Oleh: Ayra Naira
(Aktivis Dakwah)
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Salah satu ibadah tahunan yang dilakukan oleh muslim diseluruh dunia adalah menunaikan haji. Ibadah haji sendiri merupakan ibadah paling diinginkan untuk dilakukan oleh seluruh muslim. Namun untuk ibadah yang satu ini tidak bisa dilakukan oleh semua orang dan bahkan sangat susah untuk dilakukan pada sistem sekarang.
Indonesia misalnya ibadah haji merupakan momen yang sangat ditunggu-tunggu. Pasalnya, selain harus menyetorkan dana yang cukup besar untuk keberangkatan haji, para jamaahpun tidak bisa langsung pergi sesuai rencana karena harus masuk daftar tunggu. Muslim di Indonesia sendiri yang sudah mendaftar haji harus menunggu hingga 5 atau 10 tahun dan bahkan lebih untuk melaksanakan ibadah ini.
Bertahun-tahun menunggu untuk melaksanakan, namun justru kabar mengejutkan datang dari pemerintah. Pasalnya di tengah Pandemi seperti ini, pemerintah melalui kementrian Agama membatalkan haji tanpa menunggu keputusan Saudi Arabia. Pembatalan yang terkesan buru-buru ini tentunya menuai kritik. Salah satunya datang dari ketua PBNU KH Said Aqil Siroj, menurut beliau pemerintah seharusnya sudah memiliki perencanaan dalam pelaksanaan haji dalam situasi terdesak sekalipun. Sebab, kata Said, pelaksanaan haji merupakan agenda tahunan.(detiknews, 3/6/2020).
Dalam kesempatan lain, Ketua Satgas Covid-19 DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa pembatalan ini dikarenakan akan sangat sulit mengadakan haji di tengah pandemi karena harus physical distancing dan berdasarkan hitung-hitungan dengan Menteri BUMN biaya yang dikeluarkan akan membengkak dari biasanya. (detiknews, 3/6/2020).
Menelisik lebih jauh bahwa pembatalan haji yang dikeluarkan sepihak tanpa menunggu kabar pastinya dari pemerintah Arab Saudi tetaplah tindakan yang ceroboh. Bagaimana tidak, para jamaah yang seharusnya diberangkatkan tahun ini setelah menunggu untuk waktu yang cukup lama harus rela untuk diberangkatkan tahun depan. Selain itu bagaiman dengan jamaah haji yang mendapatkan jatah tahun depan, pastinya tidak dapat diberangkatkan juga bersamaan, mengingat jumlah kuota yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi.
Kebijakan pembatalan ini juga dirasa sangat tidak masuk akal karena diwaktu yang bersamaan pemerintah telah memberlakukan keadaan “New Normal”. Jika dikatakan untuk menjaga keselamatan umat karena kebanyakan peserta jamaah haji adalah kisaran usia 40 tahun ke atas, dimana merupakan usia yang rentan terkena Covid-19. Maka disinilah seharusnya peran pemerintah dalam menyerahkan segala upaya dalam menjamin keselamatan jiwa rakyat apalagi untuk beribadah kepada Rabb semesta alam.
Melihat alasan pembatalan yang lebih condong karena biaya yang dikeluarkan sangat besar. Muncul berbagai spekulasi bahwa pemerintah mengambil keuntungan dari dana haji karena tidak jadi diberangkatkan. Mengingat situasi seperti ini tentunya pemerintah sangat membutuhkan dana untuk pemulihan berbagai sektor terutama sektor ekonomi.
Maka tidak heran jika masalah beribadah saja pemerintah hitung-hitungan padahal uang yang digunakan adalah uang rakyat. Karena sejatinya sistem ini berdiri di atas sistem kapitalis yang semuanya diukur atas dasar manfaat. Keputusan yang diambilpun harusnya yang menguntungkan tidak peduli itu urusan nyawa atau ibadah.
Berbeda dengan sistem Islam, pemerintah menyediakan semua fasilitas agar rakyat dapat beribadah tanpa rasa takut ataupun cemas. Bahkan merupakan kewajiban negara untuk dapat terlaksananya ibadah bagi rakyatnya. Dalam penentuan Ongkos Naik Haji (ONH) misalnya, paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jamaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda. Di zaman Sultan ‘Abdul Hamid II, Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istambul. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan sistem sekarang yang bahkan dana haji digunakan untuk proyek atau bisnis pemerintah.
Selain itu pengaturan kuota haji dan umrah, khalifah berhak untuk mengatur masalah ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan: Pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup.
Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji dan umrah, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Tentunya sangat berbeda dengan sistem sekarang yang bagi orang yang berduit bisa melakukan umrah dan haji berkali-kali. Bahkan untuk ibadah haji, sebagian orang tak perlu menunggu waktu yang lama asalkan mempunyai uang dan relasi maka semuanya beres. Betapa bobroknya sistem ini, bahkan untuk ibadahpun uang menjadi penentunya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Tags
Opini