Harga Keadilan Untuk Sebelah Mata



Oleh: Alfiah Tsabita
Aktivis Dakwah Kupang

Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, dan nyawa dibalas nyawa. Tentu frasa ini bukan sebuah frasa yang asing ditengah-tengah masyarakat. Sayangnya, itu semua tinggal kata-kata, sebab di negeri yang ‘ngakunya’ menjunjung tinggi nilai demokrasi  malah menjadikan hukum tak lebih dari tameng pelindung bagi pengusaha rasa penguasa, begitupun sebaliknya. Hukum bukan lagi hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, tapi kini hukum tajam kesiapapun yang menjadi musuh bagi penguasa dan juga pengusaha, dan menjadi sangat tumpul kesiapapun yang mendukung mereka.
Itulah kesimpulan yang bisa ditarik ketika melihat vonis hukuman bagi pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Menggelitik namun juga miris melihat peradilan saat ini. Bagaimana tidak, selama tiga tahun dua bulan pelaku tak berhasil ditemukan, ketika berhasil di tangkap kedua pelaku yang tidak lain adalah anggota kepolisian ini hanya dihukumi setahun penjara, alasannya  karena jaksa menilai kedua terdakwa ‘tidak sengaja’ menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Menurut jaksa, kedua terdakwa hanya ingin menyiram cairan keras ke badan Novel, dikutip dari detik.com (11/06/20).
Tuntutan yang dilayangkan jaksa tentu irasional bahkan dinilai melecehkan akal sehat masyarakat. Dikutip dari vivanews.com (14/06/20) Pengamat politik Rocky Gerung mengibaratkan air keras yang digukanan pelaku saat menyiramkan ke mata Novel Baswedan adalah air keras kekuasaan. “Kita tahu Pak Novel sendiri sudah tidak peduli dengan butanya mata dia karena sudah bertahun-tahun. Jadi yang bahaya hari ini adalah tuntutan jaksa ini sebagai air keras baru buat mata publik dan mata keadilan,” tambahnya.
Namun, bukan hanya tuntunan jaksa yang menjadi sorotan. Publik pun bertanya-tanya apa motif atau alasan utama penyerangan ini? Mengapa setelah bertahun-tahun pelaku baru tertangkap? Apakah benar pelaku yang disidang adalah pelaku utamanya, atau mereka hanyalah boneka saja? Jika mereka menyesal atas tindakan tersebut, mengapa selama ini tidak langsung menyerahkan diri dan malah memilih untuk menjadi buron? Jika memang tidak sengaja, mengapa harus gunakan air keras? Apakah kejahatan lain jika tidak niat atau tidak sengaja akan mendapatkan hukuman yang ringan? dan berbagai pertanyaan publik lainnya.
Wajar jika publik menanyakan hal ini. Sebab masyarakat menilai hukuman yang diberikan kepada pelaku tidak sepadan dengan efek yang ditimbulkan akibat serangan tersebut, yakni kecatatan permanen di mata sebelah kiri Novel Baswedan. Tentu kita tahu bahwa Novel Baswedan merupakan sosok penting dan juga berjasa dalam pemberantasan kasus korupsi besar yang hingga detik ini merupakan masalah utama bagi negeri ini. Jika penanganan kasus bagi orang yang berjasa pada negeri ini saja nampak compang-camping lalu pada siapa kita berhapar akan memperoleh keadilan yang hakiki? Inikah harga keadilan untuk sebelah mata?
Dalam sistem demokrasi yang merupakan buah ideologi kapitalis tidak ada kebenaran yang abadi, tidak ada landasan hukum yang mendasari, sebab manusia bebas berasumsi, dan hawa nafsulah yang akan diikuti. Dengan asas sekulerisme, atuan yang lahir jauh dari nilai agama. Tanpa bimbingan wahyu, akal memutuskan segala aturan bagi manusia untuk bertindak lebih lanjut. Sehingga demi mempertahankan eksistensi, penguasa rela berbuat apapun, alhasil aturan yang lahir bukan menjadi solusi namun sekedar melindungi diri.
Inilah peradilan ala sistem demokrasi, bukan kebenaran yang dicari melainkan kemauan segelintir orang yang harus dituruti. Memutar balikan fakta adalah keahlian penguasa, sebab semua sarana dan prasarana dimiliki olehnya. Data, media massa, dan segala pihak yang berkaitan dengan hukum dan peradilan adalah senjata penguasa dalam menciptakan kebenaran dan keadilan versi mereka. Dari kasus ini kita belajar bahwa semua aspek kekuasaan demokrasi baik itu legislatif, eksekutif dan yudikatiif telah gagal dalam memberantas korupsi, dan dalam sistem demokrasi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi negeri hanyalah ilusi.
Tentu saja, semua ini akibat dari asas sekulerisme yang melahirkan kesombongan manusia serta keengganan untuk menggunakan aturan yang telah diturunkan oleh Al-Khaliq. Manusia enggan menerima bahwa hakikat dirinya adalah lemah, terbatas dan serba kurang serta perlu bimbingan dari Allah Swt. Sehingga dalam demokrasi, hukum Ilahi bisa saja dibatalkan jika tidak disetujui.
Dalam Islam, tidak ada pemisahan agama dari kehidupan. Manusia tidaklah memiliki hak untuk membuat hukum, sebab pemegang kedaulatan tertinggi adalah Allah yang ketetapan-Nya tercantum di dalam al-Quran dan sunah. Dalam hal ini wajib bagi tiap muslim mengikuti segala aturan dari Allah, karena ini merupakan konsekuensi dari tauhid. Setiap muslim juga harus meyakini bahwa hukum Allah adalah sebaik-baik hukum di muka bumi, yang akan mendatangkan keadilan serta kesejahteraan bagi pemeluknya.
Hal ini bisa dibuktikan dengan kegemilangan peradaban Islam 13 abad lamanya. Sejak awal hingga akhir Daulah Islamiyah tegak, umat Islam senantiasa menjadi umat yang gemilang, sejahtera dan dilingkupi dengan nuansa keadilan, karena diterapkannya hukum syara ditengah-tengah masyarakat. Sebab dalam Islam kedudukan manusia di mata hukum adalah sama, tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah. Islam juga tidak hanya memikirkan kepentingan segolongan orang tertentu, melainkan menjadikan kemaslahatan umum sebagai pertimbangan utama.
Islam sebagai agama sekaligus mabda tentu memiliki seperangkat aturan yang lengkap. Contohnya, sistem persanksian dalam Islam juga dibagi secara rinci. Sehingga tidak akan ditemukan sanksi yang tidak sesuai, sebab Allah telah memberikan standar hukuman atas segala kejahatan. Itu sebabnya segala permasalahan dapat diadili dengan tepat, tanpa berat sebelah, serta akan memberikan efek jera, qisas misalnya.
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5]:45)
WalLah a'lam bi ash-shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak