Oleh: Nur Hikmah (Muslimah Bau-Bau, Sulawesi Utara)
Pandemi Virus Corona hingga saat ini masih mewabah di seluruh penjuru dunia. Termasuk di Indonesia, pandemi corona masih terus menjangkiti manusia hingga merenggut ribuan nyawa. Entah sudah kesekian kalinya negeri ini dilanda musibah. Musibah secara bertubi-tubi dalam beberapa tahun terakhir ini. Tidak hanya bencana yang menimpa negeri ini, masyarakat pun makin terhimpit hidupnya dengan biaya kebutuhan pokok yang kian tak terbendung. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini, kebutuhan hidup yang semakin meningkat sementara penghasilan makin minim bahkan nihil.
Kesejahteraan rakyat di negeri ini nampaknya hanya akan menjadi sekadar harapan. Karena hingga kini tidak ada indikasi yang menunjukkan terjadinya perbaikan ekonomi secara signifikan. Bahkan yang ada justru sebaliknya. Kebijakan-kebijakan yang diambil pun masih belum pro rakyat. Seperti belum lama ini, saat rakyat membutuhkan layanan kesehatan gratis dan berkualitas, rakyat malah dibebani dengan naiknya iuran BPJS. Lagi-lagi semua ini hasil dari kegagalan sistem yang bobrok. Sistem kapitalis yang semakin hari semakin menunjukkan ketidakberhasilannya dalam memimpin negeri. Lalai dan acuh terhadap kepentingan umat. Dan ketika masalah begitu banyak, yang hadir pun bukan solusi. Tapi malah menambah masalah baru. Rakyat dipalak dengan pajak dan dibebani utang negara. Seperti dilansir dari detik.finance (20/5/2020) “Penerimaan cukai hasil tembakau mengalami kenaikan signifikan hingga 26% dan penerimaan pajak hingga April 2020 baru 30% dari target. Penerimaan cukai hasil tembakau naik disebabkan limpahan penerimaan tahun sebelumnya efek PMK 57 (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57),” Ungkap Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara.
Tidak heran lagi, negara dengan basic ekonomi kapitalisnya menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara yang punya sumbangsih besar terhadap negara ini. Adanya pandemi ini rupanya telah membuat gelagapan para elit pengusaha maupun penguasa, sebab telah menghambat laju roda perekonomian. Maka jurus-jurus kapitalis kembali digunakan dalam menyelesaikan problem defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu dengan mengusulkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Corona menjadi UU. Tak perlu menunggu lama, yang diinginkan pun akhirnya terealisasi pada pertengahan Mei lalu. Dikutip dari detik.finance (Rabu, 13/5/2020) “DPR telah menyetujui dan mensahkan Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 menjadi UU”. Dengan itu, pemerintah akan membutuhkan banyak dana demi menanggulangi pandemi Covid-19, sekaligus melindungi perekonomian nasional. Untuk memenuhi dana tersebut salah satunya pemerintah melebarkan defisit APBN tahun 2020 ke level 6,27 % setara dengan Rp 1.028,5 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, awal April lalu hanya ditargetkan sekitar 1,76 % setara dengan Rp 405,1 triliun. Pengesahan Perppu tersebut menjadi peluang untuk kembali menerbitkan utang baru sekitar Rp 990,1 triliun. Dan tidak menutup kemungkinan akan membuka celah untuk melakukan tindakan korupsi.
//Rakyat dikorbankan, Kapitalis diselamatkan//
Memang sudah menjadi tabiat dalam sistem demokrasi dan kapitalisme sekularisme sekarang, penerimaan negara dari sektor pajak merupakan sumber pendapatan pertama dan utama yang selalu menjadi target pemerintah, yang sedikit-sedikit dilirik dan kemudian dibidik. Senada dengan apa yang dilontarkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam peringatan Hari Pajak tahun 2018 mengatakan, bahwa pajak merupakan tulang punggung negara. Sungguh sangatlah miris. Padahal, jika kita lihat kekayaan yang dimiliki oleh negeri ini sangat melimpah ruah, sumber daya alamnya pun tidak diragukan lagi, mulai dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun sayang, semuanya itu telah dimiliki oleh segelintir elit pengusaha dan dikuasakan kepada asing. Rakyat hanya disuguhkan dengan adanya tumpukan utang yang menggunung. Utang yang akan diterbitkan dalam waktu dekat, menjadi nestapa terpilu bagi rakyat. Bagaimana tidak, hal tersebut nantinya akan kembali kepada rakyat yang akan menanggungnya.
Ditengah pandemi seperti sekarang rakyat masih dibuat bingung dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Utang luar negeri yang terus membengkak, bahkan menggunung makin menambah derita rakyat. Dilansir dari Kompas.com (15/5/2020) “Bank Indonesia melaporkan posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal I 2020 sebesar 389,3 milliar dollar AS atau setara Rp 5.796 triliun”. Semua ini bukan tanpa risiko, sebab makin besarnya utang luar negeri maka pembayaran utangnya baik pokok dan bunganya makin tinggi pula. Risiko terbesarnya adalah gagal bayar utang. Aset negara bisa diambil kapanpun sebagai jaminan. Maka negara bisa saja akan kehilangan asetnya. Alih-alih untuk pemulihan keuangan nasional, yang ada malah makin menyengsarakan rakyat, lagi-lagi rakyat didzolimi dan menjadi korban sementara para kapitalis diselamatkan. Nampak jelas watak rakus rezim saat ini kembali menunjukkan karakter aslinya.
//Kesejahteraan Hidup Dengan Islam//
Dari sejumlah fakta di atas menunjukkan bahwa kesejahteraan rakyat di negeri ini baru sebatas harapan dan hayalan belaka. Rakyat masih mengalami kesengsaraan yang tiada hentinya, terlilit dengan utang yang dampaknya siapapun bisa merasakannya. Padahal utang laksana kanker yang dapat menggerogoti daya tahan suatu negara. Apatah lagi utang tersebut disertai riba, yang dalam Al-Qur’an menggambarkannya seperti orang mabuk yang sempoyongan akibat jeratan riba tersebut. Selain membangkrutkan negeri, utang yang disertai bunga alias riba adalah haram. Perekonomian yang dibangun di atas pondasi riba tidak akan pernah stabil.
Dalam sistem islam pendapatan atau sumber pemasukan tetap Baitul Mal berupa pajak (dharibah) merupakan sumber pendapatan terakhir apabila pendapatan tetap lain berupa ghanimah, kharaj, jizyah, fa’i, shadaqah atau harta-harta lain tidak mencukupi kebutuhan Kaum Muslimin. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa, kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api. Yang berarti bahwa padang rumput adalah kekayaan alam di atasnya sedangkan air dan api yang merupakan sumber daya mineral/minyak bumi harus dikuasai oleh negara untuk kemakmuran umat manusia. Maka pengelolaannya 100 persen oleh negara, bukan diberikan kepada asing. Jika sumber-sumber pendapatan tersebut tidaklah cukup, maka negara mewajibkan pajak (dharibah) atas seluruh kaum muslim untuk melaksanakan tuntutan pelayanan umat. Hanya saja, pajak (dharibah) tidak diberlukakan secara umum. Namun, hanya dibebankan kepada orang kaya saja yang sifatnya sementara. Tidak dilakukan terus-menerus seperti sekarang. Pembebanan pajak ini dilakukan pada saat Baitul Mal kosong. Inilah gambaran sistem ekonomi islam. Sistem ini merupakan sistem yang adil yang membawa kepada rahmatan lil ‘aalamin. Dan semua itu bisa terwujud ketika islam telah diterapkan secara menyeluruh pada setiap lini kehidupan melalui institusi sebuah negara khilafah islamiyah. Wallahu a’lam bishowaab.
Tags
Opini