Oleh : Ummu Adi
(Member Akademi Menulis Kreatif)
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Tanggal 5 mei 2020 lalu, presiden Jokowi Widodo (Jokowi) meneken Perpres No. 64 Tahun 2020 yang mengatur tentang jaminan kesehatan, sebagai pengganti kedua Perpres No. 82 tahun 2018. Hal ini berimbas pada iuran BPJS yang akan mengalami penyesuaian per 1 Juli 2020. Yaitu, kelas pertama Rp150.000, kelas kedua Rp100.000 dan kelas ketiga menjadi Rp 42.000. Hal ini menurut Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara, Kunta Wibawa Dasa Nugraha adalah bertujuan untuk memperbaiki struktur iuran dan meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran (cncbindonesia.com, 5/5/2020).
Keputusan ini tentunya mengundang komentar beberapa tokoh, diantaranya Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon yang menilai bahwa, masyarakat seperti terkena musibah berlipat ganda setelah Jokowi memutuskan menaikkan iuran BPJS kesehatan ditengah pandemi Corona. Fadli meminta Jokowi mencabut keputusannya (detik.com,14/5/2020).
Suryo (58) seorang pelaku usaha di Jakarta Timur mengatakan, "Pemerintah tidak peka dengan kondisi masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Ini sekarang saja saya sudah enggak keluar rumah sama sekali selama 2 bulan. Biaya sehari-hari tinggal mengandalkan tabungan, untung anak saya satu sudah kerja, walaupun ya cukup gak cukup," tutur Suryo.
Hal senada diungkapkan oleh Desy (27), salah seorang pedagang makanan yang menjadi peserta BPJS kelas II. Dia mengatakan, kenaikan iuran BPJS akan mempersulit kondisi keuangannya karena pendapatannya jauh menurun akibat pandemi Covid-19 (kompas.com, 14/5/2020).
Membuat kebijakan-kebijakan yang tidak pro kepada rakyat adalah sifat yang dibawa oleh sistem kapitalis, yaitu sebuah sistem yang lahir dari rahim sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem yang menjadikan akal sebagai satu-satunya rujukan dalam membuat seperangkat aturan dan menjadikan manfaat sebagai arah tujuan diberlakukannya aturan tersebut, meskipun berimbas pada penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Hal ini sangat berbeda dengan Islam.
Allah Swt telah menjadikan Islam sebagai agama penutup yang didalamnya terdapat petunjuk bagi manusia untuk menyelesaikan seluruh problem kehidupan. Hal ini termaktub dalam QS. al-Maidah[5]: 3, yang artinya: "Hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan aku cukupkan nikmatKu untukmu, dan Aku ridloi agama Islam sebagai agama bagimu."
Kesehatan adalah kebutuhan pokok yang menjadi hak bagi seluruh rakyat, dan pemimpin bertanggung jawab untuk memenuhinya tanpa membedakan ras, kulit, dan agama.
Rasulullah saw bersabda:
"Imam adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab dengan apa yang dipimpinnya."(HR. Bukhori)
"Imam adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab dengan apa yang dipimpinnya."(HR. Bukhori)
Tidak sepatutnya pemimpin melepaskan tanggung jawabnya dengan menyerahkan urusan kesehatan kepada individu apalagi swasta. Negara harus menyediakan pelayanan kesehatan dengan mendirikan banyak rumah sakit berkualitas dengan biaya murah ataupun gratis, seperti yang dilakukan oleh Sultan Mahmud (511-525M). Saat itu Sultan Mahmud membuat rumah sakit keliling yang dilengkapi dengan alat-alat kedokteran menyediakan tenaga medis untuk memberikan pelayanan kesehatan ke seluruh negeri.
Adapun pembiayaannya bisa diambil dari baitul mal yang memang di pos kan untuk pelayanan kesehatan. Kalaupun baitul mal terjadi kekosongan dana, maka Islam membolehkan negara berhutang kepada para aghniya dan tentunya tanpa riba.
Baitul mal merupakan institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum muslim yang berhak menerimanya.Sumber pemasukannya bisa diambil dari hasil pengelolaan sumber daya alam seperti tambang batubara, emas, perak, minyak gas dan bumi, ghanimah, jizyah, dan lainnya. Sehingga dengan keberadaan baitul mal inilah maka sebuah negara yang berbasis pada aturan-aturan Islam akan mampu memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, salah satunya adalah kesehatan.
Wallahu a'lam bishshawab
Tags
Opini