Oleh: Dita Puspita, S.Pd (Komunitas Setajam Pena)
Rasa-rasanya belenggu impor masih terus menjerat Indonesia. Terlebih lagi dimasa pandemi seperti ini, langkah untuk melakukan impor barang dari luar negeri ke Indonesia semakin tak terelakkan. Apalagi Indonesia menjadi importir pangan untuk sejumlah komoditi.
Dilansir CNBC Indonesia (31/05/2020), Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) mengatakan, terjadi kenaikan kebutuhan garam di 2020, yang tadinya hanya berkisar 3 juta - 4,2 juta ton kini menjadi 4,5 juta ton.
Begitu pula Kementerian Perdagangan juga menyampaikan, telah melakukan relaksasi impor sementara untuk bawang putih dan bawang bombai. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana mencatat, impor bawang putih yang sudah masuk ke tanah air tanpa Persetujuan Impor (PI) mencapai 28 ribu ton (katadata.co.id, 23/04/2020).
Jika melihat angka impor terhadap bahan pangan yang mengalami kenaikan yang cukup signifikan, ditambah dengan kemudahan masuknya bawang putih tanpa persetujuan memperlihatkan bahwa tidak ada kebijakan terintegrasi dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Sementara itu, Kementerian Pertanian (Kementan) meminta masyarakat untuk mengkonsumsi produk sayur-sayuran lokal. Sebab, produksi sayuran dalam negeri disebut memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini. Jenderal Hortikultura Kementan Prihasto Setyanto mengatakan, beberapa jenis sayuran yang produksinya melimpah adalah selada, bayam, kangkung, kubis, wortel.
Indonesia sepertinya memang sudah terbiasa dengan impor komoditas pangan, setidaknya ada 29 komoditas pangan dari berbagai negara. Apalagi dimasa pandemi ini ternyata tidak berpengaruh pada impor bahan pangan dari luar negeri. Dengan alasan lonjakan impor disaat wabah produksi lokal mengalami penurunan dan juga pelonggaran syarat impor kementrian perdagangan dan pertanian berbeda sikap di masa wabah. Maka jika pemerintah masih menggantungkan impor bahan pangan, ketahanan pangan nasional hanya angan belaka. Padahal Kementan menginginkan Indonesia meningkatkan produksi ekspor ketimbang impor, sedangkan Kemendag justru menderaskan impor untuk kebutuhan pangan.
Sudah selayaknya pemerintah melakukan upaya untuk meningkatan kualitas dan produktivitas pertanian dalam negeri agar tidak kalah saing dengan luar negeri. Kegiatan ekspor akan sia sia jika impor pangan lebih besar. Gencarnya pemerintah melakukan impor ditengah pandemi seolah menunjukkan bahwa pemerintah mempertimbangkan perekonomian masyarakat dalam negeri. Padahal bencana kelaparan yang melanda lebih mengkhawatirkan dibanding perang fisik. Ketahanan pangan akan terwujud jika menerapkan produksi, konsumsi dan distribusi dalam negeri yang berkelanjutan.
Dalam hal ekspor-impor di dalam Islam, maka negara akan berpikir dan mempertimbangkan apakah perlu untuk melakukannya dengan melihat kebutuhan pangan negara. Ekspor akan dilakukan jika memang negara mengalami surplus bahan pangan, sedangkan impor berkaitan dengan perdagangan luar negeri.
Sudah menjadi tanggungjawab negara untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat, mencukupi secara merata dan harga yang terjangkau. Indonesia dengan tanah yang subur dan luas sejatinya merupakan modal utama terwujudnya pemenuhan kebutuhan pangan. Apalagi ketika dimasa wabah tidak akan khawatir dengan ketahanan pangan karna tidak bergantung pada kegiatan impor luar negeri. Wallahua'lam bishowab.