Ibu dan Anak Korban Komersialisasi Tes Corona



Oleh:  Shaffiyyah

Seorang ibu di Makassar, Sulawesi Selatan, dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya setelah tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp2,4 juta. Padahal kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan, "Ibu Ervina ditolak tiga rumah sakit karena biaya rapid dan swab testnya tidak ada yang menanggung. Sehingga di RS terakhir, anak dalam kandungannya meninggal," kata pendamping Ervina dan juga aktivis perempuan, Alita Karen, Rabu (17/6). Biaya rapid test mulai dari Rp200.000 hingga Rp500.000, sementara untuk swab test (alat PCR) antara Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta, belum termasuk biaya-biaya lain.
Masa berlaku rapid test hanya tiga hari, dan swab test tujuh hari. Setelah itu, hasil tes sudah tidak berlaku dan harus tes ulang(bbc.com).

Mahalnya tes Corona telah menelan korban. Seorang bayi meninggal di kandungan ibunya yang tidak mampu membayar tes Covid-19 sebagai prasyarat operasi kehamilan. Hal ini menunjukkan ketidakmampauan pemerintah dalam menangani wabah Covid-19,  hanya menganggap nyawa manusia sebagai pelengkap satuan jumlah. Ini tentu bertolak belakang dengan pandangangan Islam. Dalam Islam, nyawa seseorangcapalagi nyawa banyak orang benar-benar dimuliakan dan dijunjung tinggi. Menghilangkan satu nyawa manusia disamakan dengan membunuh seluruh manusia (Lihat: QS al-Maidah [5]: 32). Perlindungan dan pemeliharaan syariah Islam atas nyawa manusia diwujudkan melalui berbagai hukum. Di antaranya melalui pengharaman segala hal yang membahayakan dan mengancam jiwa manusia.

Sementara itu Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan tingginya harga tes Covid-19 dikarenakan pemerintah belum menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Pihaknya menerima banyak laporan dari masyarakat tentang mahalnya harga tes seperti rapid test, PCR, dan swab. "Seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemenkes, segera menetapkan HET rapid test. Sehingga konsumen tidak menjadi obyek pemerasan dari oknum dan lembaga kesehatan tertentu dengan mahalnya rapid test," ujar dia. Dia mengatakan, masyarakat sebagai konsumen perlu kepastian harga. Selain mengatur HET pemerintah juga perlu mengatur tata niaganya. (line today).

Berbagai pihak (YLKI, Asosiasi RS dll) menganggap komersialiasi terjadi karena pemrerintah tdk segera menetapkan Harga standar (HET) atas tes yang dilakukan di luar RS rujukan. Hal ini sangat wajar terjadi dalam dunia kapitalis yang mana segala sesuatu dipandang dari sudut manfaat dan keuntungan, tidak ada jaminan apapun kepada rakyatnya. Tentunya keuntungan tersebut kembali kepada pemberi kebijakan, oknum yang meraup manfaat dibalik kebijakan tetapi tidak sedikitpun untuk masyarakat awam yang hanya terpaksa dan dipaksa melakukan tes baik rapid maupun swab.

Di sisi lain, negara juga hanya berperan sebagai regulator, yang mengatur agar terjadi keselarasan antara kepentingan rakyat dan kepentingan pengusaha bukan penanggung jawab (raa’in). Rakyat dibiarkan secara mandiri mengurus seluruh urusannya.  Sedangkan menurut pandangan Islam bila khalifah tidak menjalankan hukum Allah, ia layak diberhentikan kapan pun, tanpa menunggu periode tertentu. Dan sebaliknya, selama ia menjalankan perintah Allah maka tak ada alasan untuk memberhentikannya.
Para Khalifah sebagai pemimpin yang diserahi wewenang untuk kemaslahatan rakyat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak. Raa’iin  bermakna penjaga yang diberi amanah atas bawahannya. Memang, bencana berupa wabah ini merupakan bagian dari qadha’ (ketetapan Allah Swt) yang tak bisa ditolak. Namun, sistem dan metode apa yang digunakan untuk mengatasi dan mengendalikan wabah adalah pilihan. Karena itu yang harus diprioritaskan oleh Pemerintah saat ini adalah bagaimana mengendalikan dan mengatasi pandemi Covid-19.
Keselamatan nyawa manusia harus lebih didahulukan daripada kepentingan ekonomi. Apalagi sekadar memenuhi kepentingan ekonomi segelintir orang, yakni para kapitalis (pengusaha/pemilik modal).
Hal ini seharusnya bisa menyadarkan kita bahwa sistem yang ada saat ini tidak mampu melindungi rakyat sekaligus menyelesaikan permasalahan dengan tuntas.
Kita perlu sistem alternatif yang bisa menjadi solusi untuk semua persoalan yang dihadapi negeri ini.
Islam sebagai agama yang memiliki seperangkat aturan terbukti mampu menyelesaikan persoalan manusia selama 13 Abad.
Wallahu a'lam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak