Duka Ibunda di Tengah Pusaran Wabah


Oleh: Miliani Ahmad
(aktivis da’wah)

Sudah memasuki bulan ke tujuh jika menghitung terjadinya Pandemi virus Corona sejak Desember 2019. Perjalanan penyebaran virus ini begitu cepat dan massif. Hampir dipastikan seluruh negara-negara di dunia saat ini sedang berjibaku menghadapi efek domino yang dimunculkan oleh virus ini. Baik itu negara miskin, berkembang atau bahkan negara maju sekalipun.


 Semua tergagap-gagap menghadapi situasi yang tak pernah diprediksikan sebelumnya. Semua sektor usaha terpukul. Yang paling sekarat adalah sektor ekonomi yang berimplikasi kepada kacau dan runtuhnya tatanan kehidupan saat ini. Banyak perusahaan gulung tikar yang memaksa banyak terjadinya PHK massal. Tatanan sosial terutama perilaku masyarakat mulai bergeser kepada tatanan perilaku yang tak diinginkan. Karena ekonomi masyarakat yang melorot drastis, tingkat kriminalitas justru menukik tajam. Dilema masyarakat khususnya di Indonesia semakin menjadi-jadi.


 Ditengah pandemi, kehidupan masyarakat semakin sempit tatkala muncul kebijakan yang tidak berorientasi kepada perbaikan ekonomi masyarakat. Masyarakat harus menelan pil pahit naiknya iuran BPJS. Selain itu tarif listrik pun tiba-tiba membumbung tinggi. Harga beli masyarakat menurun. Bahkan upaya masyarakat yang hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar pun seperti pangan rasanya sulit terelisasi ditengah pandemi ini.


Kondisi ini tentu sangat menyulitkan, terutama bagi kaum ibu. Karena dapat dikatakan  merekalah yang pertama kali bersinggungan dengan pengelolaan keuangan keluarga. Derita kaum ibu ditengah pandemi ini begitu menyesakkan. Alih-alih seorang ibu mampu menjalankan fungsinya dengan baik, justru situasi ini menambah beban tersendiri. Kaum ibu harus berhadapan dengan sistem pembelajaran daring bagi si anak yang butuh kemahiran dan keahlian, serta anggaran kuota yang menuntut harus ada jika ingin pembelajaran maksimal.


 Belum lagi menganggarkan biaya listrik, air dan konsumsi agar bisa saling menutupi dan mengakali setiap pengeluaran supaya tidak defisit.
Tapi ternyata tak berhenti disini saja, derita kaum ibu akibat kerusakan sistem ditengah pandemi ini telah menghantarkan nasib tragis yang dialami oleh sorang ibu di Makasar. Sang ibu harus kehilangan anak didalam kandungannya setelah dirinya tidak mampu membayar swab test sebesar Rp 2,4 juta. Padahal kondisinya saat itu sangat membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan. Tingginya harga ini baik melalui rapid maupun swab test disinyalir telah "dikomersialisasikan". Dan peristiwa ini memantik perhatian dari beberapa pihak.


Pengamat kebijakan publik dari dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyebut saat ini terjadi 'komersialisasi' tes virus Corona yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes ini. Menurutnya banyak RS saat ini yang memanfaatkan seperti aji mumpung dengan memberikan tarif yang mahal dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Itu akibat dari tidak ada aturan dan kontrol dari pemerintah.


Dirinya berpendapat setidaknya ada dua solusi yang perlu dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan masalah 'komersialisasi' tes virus corona ini. Pertama, pemerintah menanggung semua biaya uji tes ini. Baik rapid maupun swab test berdasarkan keputusan pemerintah tentang penetapan kedaruratan virus Corona dan penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional non alam dan diperkuat dalam penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang yang salah satu isinya tentang pembiayaan penanganan pandemi Covid-19.
Kedua, jika anggaran negara terbatas, pemerintah harus mengeluarkan aturan khusus yang mengatur pelaksanaan tes Covid-19, baik untuk rumah sakit swasta maupun pemerintah.


Tidak jauh berbeda, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan tingginya harga tes Covid-19 dikarenakan pemerintah belum menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). YLKI sendiri setidaknya mendapatkan banyak laporan dari masyarakat tentang mahalnya harga tes virus ini. Dia mengatakan, masyarakat sebagai konsumen perlu kepastian harga. Selain mengatur HET pemerintah juga perlu mengatur tata niaganya.


Lalu bagaimana pendapat pihak yang dituding telah mengkomersialisasikan tes Covid-19 ini? Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) membantah bahwa rumah sakit swasta melakukan "aji untung" dalam biaya tes rapid dan swab. Ketua Umum ARSSI, Susi Setiawaty, menjelaskan bahwa tudingan "mahalnya" tes virus Corona disebabkan oleh beberapa hal.


 Pertama, pihak rumah sakit harus membeli sendiri alat dan perlengkapan tes. Kedua, biaya untuk membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam tes tersebut, dari dokter, petugas laboratorium, hingga petugas medis yang membaca hasil tes tersebut.
Dalam situasi seperti ini tentunya tidak ada pihak yang mau disalahkan. Mereka semua beranggapan bahwa apa yang telah mereka perbuat sudah sesuai prosedur. Rumah sakit beranggapan bahwa mahalnya biaya tes Covid-19 karena anggaran untuk pelaksanaannya memang tidak mampu mereka danai mandiri, sementara pihak konsumen pun dalam hal ini pasien yang tak mampu membayar karena memang situasi keuangan yang belum berpihak.


Sebetulnya ada satu pihak yang memang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Pihak inilah (pemerintah) yang dianggap sebagai pihak sentral yang mampu menghapus dilema yang terjadi di dalam masyarakat.

 Kekacauan sistem ekonomi, sistem sosial, sistem kesehatan dan kekacauan sistem-sistem lainnya bisa segera dieliminir jika saja pemerintah bisa mengambil peran lebih dalam mengatasinya tak hanya sebatas berperan sebagai regulator.


Apalagi disituasi pandemi saat ini, masyarakat membutuhkan peran tangan negara untuk membantu mereka bangkit dalam keterpurukan dan bayang-bayang ancaman virus Covid-19 ini. Namun sayangnya, ibarat punguk merindukan bulan, belaian tangan kehadiran pemerintah masih jauh panggang dari api. Semua ini tak luput dikarenakan kebijakan yang lahir dalam sistem demokrasi saat ini lebih mengedepankan keberpihakan terhadap segelintir elit dan pemilik modal. Masyarakat hanya dianggap beban yang terus membebani APBN dan negara. Sehingga banyak kebijakan yang lahir dimasa pandemi ini yang tidak memiliki korelasi dengan kebutuhan masyarakat.


Islam sebagai dien yang sempurna, memandang bahwa peran pemerintah mestinya bisa dirasakan dalam semua kondisi, baik kondisi normal ataupun kondisi ekstrim seperti pandemi saat ini. Negara berkewajiban memenuhi semua kebutuhan mendasar masyarakat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Karena memang penyediaan kebutuhan ini bersifat wajib bagi negara maka tidak diizinkan bila negara memberikan penanganan kebutuhan ini kepada pihak-pihak tertentu seperti individu atau swasta untuk mengelolanya.


Pun disaat pandemi, negara harus bekerja secara maksimal memberikan pelayanan kepada masyarakat. Karena negara adalah Ra’in atau junnah (pelindung) yang harus bekerja secara bersungguh-sungguh memenuhi kebutuhan setiap penduduk. Negara harus memastikan distribusi pangan berjalan optimal didalam masyarakat. Tidak boleh ada aksi penimbunan atau panic buying yang justru akan mengakibatkan kelangkaan dan mahalnya harga barang. Negara juga harus memastikan disituasi pandemi ini tidak ada masyarakat yang hidup dalam tekanan dimana negara tidak boleh mengeluarkan kebijakan yang tidak pro kepada masyarakat. Selain itu dalam hal sistem kesehatan, negara juga harus betul-betul hadir menyiapkan segala infrastruktur pendukung penanganan terhadap penyakit. Seperti penyediaan APD, alat tes baik itu rapid test maupun swab test, tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat dan juga para ahli untuk sesegera mungkin menemukan anti virus ini.


Jika berkaca pada sistem saat ini tentulah hal yang demikian begitu mustahil untuk direalisasikan. Karena basis pengelolaan negara adalah basis ideologi kapitalis yang lebih menyandarkan adanya harga bagi setiap jasa dan barang yang diinginkan oleh masyarakat.


Namun jika kita kembali merujuk kepada sistem Islam, pengelolaannya tidaklah demikian. Negara memiliki basis anggaran yang besar yang sangat mampu menutup semua kebutuhan masyarakat melalui mekanisme baitul maal. Sumber-sumber pendapatan negara berasal dari banyak sumber yang tidak berorientasi kepada pajak maupun utang. Pengelolaan keuangan betul-betul dipastikan untuk kepentingan warga negara. Maka tak heran didalam sistem Islam masyarakat merasakan ketentraman yang luar biasa.


 Negara didalam Islam dijalankan dengan konsep ketaatan kepada Allah. Khalifah sebagai pemimpin tertinggi mutlak memiliki ketaatan kepada Allah ketika dia memimpin. Tak boleh ada satu pun mudharat atau bahaya yang boleh mengintai rakyatnya termasuk ancaman bahaya dari virus.


 Kemaksimalan khalifah dalam memimpin inilah sebetulnya kunci bagaimana kehadiran negara bisa dirasakan. Tentunya kebijakan negara pun banyak mengakomodir kepentingan masyarakat.
Teringat bagaimana khalifah Umar bin Khattab, ketika beliau betul-betul mengupayakan kemaksimalannya dalam memimpin agar tak ada manusia yang celaka bahkan harus meninggal dunia sebelum dilahirkan. Tidak hanya manusia yang dipastikan keselamatannya, bahkan seekor keledai pun terjaga nyawanya. Amirul mukminin Umar bin Khattab yang terkenal tegas  dalam memimpin kaum muslimin tiba-tiba menangis, dan kelihatan sangat terpukul. Informasi salah seorang ajudannya tentang peristiwa yang terjadi di tanah Iraq telah membuatnya sedih dan gelisah.


 Seekor keledai tergelincir kakinya dan jatuh ke jurang akibat jalan yang dilewati rusak dan berlobang. Melihat kesedihan khlalifahnya, sang ajudan pun berkata: “Wahai Amirul Mukminin, bukankah yang mati hanya seekor keledai?” dengan nada serius dan wajah menahan marah Umar bin Khattab bekata: “Apakah engkau sanggup menjawab di hadapan Allah ketika ditanya tentang apa yang telah engkau lakukan ketika memimpin rakyatmu?”


Alangkah agung dan indahnya Islam ketika memimpin. Tidakkah hati kita merasa rindu untuk hidup didalam naungannya?
Wallahua’lam bish-shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak