oleh : Eva Sanjaya (Komunitas Tinta Pelopor)
Wabah virus covid-19 yang telah menyebar di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia belum diketahui kapan berakhirnya. Kondisi ini telah berdampak dalam segala bidang, terutama bidang perekonomian yang menjadi urat nadi kehidupan manusia makin merosot tajam dengan alasan tersebut pemerintah mengeluarkan Perppu baru. Dalam rapat paripurna pada hari selasa 15 Mei 2020, DPR RI telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 tahun 2020 menjadi undang-undang (UU) yang berisi tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan covid-19.
Dalam keputusan tersebut, DPR telah menyetujui pemerintah melebarkan defisit APBN 2020 menjadi 5,07% terhadap PDB. Pemerintah juga harus mencari pembiayaan sekitar Rp 852 triliun untuk menutupi defisit anggaran. Untuk memenuhi itu, pemerintah rencananya akan menerbitkan utang baru sekitar Rp 990,1 triliun. Berdasarkan draf kajian Kementerian Keuangan mengenai program pemulihan ekonomi nasional yang diperoleh detik.com, pemerintah hingga saat ini sudah menerbitkan surat utang negara (SUN) senilai Rp 420,8 triliun hingga 20 Mei 2020. Nantinya, total utang senilai Rp 990,1 triliun ini akan dengan penerbitan SUN secara keseluruhan baik melalui lelang, ritel, maupun private placement, dalam dan atau luar negeri.
Sejak sebelum pandemi Covid-19, ekonomi Indonesia sudah dipastikan sedang lesu. Namun pandemi membuat defisit makin lebar karena penerimaan negara anjlok, sementara kebutuhan anggaran melonjak. Defisit anggaran merupakan problem universal. Untuk mengatasi defisit anggaran, caranya adalah dengan meningkatkan pajak, berutang dan kadang dengan mencetak mata uang. Masing-masing pilihan tersebut berisiko besar terhadap APBN. Dari penerimaan pajak hingga April 2020 baru 30% dari target. Realisasinya hingga saat ini baru mencapai Rp 376,7 triliun. Meski penerimaan pajak secara umum tampak lesu, nyatanya penerimaan cukai hasil tembakau mengalami kenaikan signifikan hingga 26% dari Rp 34 triliun di April 2019 menjadi Rp 43 triliun di April 2020 (finance.detik.com, 20/5/2020).
Dan Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang pemerintah menembus angka Rp 5.172,48 triliun per akhir April 2020 yang terdiri dari surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 4.338,44 triliun dan pinjaman sebesar Rp 834,04 triliun (finance.detik.com, 20/5/2020).
Menurut ahli ekonomi Kwik Kian Gi, utang negara sekarang sudah mencapai jumlah yang sangat besar, keadaan negara sangatlah berbahaya, Kwik menilai bahwa ini akibat dari negara yang dipaksa melakukan liberalisasi sejauh mungkin. Ia mengatakan rakyat Indonesia akan menjadi korban, rakyat akan semakin dipersulit dengan pajak dan sebagainya.
Senada dengan hal itu, Mantan Wapres Boediono juga menyatakan dalam Seminar Nasional Tantangan Pengelolaan APBN dari Masa ke Masa di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11/2016). “Amati terus utang karena utang adalah sumber penyakit.” ujarnya.
Hal ini wajar terjadi dalam sistem kapitalisme, karena utang sebagai elemen terpenting dalam cengkeraman hegemoni dan jajahannya. Jeratan hutang membuat pemerintah tidak bisa berkutik dengn kepentingan pemilik modal. Menghalalkan segala cara demi “maunya si tuan”. Rakyat hanya bisa gigit jari melihat kekayaan alam negeri ini justru berpindah ke pihak asing. Kapitalisme telah nyata menjebak ke dalam jalan buntu. Gali lubang, tutup lubang. Perekonomian yang dibangun di atas pondasi salah dan keliru menyebabkan kondisi tidak akan pernah stabil, akan terus goyah bahkan terjatuh dalam krisis secara berulang. Akibatnya, kesejahteraan dan kemakmuran yang merata untuk rakyat serta kehidupan yang tenteram akan terus jauh dari capaian. Sudah saatnya kita mencari solusi terbaik dari problematikan kehidupan negara ini.
Beda halnya dalam Islam, Islam hadir sebagai agama yang diturunkan oleh Sang Pencipta/Al Khaliq yaitu Allah swt memiliki seperangkat aturan yang sempurna dan paripurna. Ia tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka melainkan sebagai sistem kehidupan yang sesuai fitrah manusia, memuaskan akal, menentramkan hati dan mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan. Sistem Islam memiliki perbedaan diametral dengan sistem kaptalisme yang diterapkan dunia saat ini. Kepemimpinan memiliki dua fungsi utama, sebagai raa’in dan junnah bagi umat. Kedua fungsi ini dijalankan oleh para Khalifah sehingga tidak heran telah terbukti secara nyata dalam menyejahterakan rakyatnya sampai 14 abad lamanya masa kegemilangan Islam.
Adapun ketika muncul persoalan, maka Islam lah solusinya. Tak terkecuali pun di dalam mengurusi bidang ekonomi. Jika mengalami defisit anggaran, sistem ekonomi islam telah memiliki beberapa strategi yang bisa ditempuh. Pertama, meningkatkan pendapatan, Ada 4 (empat) cara yang dapat hal ini data ditempuh dengan: (1) Mengelola harta milik negara. Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara. Semua dana yang yang diperoleh dari pengelolaan harta milik negara di atas akan dapat menambah pendapatan negara. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Tanah Khaibar, Fadak, dan Wadil Qura. Khalifah boleh juga mengelola tanah pertanian milik negara, dengan membayar buruh tani yang akan mengelola tanah pertanian tersebut. Semua dana yang yang diperoleh dari pengelolaan harta milik negara di atas akan dapat menambah pendapatan negara. Namun harus diingat, ketika negara berbisnis harus tetap menonjolkan misi utamanya melaksanakan kewajiban ri’ayatus-syu’un. Sebagaimana sabda Rasulullah saw : لإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
(2) Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya. Misalkan saja khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, misalnya pembiayaan pandemi Covid-19. Rasulullah saw. pernah menghima satu padang gembalaan di Madinah yang dinamakan An-Naqi’, khusus untuk menggembalakan kuda kaum Muslim.
(3) Menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat. Dan ke (4) Mengoptimalkan pemungutan pendapatan.
Sedangkan strategi yang kedua, Menghemat pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak. Dan yang ketiga Berhutang (Istiqradh), Khalifah secara syar’i boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-huk4um syariah. Haram hukumnya Khalifah mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat dan Cina, atau dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Alasan keharamannya karena utang tersebut pasti mengandung riba dan pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang. Demikianlah perbedaan yang jelas antara sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Dalam mengatasi defisit anggaran, kapitalisme mentok pada solusi utang. Sedangkan Islam memberi solusi yang menyelesaikan masalah. Sudah seharusnya bersegera menjadikan Islam sebagai sistem pilihan yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah swt sebagai Sang pengatur alam semesta dan kehidupan dan secara historis terbukti keberhasilannya dalam menyejahterakan rakyat. Wallahu’alam bish showab