Oleh: Neng Ipeh*
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi telah mengesahkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No.41/2020 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan No. 18/2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada Senin (8/6/2020). Salah satu revisinya yakni pada pasal 11 yang mengubah besaran kapasitas maksimal dari jumlah penumpang angkutan umum yang menghilangkan klausul maksimal kapasitas 50 persen. Namun, aturan itu dinilai belum dapat mendongkrak jumlah penumpang, terutama transportasi darat. (www.liputan6.com/11/06/2020)
Perubahan jumlah kapasitas maksimal dari moda transportasi umum ini berlaku untuk seluruh moda yakni moda darat, laut, udara, kereta api serta penyeberangan. Menhub menghapus klausul besaran angka maksimal jumlah kapasitas penumpang dari seluruh moda. Adapun pembatasan jumlah penumpang pada seluruh sarana transportasi akan ditentukan kemudian oleh Menteri Perhubungan. Ini artinya, besaran kapasitas penumpang ini dapat lebih besar dari sebelumnya ketika masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang hanya 50 persen.
Salah satu Surat Edaran Menhub tentang Pedoman dan Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Transportasi pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru untuk mencegah penyebaran Covid-19 tersebut, yaitu SE No. 13/2020 untuk Transportasi Udara. Adapun, kapasitas maksimal angkutan udara menjadi 70 persen. Menyikapi hal tersebut, pengamat transportasi Azaz Tigor Nainggolan menilai Permenhub tersebut berpotensi menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Azaz menilai pemerintah saat ini sebaiknya melakukan inovasi baru di bidang transportasi umum dibanding menghapus aturan kapasitas penumpang.
"Kalau sudah ada regulasi sebelumnya yang membatasi perjalanan orang ya sudah itu saja dulu, kemudian dievaluasi," kata Azas. (www.cnnindonesia.com/11/06/2020)
Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Syahrul Aidi Maazat pun khawatir langkah Menhub tersebut justru malah memicu gelombang kedua pandemi virus corona di Indonesia. Syahrul pun mempertanyakan logika berpikir yang ingin dibangun pemerintah dari penerbitan Permenhub Nomor 41/2020 ini. Menurutnya, pemerintah telah menghadapkan masyarakat dengan pandemi virus corona secara langsung. Selain itu, dia menilai langkah Menhub itu dilakukan tanpa referensi yang jelas karena berdasarkan pada rencana penerapan era normal baru (new normal) yang belum memiliki regulasi jelas hingga saat ini. Menurutnya, ketidakjelasan rencana penerapan new normal itu kemudian membuat teknis pelaksanaan di tingkat kementerian, termasuk Kementerian Perhubungan menjadi tidak jelas.
"Contoh saja Permenhub ini pada Pasal 14 a mengambil diskresi menteri dengan tidak mencantumkan persentase atau kuantitas pembatasan. Alhasil, nanti akan terjadi kemungkinan diskriminasi penerapan di lapangan, ada yang diperbolehkan ada yang tidak," tutur Syahrul. (www.cnnindonesia.com/11/06/2020)
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait sebelum menetapkan aturan tersebut. Dua pertimbangan utama Kemenhub adalah untuk menjaga bisnis maskapai dan upaya menggairahkan kembali pariwisata Indonesia. Dengan direlaksasinya batasan jumlah penumpang ini, diharapkan dapat mengurangi beban maskapai selama pandemi Covid-19.
"Oleh karenanya dalam beberapa kali rapat terbatas dengan Presiden, ada inisiatif untuk memberikan dorongan agar pariwisata ini menjadi perhatian Kemenhub, itu jadi suatu keharusan yang menerus," ujarnya dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (9/6/20). (www.money.kompas.com/11/06/2020)
Sangat disesalkan, terbukti pemerintah telah lalai dan terlihat jelas yang menjadi dasar berubahnya aturan adalah faktor ekonomi. Padahal di saat yang bersamaan ada puluhan bahkan ratusan juta penduduk Indonesia yang miskin. Dan, kemiskinan itu sendiri identik dengan buruknya akses pada segala aspek yang penting bagi peningkatan daya tahan tubuh. Seperti asupan bergizi, sanitasi dan air bersih, tempat tinggal dan perumahan yang sehat. Ini semua jelas-jelas membutuhkan uluran tangan pemerintah untuk penyelesaiannya. Masalahnya, semua ini adalah dampak sistem hidup Kapitalisme yang diterapkan penguasa. Mulai dari politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lainnya terbukti telah sukses menjatuhkan Indonesia pada multi krisis.
Berbeda dengan paradigma kepemimpinan dan watak sistem Islam. Dalam Islam, kepemimpinan dinilai sebagai amanah berat yang berkonsekuensi surga dan neraka. Dia wajib menjadi pengurus dan penjaga umat. Seorang pemimpin pun dipandang seperti penggembala. Layaknya gembala, dia akan memelihara dan melindungi seluruh rakyat yang menjadi gembalaannya. Memperhatikan kebutuhannya, menjaga dari semua hal yang membahayakannya, dan menjamin kesejahteraannya hingga bisa tumbuh dan berkembang biak sebagaimana yang diharapkan.
Penerapan syariah Islam juga bertujuan untuk memelihara nyawa manusia. Dalam Islam, nyawa seseorang—apalagi nyawa banyak orang—benar-benar dimuliakan dan dijunjung tinggi. Menghilangkan satu nyawa manusia disamakan dengan membunuh seluruh manusia (Lihat: QS al-Maidah [5]: 32). Nabi saw. juga bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim (HR an-Nasai, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Perlindungan dan pemeliharaan syariah Islam atas nyawa manusia diwujudkan melalui berbagai hukum. Di antaranya melalui pengharaman segala hal yang membahayakan dan mengancam jiwa manusia. Nabi saw. bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ
Tidak boleh (haram) membahayakan diri sendiri maupun orang lain (HR Ibn Majah dan Ahmad).
Inilah realitas penerapan sistem Islam dalam naungan Khilafah yang pernah mewujud belasan abad lamanya. Sistem yang tegak di atas landasan keimanan tentu sangat berbeda jauh dengan sistem yang tegak di atas landasan kemanfaatan segelintir orang. Sistem Islam betul-betul menempatkan amanah kepemimpinan selaras dengan misi penciptaan manusia dan alam semesta. Yakni, mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, tanpa batas ilusi bernama negara bangsa.
* (Aktivis BMI Community Cirebon)
Tags
Opini