Oleh: Fatimah Arjuna (Aktivis Dakwah Kampus dan Member BMI Bukittinggi)
Rancangan Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila belakangan tengah menjadi pembicaraan.RUU ini memicu sejumlah tanggapan politisi dan tokoh yang menganggap RUU HIP tak memiliki urgensi untuk dibahas di masa pandemi.
Melansir dari Catatan Rapat Badan Legislasi Pengambilan Keputusan Atas Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Haluan Ideologi Pancasila tanggal 22 April 2020, RUU HIP adalah RUU yang diusulkan oleh DPR RI dan disebut telah ditetapkan dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020.
Berdasarkan catatan rapat tersebut, dikatakan bahwa saat ini belum ada undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga diperlukan Undang-undang tentang Haluan Ideologi Pancasila.
Mantan Jurubicara Hizbut Tahrir (HTI) Ismail Yusanto menilai salah satu masalah yang paling mendasar dalam draf Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) adalah meminggirkan agama. Seperti halanya di Pasal 12 ayat 3 RUU tersebut.
“Dari sekian masalah yang ada dalam RUU HIP, ada satu masalah yang sangat mendasar yang kita rumuskan, meminggirkan agama dan meng-agama-akan Pancasila. Hal itu kita bisa lihat di pasal 12 ayat 3,” kata Ismail dalam dialog virtual di Jakarta, Selasa (9/6).
Ismail menilai RUU HIP terlalu jauh masuk ke ranah keimanan, bahkan melecehkan kekuasaan Tuhan. Ini karena dalam pasal itu disebutkan ciri manusia pancasila yang beriman dan bertakwa itu harus menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Jadi, ukuran keimanan dan ketakwaan harus didasarkan pada otoritas dan standar pendapat manusia.
“Ciri-ciri manusia Pancasila disebutkan bahwa dia itu beriman dan bertakwa, sampai di sini kita mungkin akan mengatakan, oke fine. Tapi lanjutannya itu yang membuat dahi kita berkerut, karena disebut ciri manusia pancasila itu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,”.
Kesalahan fatal terdapat pada pasal 7 ayat 2 RUU HIP yang berbunyi, “.... ketuhanan yang berkebudayaan”. Menurut Kiai Cholil, frase ini sungguh dilematis karena mengganti nilai-nilai ilahiyah dan fundamental keyakinan masyarakat yang transenden dan sakral dengan nilai kebudayaan manusia yang relatif dan profane. "Frase pasal 7 RUU HIP itu berpotensi mengubah negara ini berputar haluan jadi negara sekuler,"
Sedangkan kesalahan selanjutnya adalah memeras Pancasila menjadi trisila atau ekasila. Bagi Cholil, hal ini bertentangan dengan Pancasila yang seutuhnya dan akan membuat negara ini hanya bertitik tekan pada masalah sosial dan politik, bahkan hanya fokus pada soal gotong royong.
Rusaknya sistem Kapitalisme membuat manusia lupa jati diri. Melupakan Tuhan yang menciptakan. Bahkan dengan mudahnya mensyirik diri secara nyata.
Ketuhanan yang maha esa. Dialah Tuhan yang satu tiada yang lain. Dengan adanya RUU HIP berarti dengan spontan menistakan sila pertama. Ketuhanan yang maha esa, ini cukup fatal jika memasuki ranah keimanan.
Rasulullah ketika berkrompomi dengan Yahudi jika itu sampai merusak aqidah maka wajib tidak mengikutinya. Sebut saja ketika Rasulullah hendak ditawarkan oleh para Yahudi menukar agama Islam dengan agama mereka. Maka dengan spontan Rasulullah menolaknya.
Hendaknya dikala masalah pandemi yang belum kunjung usai. Kita semakin mendekatkan diri kepada Allah. Senantiasa berdoa dan berikhtiar memohon agar bumi segera membaik. Serta digantinya sistem ini dengan sistem Islam secepatnya. Aamiin.