Haji Sebagai Komoditas Ekonomi, Paradigma Yang Perlu Dikoreksi



(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)

Pemerintah memutuskan untuk tidak memberangkatkan jemaat haji pada tahun 2020 M atau bertepatan dengan 1441 H. Keputusan ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaat Haji Pada Penyelenggaraan Ibadah Haji pada 1441 Hijriah atau 2020 Masehi. (www.Tirto.id, 02/06/2020)
Alasan yang dikemukakan Kemenag perihal pembatalan keberangkatan jemaah haji adalah karena otoritas Arab Saudi hingga saat ini belum juga memutuskan apakah akan membuka kembali ibadah haji untuk negara lain.

Selain faktor kebijakan Arab Saudi yang menjadi alasan dibatalkannya pemberangkatan jemaah, ada faktor internal yang juga menjadi alasan kuat, yaitu ketidaksiapan Kemenag dalam menyelenggarakan pemberangkatan haji di situasi pandemi. Waktunya mepet, sedangkan pada 26 Juni jemaah haji Indonesia kloter I dijadwalkan mulai berangkat. Dan juga situasi pandemi akan menyebabkan memebengkaknya biaya pelaksanaan haji karena harus tetap memenuhi standar protokol kesehatan.
Alasan ketidaksiapan Kemenag ini direspons ormas Islam terbesar di Indonesia, NU (Nahdlatul Ulama). Menurut PBNU, seharusnya pemerintah sudah memiliki perencanaan dalam pelaksanaan haji dalam situasi apa pun, termasuk situasi pandemi.
Menurut Said Aqil selaku Ketua Umum PBNU, pelaksanaan haji adalah agenda tahunan bangsa ini bukan hal yang baru. Pemerintah harusnya sudah pintar dan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang ada. (www.detiknews.com, 03/06/2020)
Begitu pun Muhammad Fauzi, anggota Komisi VIII DPR merasa kecewa terhadap keputusan Kemenag yang tidak berkoordinasi dengan DPR. Fauzi mengatakan bahwa banyak anggota Komisi VIII DPR yang kecewa dengan keputusan pembatalan haji 2020, yang tidak dikoordinasikan dengan DPR. Padahal sesuai ketentuan UU, seharusnya setiap keputusan terkait haji dibicarakan dengan DPR. (www.republika.co.id, 03/06/2020)

Kritikan dari berbagai tokoh masyarakat lainnya juga banyak bergulir di media massa. Namun sungguh sayang, suara ulama, suara ormas, dan DPR tak menjadi pertimbangan Kemenag.
Keputusan pembatalan keberangkatan haji oleh Kemenag yang terkesan terburu-buru memunculkan banyak dugaan, ada apa di balik itu semua? Sebab, jika alasannya adalah untuk menghindari penularan Covid-19, tentu hal demikian tak sesuai dengan kebijakan “new normal” yang akan diberlakukan.
Bandara, mal, pasar, dan sejumlah tempat yang berpotensi menjadi kerumunan, sudah diaktifkan asal menjalankan protokol kesehatan. Sementara pemberangkatan haji malah batal dengan alasan keamanan nyawa.
Seharusnya, jika ingin konsisten terhadap arah kebijakan, maka pemerintah tidak usah takut dengan pemberangkatan haji. Selain itu, pihak Saudi pun belum memutuskan apakah dibuka atau ditutup. Seharusnya keputusan jemaah berangkat atau tidak, diputuskan setelah otoritas Saudi memberikan keputusan.

Hal ini kemudian memunculkan banyak praduga, bahwa ada upaya pengalihan dana haji untuk kepentingan lainnya. Hal ini diperkuat dengan berita yang dilansir oleh www.vivanews.com, bahwa Kepala BPKH, Anggito Abimanyu mengatakan, saat ini BPKH memiliki simpanan dalam bentuk dolar Amerika Serikat sebanyak US$600 juta atau setara Rp8,7 triliun kurs Rp14.500 per dolar AS. Dengan begitu, dana itu akan dimanfaatkan untuk membantu Bank Indonesia dalam penguatan kurs rupiah.
Belakangan, pihak BPKH dan BI sendiri telah menyangkal perihal penggunaan dana haji tahun ini dipakai untuk perkuat rupiah. Walaupun Anggito Abimanyu mengatakan dalam wawancaranya bersama Babe Haikal, bahwa penukaran dana haji valuta asing menjadi rupiah sangat bisa menolong memperkuat rupiah.
Anggito sebelumnya juga menyampaikan, total dana haji yang dikelola BPKH saat ini telah mencapai Rp135 triliun. Sebagian besar dana itu digunakan untuk mendukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena sebagian besar dana itu diinvestasikan dalam Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). (vivanews.com 02/06/2020)

Sebenarnya pemerintah tidak berhak menggunakan dana tersebut untuk kepentingan investasi nasional dalam bentuk surat berharga. Karena itu artinya pemerintah sedang memakai dana ibadah untuk utang yang berbasis ribawi. Karena kita tahu bersama walaupun SBSN adalah surat berharga yang berlabelkan syariah. Namun tetap saja masih mengandung riba, haram untuk dilakukan.
Bukan kali pertama dana haji menjadi polemik. Jumlahnya yang besar telah menggiurkan berbagai pihak untuk memanfaatkannya. Sebelumnya, tahun 2017 di awal pembentukan BPKH Jokowi menyampaikan harapan agar dana haji bisa dioptimalkan untuk infrastruktur seperti jalan tol atau pelabuhan.

Islam, sebagai agama dan sistem hidup yang paripurna, sebenarnya memiliki konsep yang mumpuni untuk pelaksanaan ibadah haji. Sepanjang 14 abad sejarah peradaban Islam, sudah 40 kali pelaksanaan ibadah haji ditunda karena alasan wabah, perang hingga konflik politik. Untuk pertama kalinya ibadah haji ditutup pada 930 M saat ada pemberontakan kelompok Qarmatiah terhadap Kekhilafahan Abasiyah.
Penundaan haji karena wabah juga pernah terjadi pada 1831 ketika wabah cacar dari India yang membunuh 75 persen jemaah haji di Makkah. Wabah kembali melanda Makkah tahun 1837 sehingga ibadah haji 1837-1840 ditiadakan. (dikutip dari kitab Al Bidayah wan-Nihayah karangan Ibnu Katsir)
Jika Arab Saudi kali ini memutuskan untuk menutup Makkah karena wabah, ini bukanlah yang pertama dan jumhur ulama membolehkannya. Namun yang menjadi polemik pembatalan haji justru bukan pada keputusan pemerintahnya, akan tetapi paradigma penguasa yang hanya menjadikan haji sebagai komoditas ekonomilah yang patut dikoreksi.

Wallahu a’lam bi ash showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak