradilan dalam Islam. benar-benar adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya. Tanpa ada yang ditakuti kecuali Allah Swt.
Tidak hanya untuk kebaikan di dunia, tetapi juga untuk kebaikan di akhirat. Oleh sebab itu Islam memerintahkan kepada kita berlaku adil kepada semua manusia baik muslim maupun nonmuslim. Sebagaimana firman Allah: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan." (QS. an-Nisa [4]: 135)

Wallahu a'lam bisshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak