Biaya Tes Mahal, Komersialisasi Nyawa di Sistem Kapitalisme

 

Oleh : Isma Adwa Khaira Mahasiswa dan Aktivis Remaja


Pandemi Covid-19 semakin bertambah luas di Indonesia. Hal ini membuat banyak masalah baru diantara masalah negeri yang masih belum tuntas. Dilansir oleh Kompas.com bahwa salah seorang wanita hamil di Makasar harus menelan pil pahit kehilangan buah hati tercinta setelah ditolak di tiga rumah sakit karena ketidakmampuannya membayar tes swab sebesar Rp. 2,4 juta. Padahal saat itu kondisi wanita tersebut membutuhkan penanganan cepat dengan operasi.

Biaya swab test di Universitas Indonesia sebesar Rp. 1.675.000. Di Riau swab mandiri pada RSUD Arifin Achmad sebesar Rp. 1,5 juta. Sementara di Makassar yaitu pada RS Stellamaris sebesar Rp. 2,4 juta.

Bagi mereka yang memiliki ekonomi baik tentu biaya ini tidak menjadi masalah. Namun, bagi masyarakat yang terdampak Covid-19 angka tersebut jelas menjadi memberatkan keuangan mereka. Apalagi ekonomi Indonesia kian melesu dengan Pemutusan Kontrak Kerja yang kian semakin meluas. Hingga angka kemiskinan bertambah banyak. Wajar bila adanya biaya hingga jutaan sangat mencekik masyarakat.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan tingginya harga tes Corona Virus dikarenakan Pemerintah belum menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Menurut Bambang Haryo seorang Politikus Partai Gerindra, mahalnya biaya tes swab menjadi indikasi bahwa Pandemi di jadikan ajang meraup untung sebanyak-banyaknya.

Pada Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan Pandemi Covid-19 dengan salah satu isinya yaitu pembiayan penanganan Covid-19. Yang artinya, Pemerintah memiliki tanggungjawab untuk memberikan biaya tes gratis bagi masyarakatnya. Dan sayangnya, Pemerintah pada sistem Kapitalisme tidak jelas akan melepaskan tanggungjawab ini.

Sistem Kapitalisme yang di jadikan dasar dalam mengelola dan mengatur kehidupan warga negaranya hanya bertugas sebagai regulator semata. Standart kapitalisme menilai negara hanya penyedia kebutuhan masyarakatnya bukan sebagai penanggungjawab. Hal ini bisa dilihat dari abainya penguasa terhadap permasalahan mahalnya tes corona.

Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ

“Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslim, lalu dia tidak memedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan memedulikan kebutuhan dan kepentingannya (pada Hari Kiamat).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).


“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Dimana seorang penguasa dalam sistem Islam adalah pengurus yang terpercaya dengan kebaikan tugas dan apa saja yang di bawah pengawasannya. Menjadi Junnah/pelindung yang kuat sehingga bisa melindungi rakyat dari kesengsaraan hidup dengan menggratiskan tes apalagi saat wabah.

Memenuhi seluruh kebutuhan hidup masyarakat tanpa terkecuali. Dimana negara sebagai ri’ayatusy syu’unil ummah (mengurusi urusan umat) tidak akan lalai terhadap apa yang menjadi urusannya. Karena pemimpin dalam sistem Islam terikat hukum Syara' dengan ketaqwaanya disisi Allah.

Pemeliharaan urusan rakyat dalam bentuk mencegah segala bentuk keburukan dan kemudaratan agar tidak menimpa rakyat apalagi ditengah wabah. Memberikan hak kepada mereka yang berhak termasuk dalam logistik bagi yang terdampak wabah. Mengusahakan pengobatan terbaik bagi rakyatnya tanpa membebani rakyat dengan biaya. 

Sungguh, hanya Islam lah yang mampu memberikan kesejahteraan hidup apalagi dimasa pandemi. Karena Pemerintahan dalam Islam bukan hanya sebagai regulator namun sebagai pengurus urusan umat yang terpercaya. Dan hal ini hanya akan didapati dalam Islam. Bukan yang lain.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak