Oleh: Ratna Ariyani
Pemberitaan ABK yang jenazahnya dilarung ke laut menjadi perbincangan publik. Mereka merasa diperbudak oleh kapal berbendera Cina tersebut. Mereka bahkan hanya tidur tiga jam, bekerja sepanjang hari, makan dan minum dari hasil sulingan air laut dan umpan ikan. Sementara terhadap ABK asal Cina mereka diperlakukan istimewa. Dugaan kekerasan dan penahanan gaji oleh kapal ikan berbendera Cina, Long Xin 629 pun menyeruak ke permukaan.
Kuasa hukum ABK dari DNT Lawyers, Krido Sasmito memaparkan fakta terbaru. Di antaranya, masalah gaji dan pungutan liar. Sebagian ABK tidak menerima gaji dan sebagian lagi baru digaji untuk setara tiga bulan. Padahal 14 ABK telah bekerja selama 13 bulan. Gaji yang diterima pun tak sesuai kontrak. Ada ABK menerima gaji USD 120 setara Rp1,7 juta untuk 13 bulan bekerja. Sesuai kontrak mereka menerima USD 300 per bulan. Selama tiga bulan pertama bekerja, seluruh ABK tidak menerima utuh gaji. Upah yang harus diterima, berkurang drastis karena dipotong untuk biaya rekrutmen dan uang jaminan. Dalih kapten kapal, ada pemotongan untuk hal biaya administratif. Kehidupan ABK terkungkung karena paspor disita oleh kapten kapal. Dalam menjalani kehidupan di kapal, meminum air dari penyulingan air laut telah memicu gangguan kesehatan bagi ABK Indonesia.
Menurut catatan Migrant Care, organisasi sipil Indonesia yang berfokus pada pekerja migran, kerawanan sektor kelautan dan perikanan—terutama sebagai ABK di kapal pencari ikan—menjadikan mereka terjerembab praktik perbudakan modern. Pada 2014-2016, kondisi ABK Indonesia dalam perbudakan modern merupakan masalah terburuk berdasarkan pemeringkatan Global Slaveri Index. Kondisinya tak berubah hingga saat ini. Terhitung ada ratusan ribu ABK Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan di luar negeri dalam perangkap perbudakan modern. Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyebut perbudakan modern di kapal Cina baru-baru ini menunjukkan tak ada perbaikan strategis dan langkah mitigasi menangani kerentanan pekerja migran sektor kelautan Indonesia.
Perbudakan pekerja paksa kulit hitam di Amerika telah berakhir. Tapi catatan hitam sejarah manusia abad 18-19 itu masih ada hingga kini. Perbudakan selalu menemukan gaya barunya di tiap zaman. Di masa ini fenomena tersebut secara gamblang dipaparkan lewat hasil laporan Indeks Perbudakan Global (IPG) 2016. Laporan IPG 2016 yang dikerjakan oleh Walk Free Foundation menyebut ada kurang lebih 45,8 juta budak modern di seluruh dunia. Mereka terjebak di bisnis prostitusi, eksploitasi seksual, buruh paksa, pernikahan paksa, hingga perdagangan organ. Semuanya bermodal ancaman dan kekerasan.
Tidak dipungkiri bahwa epidemi perbudakan bukanlah epidemi baru-baru ini, tetapi ketidakadilan manusia terhadap manusia telah ada sejak awal penciptaan. Sementara perbudakan zaman modern ini terkait erat dengan ideologi kapitalisme yang mengatur dan mengendalikan posisi politik dan ekonomi, serta membagi dunia menjadi negara-negara dunia pertama, kedua dan ketiga. Ini adalah kebijakan negara-negara kafir penjajah Barat yang masuk ke negara itu untuk menjarah dan mencuri kekayaan, serta merusak pikiran dan kehormatan orang-orang lemah, pada umumnya, dan memperbudak perempuan, pada khususnya. Dengan demikian, perbudakan adalah serangkaian kebijakan politik dan ekonomi yang diambil untuk menjamin hukum rimba, bahwa yang kuatlah yang akan bertahan dan tetap hidup.
Dalam hal ini yang menjadi prioritas adalah kepentingan materi dan rencana strategis yang menjamin negara-negara “Dunia Pertama” (Negara maju) hidup sejahtera, karena pemerintah mereka lebih kuat dengan kekayaannya —yang mereka curi dari negara lain, memiskinkan rakyatnya, dan menyewakan pemerintahnya— atau dengan senjata mereka, bukan dengan pemikiran mereka tentang kehidupan, sebelum dan sesudahnya. Mereka hidup secara dangkal hanya untuk memuaskan keinginannya. Mereka memisahkan agama dari kehidupannya, dan memberlakukan hukum positif untuk melindungi kejahatannya. Jika kita bertanya kepada negara-negara “Dunia Ketiga”, mengapa seorang manusia puas diperbudak oleh yang lain, maka jawabannya adalah mereka dipaksa melakukan itu karena ketidakstabilan materi, tidak adanya pemeliharaan dan keamanan. Mereka hidup dalam kondisi kekalahan intelektual dan psikologis, sehingga mereka terseret menjadi bagian dari sistem kapitalisme korup dan rusak ini.
Manusia di seluruh dunia saat ini menyembah kepentingan yang melupakan Allah SWT, dan mengizinkan dirinya untuk hidup sesuai dengan hukum buatan manusia. Keselamatan umat manusia dari perbudakan terletak pada keselamatannya dari ideologi kapitalis ini. Satu-satunya ideologi yang akan menyelamatkan umat manusia dari perbudakan, seperti yang pertama kalinya diterapkan adalah sistem Islam dalam negara Khilafah. Islam adalah ideologi yang tegak di atas kalimat tauhid “Tidak ada tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah”, serta yang membangun sistem politik, ekonomi, pendidikan, militer dan sosial didasarkan pada ketakwaan kepada Allah, dan metodologi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama. Itulah hukum syariah dari Allah yang memberikan kedamaian dan keadilan, menyelesaikan semua masalah manusia, dan mengatur berbagai hubungan antara manusia dengan cara yang tepat dan akurat. Hukum yang menjamin semua hak, membagi kewajiban dan tanggung jawab, serta menjaga akal, diri, kehormatan, kekayaan, tanah dan martabat manusia, dengan menjadikan penghambaan hanya kepada Allah SWT semata, dan hidup sesuai dengan syariah-Nya. Sehingga tidak dieksploitasi dan tidak direndahkan oleh siapa pun, kehidupannya diserahkan pada Allah, tahu akan kemampuan dirinya dan beraktivitas untuk mendapatkan ridha Tuhannya.
Masihkah berharap pada sistem kapitalisme yang banyak cacatnya di sana sini? Dalam menyelesaikan masalah perbudakan, Islam memiliki seperangkat solusi. Tenaga kerja tak akan diperbudak sedemikian rupa. Apa yang menjadi kewajiban negara akan ditunaikan. Dan apa yang menjadi hak warganegara akan direalisasikan. Sebab, Islam melarang perbudakan. Islam juga melarang menahan gaji pekerja. Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda, “Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR Ibnu Majah). Wallahu A’lam Bisshowab