Dunia Diambang Krisis Ekonomi, “New Normal Life” Bukan Solusi





Oleh : Luthfiah Jufri, S. Si, M. Pd
Pegiat Literasi, Komunitas Ibu Cinta Quran

Virus corona tak hanya melumpuhkan ekonomi Cina, namun juga berpotensi menyeret ekonomi global ke dalam resesi. Ketika tren penyebaran virus Corona menurun di Cina, kasus baru justru tumbuh pesat di negara-negara lain seperti Indonesia, Iran, Korea Selatan, Italia, Spanyol, Jerman, dan Amerika Serikat. Tidak ada yang mampu memprediksi seberapa lama wabah ini akan berakhir dan seberapa banyak korbannya. Namun, kekhawatiran terhadap penyebaran virus ini membuat roda ekonomi global berputar lebih lambat.

Cina yang saat ini menjadi kekuatan ekonomi nomor dua di dunia setelah AS dan menjadi motor utama perdagangan internasional, diperkirakan hanya tumbuh 4,5% tahun ini. Virus Corona menyebabkan kegiatan ekonomi di Negara itu anjlok seperti komsumsi, investasi, dan ekspor. Negara-negara lain yang berkaitan kuat dengan ekonomi Cina ikut terkena getahnya. Pasalnya, selain menjadi Negara eksportir terbesar cina juga menjadi importir terbesar dunia, khususnya bahan baku.

Penyebaran virus corona juga membuat industri pariwisata anjlok. Berbagai kegiatan yang mengumpilkan banyak orang, seperti bisnis, olahraga, konser dan pameran terpaksa ditunda bahkan dibatalkan. Arab Saudi bahkan menutup sementara pintu negaranya dari jamah haji dan Umrah dari Negara lain.bursa saham di berbagai negara juga rontok akibat meningkatnya kekhawatiran investor terhadap potensi meluasnya eskalasi penyebaran virus corona.

Ekonomi Indonesia  Terancam
Sebagai Negara yang memiliki hubungan kuat dengan Cina dan negara-negara yang terdampak Corona, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terancam melambat. Dari sisi perdagangan, ekspor Indonesia akan menyusut tajam sebab negara-negara yang mengalami pandemi Corona merupakan tujuan utama ekspor Indonesia. Selain itu, sektor Pariwisata Indonesia yang melibatkan berbagai industri seperti transportasi, perhotelan, dan restoran juga melambat. Apalagi Cina penyumbang wisatawan asing terbanyak ke dua setelah Malaysia. 

Bank Indonesia pada bulan Februari juga telah menurunkan suku bunga acuan dari 5% menjadi 4,75% disamping mengeluarkan paket kebijakan untuk mendorong agar ekonomi tidak turun tajam. Meskipun demikian, situasi global yang memburuk dan berdampak luas bagi ekonomi domestik membuat target pemerintah Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5% tahun ini dipastikan meleset.

Narasi dibalik “New Normal”

Berdasarkan kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa potensi resesi ekonomi global, yang juga berdampak pada Indonesia berpeluang besar tejadi jika wabah Corona menjadi semakin massif dan berkepanjangan maka tak heran para penguasa mengajak masyarakat “berdamai dengan corona” ini menjadi pilihan “terbaik” di tengah rasa putus asa atas ketidakmampuan memberi jalan keluar. Dalihnya, wabah corona adalah wabah tak biasa. Dia merebak sejalan dengan pergerakan manusia. Maka apa boleh buat harus berdamai, bahkan bersahabat dengan corona.

Kondisi ini nyatanya bukan hanya di Indonesia saja. Tengoklah negara sebesar Amerika. Trump presidennya, terus mengambil langkah kontroversial. Trump meminta rumah-rumah ibadah dibuka sebagaimana sektor esensial lainnya. Padahal fakta saat ini, AS masih menjadi negara dengan kasus corona terbanyak di dunia, 2, 05 juta orang positif dan 115 ribu orang meninggal dunia. (Sumber : Wikipedia)

Sehingga memutar roda perekonomian AS alias menormalisasi sistem ekonomi kapitalisme yang mandek dipandang jauh lebih penting dibanding menyelamatkan nyawa rakyatnya. Maka ketika wabah terbukti meluluhlantakkan perekonomian global di berbagai sektor lainnya, adalah niscaya bagi kekuatan “big money” mengambil keputusan yang lebih brutal: Mempropagandakan narasi new normal life dan membiarkan rakyat dunia “bekerja” menyambung nyawa.  Mirisnya, sebagai negara pengekor, Indonesia dengan mudah ikut termakan propaganda. Narasi berdamai dengan corona seolah-olah menjadi satu-satunya pilihan.

New Normal”, Hanya Nilai Materi yang Diakui

New normal” hanyalah upaya Barat mendustai dunia atas karakter buruk peradaban mereka, konsep ini menjadi upaya imperialisme mereka, meski tanda kematian tampak jelas pada kondisi Amerika Serikat yang menjadi jantung peradaban Barat. Karakter buruk peradaban kapitalisme tercermin dari kegagalannya mengatasi pandemi Covid-19 yang memperparah resesi kronis. Artinya, “new normal” bukanlah sekadar kehidupan dengan sejumlah protokol kesehatan, melainkan kehidupan dunia dalam peradaban kapitalisme yang berkarakter merusak di tengah pandemi Covid-19 yang dibiarkan mengganas akibat tekanan resesi terburuk sepanjang sejarah. Hasilnya, penderitaan dunia akan semakin dalam.

Selain berkarakter imperialisme, karakter peradaban kapitalisme yang tidak kalah buruk dan berbahaya seperti diinyatakan Syaikhul Islam Al ‘Aaalim Taqiyuddin An Nabhani rahimahullah, dalam tulisannya berjudul Al Hadharah Al Islamiyah, buku An Nizhamul Islam, “Oleh karena itu tidak akan ditemukan dalam peradaban Barat nilai moral, atau nilai spiritual, atau nilai kemanusiaan, kecuali nilai materi saja.”

Sehingga, aspek ekonomi yang hanya membahas aspek materi dan manfaat dalam sistem ekonominya, menjadi fokus bahkan mengatasi urusan kesehatan dan nyawa manusia. Bahkan, kesehatan sendiri tidak lebih dari jasa yang harus dikomersialkan. Hal ini terlihat pada konsep “new normal” atau “new normal life” ini. Demi hasrat meraih nilai materi, rezim berkuasa berlepas tangan dari mengatasi pandemi Covid-19 yang tengah berkecamuk. Kendati untuk itu kesehatan dan nyawa miliaran manusia taruhannya. Di saat yang bersamaan, ia fokus pada fungsinya sebagai pelayan korporasi dan pelaksana agenda hegemoni Barat, khususnya ekonomi.

Solusi Islam Mencegah Krisis Ekonomi

Dalam Islam, urusan nyawa rakyat menjadi hal yang diutamakan. Bahkan keberadaan syariat dan negara dalam Islam (yakni khilafah) salah satunya berfungsi untuk penjagaan nyawa manusia dan penjamin kesejahteraan hidup mereka. Wajar jika saat peradaban khilafah ini belasan abad tegak, umat manusia hidup dalam kedamaian sesungguhnya. Apa yang dibutuhkan manusia, mulai dari kebutuhan dasar termasuk kesehatan, kehormatan, keamanan, benar-benar dipenuhi negara.

Hal ini niscaya, karena peradaban Islam tegak di atas paradigma bahwa amanah kekuasaan tak hanya berdimensi dunia, tapi juga berdimensi akhirat. Maka bisa dipastikan, negara dan penguasanya akan sungguh-sungguh menuaikan kewajiban. Menjadi pengurus umat sekaligus menjadi penjaganya. Mereka benar-benar paham, bahwa setiap kebijakan yang menzalimi rakyat akan menuai laknat dan adzab. 
Dengan melaksanakan panduan dari syariah Islam, pandemi akan lebih mudah diatasi dan dikendalikan. Nyawa manusia bisa terselamatkan dan ekonomi bisa terus berjalan. Untuk itu harus dilakukan:

Pertama, mengunci wilayah yang terkena wabah, sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘Alayhi wa sallam:
“Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu”. (HR al-Bukhari)

Oleh karena itu pasokan berbagai kebutuhan untuk wilayah yang terkena wabah (zona merah) harus dijamin oleh pemerintah sebagai pengurus rakyatnya. Penguncian wilayah dilakukan hanya untuk wilayah yang terjangkit saja yaitu zona merah, sedangkan wilayah lain yang tidak terjangkit (zona hijau) bisa tetap berjalan normal dan tetap produktif. Wilayah-wilayah yang produktif (zona hijau) itu bisa menopang zona merah, baik dalam pemenuhan kebutuhan maupun penanggulangan wabah. Dengan demikian perekonomian secara umum tidak terdampak.

Kedua, untuk wilayah yang merupakan zona merah diterapkan aturan berdasarkan sabda Rasul Shallallahu ‘Alayhi wa sallam:

“Janganlah kalian mencampurkan orang yang sakit dengan yang sehat”. (HR al-Bukhari). 

Dalam penerapannya dilakukan dua hal, pertama: menjaga jarak antar orang, dan kedua: mengetahui siapa yang sakit dan siapa yang sehat. Penjagaan jarak dilakukan dengan physical distancing sebagaimana yang pernah diterapkan oleh Amru bin ‘Ash dalam menghadapi wabah Tha’un ‘Umwas di Palestina kala itu dan berhasil. 

Adapun untuk mengetahui siapa yang sakit dan siapa yang sehat diperlukan adanya 3T (test tracing treatment). Kecepatan dalam pelaksanaan 3T menjadi kunci. Harus dilakukan tes yang akurat secara cepat, masif dan luas. Kemudian dilakukan tracing kontak orang yang positif dan dilakukan penanganan lebih lanjut. Mereka yang ODP dan PDP harus diisolasi, sedangkan mereka yang positif Covid-19 diisolasi dan diobati (treatment). Semua pembiayaan test, tracing hingga treatment (pengobatan) ditanggung oleh negara melalui baitulmal.

Dengan pelaksanaan tersebut akan menjadi jelas mana orang yang sakit dan mana orang yang sehat. Mereka yang sehat masih tetap bisa menjalankan aktivitas kesehariannya, tanpa harus stay at home, sehingga tetap produktif. Oleh karena itu di wilayah zona merah pun masyarakat masih bisa tetap produktif meski ada penurunan. 

Demikianlah syariah Islam memberi tuntunan dalam mengatasi pandemi yang jika dijalankan akan meniscayakan berakhirnya pandemi dengan cepat. Namun pelaksanaannya memerlukan institusi yang disyariatkan pula yaitu Khilafah. 




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak