Ekonomi Tumbang, Kok Malah Menambah Utang?


Oleh: Miliani Ahmad
 (Aktivis dakwah)


Seiring penanganan wabah Covid-19, keadaan ekonomi Indonesia semakin memburuk. Utang luar negeri Indonesia semakin melambung tinggi.
Setelah pada bulan sebelumnya utang luar negeri (ULN) Indonesia mengalami kontraksi, ULN terus mengalami pembengkakan. Pada akhir April 2020 ULN Indonesia menjadi sebesar USD 400,2 miliar. Terdiri dari sektor publik yakni pemerintah dan bank sentral sebesar USD 192,4 miliar dan sektor swasta termasuk BUMN sebesar USD 207,8 miliar.



Pertumbuhan ULN pada Maret 2020 sebesar 0,6 % mengalami peningkatan menjadi 2,9 % (yoy). Faktor penyebabnya adalah terjadinya peningkatan ULN publik di tengah perlambatan pertumbuhan ULN swasta.


Disisi lain, tercatat total pembiayaan utang pemerintah hingga Mei 2020 meningkat menjadi 35,8%  (dari target 2020 sebesar 1.006,4 triliun) dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 161,7 triliun. Menteri keuangan Sri Mulyani menjelaskan kenaikan realisasi pembiayaan hingga Mei 2020 disebabkan oleh defisit anggaran yang semakin meningkat. Dengan defisit yang naik, sedangkan realisasi pembiayaan meningkat, kementrian keuangan telah menerbitkan SBN neto sebesar 369 triliun yang naik 98,3% dari catatan Mei 2019, serta pinjaman negatif Rp 8,3 Triliun atau turun 65,8% dari catatan Mei 2019.   



Kebijakan penambahan utang ini mendapat banyak pengamatan. Salah satunya Salamudin Daeng selaku peneliti AEPI. Beliau mengungkapkan jika pemerintah gagal mendapatkan target utang sebesar 1.006,4 triliun dari yang diproyeksikan untuk tahun 2020 maka dipastikan APBN akan ambyar total. Dirinya pun mengkhawatirkan akan adanya kegagalan pemerintah untuk mengembalikan dana-dana publik yang dipakai oleh APBN jika pemerintah terlalu besar menanggung beban utang luar negeri yang besar serta utang BUMN luar negeri yang juga besar. Jika hal ini terjadi maka makin bertambah dana-dana masyarakat yang menjadi korban gagal bayar setelah jiwasraya dan kasus skandal asuransi beserta perusahaan keuangan lainnya.



Jika gagal membayar utang luar negeri disertai gagal cetak uang, menurut Daeng, maka gagal APBN menjadi komplit. Semua penerimaan negara akan kering kerontang akibat penurunan harga minyak dan harga komoditas lainnya. Yang pada akhirnya menyebabkan beban rakyat semakin berat. Hal ini tentu akan semakin membuat masyarakat jungkir balik memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Beginilah realitas nasib negeri ini. Sungguh ironis, negara yang sangat kaya dengan diberkahi kelimpahan sumber daya alam ini terus berupaya mempertahankan eksistensinya dengan sandaran utang yang semakin membengkak. Tentu saja alasan-alasan seperti yang dikemukakan diatas merupakan alasan kuat yang mendorong pemerintah untuk terus berhutang. Padahal berhutang kepada lembaga-lembaga dunia seperti IMF dan world bank tentu memiliki banyak konsekuensi.



Konsekuensi yang paling logis dari kebijakan berhutang ini  adalah hilangnya kedaulatan negara ini akibat skema perjanjian yang harus disepakati. Terlebih lagi kebijakan-kebijakan negara seperti dalam hal politik, ekonomi dan sistem lainnya akan sangat mudah di kontrol dan dikangkangi lembaga-lembaga besar tersebut yang merupakan kolaborasi para kapital besar dunia. Yang pada akhirnya kebijakan negara berpotensi semakin kental beraroma bisnis yang dikendalikan oleh kepentingan asing. Hal akan semakin menjauhkan fungsi negara sebagai penjaga kemaslahatan umat.



Perlu kita perhatikan juga bahwa skema utang yang diberikan kepada negara penghutang menjalankan skema bunga yang sangat tinggi. Islam mengenalnya dengan istilah riba. Semakin lama bunga bank ini semakin membesar melebihi pokok pinjamannya. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan negara-negara penghutang terlibat dalam lingkaran setan utang yang tak kunjung terbayarkan. Negara akan sibuk melakukan tambal sulam kebijakan hanya untuk menutupi utang. Pajak yang tinggi merupakan jalan pintas untuk mengeruk keringat rakyat yang sudah mengering akibat salah tata kelola keuangan negara.



Utang yang terus membumbung tinggi ini merupakan dampak buruk dari pelaksanaan sistem ekonomi kapitalisme yang dianut negara. Sistem ini lebih mengedapankan keuntungan segelintir pihak untuk mengeruk dan menguras keuangan suatu negara. Sistem ini juga meniadakan aturan yang memihak kepada rakyat. Negara harus bekerja memenuhi keinginan dan intervensi pihak-pihak tertentu yang notabene nya mereka adalah pemilik modal raksasa. Sehingga wajar akhirnya intervensi utang mempengaruhi kebijakan negara. Negara lebih condong mengakomodir kepenitingan bisnis segelintir elit.



Berbeda paradigma yang lahir dari ideologi Islam. Islam tidak pernah menyandarkan pengelolaan negara berbasis utang. Karena Islam memiliki mekanisme pengaturan negara yang begitu komprehensif. Melalui mekanisme Baitul mal negara memiliki sumber-sumber pemasukan yang sangat besar tanpa mengandalkan utang dan pajak. Diantaranya pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pengelolaan negara bukan privatisasi ataupun diserahkan kepada asing. Negara memiliki kewajiban untuk mengelola sumber daya alam tersebut seperti tambang, hutan, laut, dan juga sumber-sumber air yang hasilnya dikelola untuk kemaslahatan warga negara. Sehingga warga negara merasa tentram tanpa perlu tertekan dengan lilitan pajak dan pungutan yang semakin variatif.



Selain utang ini menyengsarakan, ternyata utang negara yang berbasis riba ini akan memunculkan bahaya terbesar yaitu datangnya azab Allah subhanahuwata’ala. Rasulullah saw. bersabda : “Jika riba dan zina telah tersebar luas di satu negeri, sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan azab Allah bagi diri mereka sendiri.” (H.R Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabrani). 



Selain itu, perekonomian yang dibangun di atas pondasi riba tidak akan pernah stabil. Akan terus goyah bahkan terjatuh dalam krisis secara berulang. Akibatnya, kesejahteraan dan kemakmuran yang merata untuk rakyat serta kehidupan yang tentram akan terus jauh dari capaian.
Alhasil, utang negara baik utang luar negeri maupun dalam negeri harus segera diakhiri. Perekonomian bangsa harus dijauhkan dari mekanisme riba. Sudah selayaknya perekonomian bangsa diatur sesuai syariah Islam. Hanya dengan kembali pada syariah Islamlah bangsa ini akan memperoleh keberkahan.

Wallahua’lam bish-shawab.


   

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak