Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Sebuah judul besar muncul dilaman pencarian berita Gogle, "Ortu Siswa Mengeluh Boros Kuota, Kemendikbud Punya Solusi 'Keluar Jaringan'. Dan memang sudah hampir empat bulan proses belajar mengajar dilakukan di rumah alias Learning from Home( LFH) . Dan selama itu pula seluruh pembiayaan terkait data atau pulsa murni para orangtua yang mengampu.
Dilansir detikcom, Kamis, 18 Jun 2020 , sejumlah orang tua murid mengeluhkan boros kuota saat anaknya belajar di rumah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pun menyarankan agar siswa bisa belajar di luar jaringan.
Ada sederet keluhan yang dirasakan orang tua saat anaknya belajar di rumah saat Corona masih mewabah. Keluhan yang pertama adalah soal peralatan. 'Sekolah online' berarti butuh gadget yang menunjang, kuota, hingga sinyal yang baik. Terkadang, hal itu menjadi kendala. "Yang paling ganggu itu soal sinyal ya. Kadang gini ketika mereka lagi belajar sama gurunya, tiba-tiba sinyalnya hilang. Nah kan jadi nggak kedengaran jelas apa yang disampaikan guru," kata salah satu orang tua bernama Basaria Siahaan.
Bak lingkaran setan yang tak berujung. Satu sisi masyarakat ingin segera terlepas dari keadaan yang menghimpit ini, namun disisi lain pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang tak efektif, malah boleh dibilang memberi masalah diatas masalah. Beban hidup beratnya tak pernah beralih dari pundak rakyat.
Dengan tingginya biaya hidup dan mahalnya kebutuhan pokok rakyat, membuat kenormalan hidup baru ala pemerintah menjadi sesuatu yang nisbi. Pemerintah setengah hati menangani setiap persoalan. Tak ada upaya yang signifikan guna keluar dari persoalan ini, bahkan terkesan menyudutkan rakyat dengan menuduh rakyat tak menjalankan disiplin. Sehingga kurva penyebaran Cobid-19 yang seharusnya sudah melandai justru menuju second wave yang entah seperti apa dampaknya.
Secara logika, jika PSBB diadakan maka negara hadir mencukupi semua kebutuhan pokok rakyat. Sehingga rakyat bisa tenang dirumah. Namun faktanya, tak sepeserpun dana keluar dari kantong negara, jika itu BLT, Bansos atau kartu Pra Kerja, adakah itu berpengaruh dengan kesejahteraan atau peningkatan taraf hidup rakyat? Tak ada! Kecuali meninggalkan sederet persoalan mulai dari data yang tak up to date, korupsi,atau jadi fasilitas kampanye grtais sejumlah kepala daerah.
Maka, apa yang harus dilakukan agar kebutuhan perut tercukupi? Begitu pula agar kebutuhan pulsa terpenuhi, tidak lain adalah dengan keluar rumah dan bekerja sembari menanggung resiko bak super Hero terpapar virus Covid-19. Negara seyogyanya, mengeluarkan kebijakan sekaligus dengan teknis dan pembiayaannya. Dan sekaligus mewajibkan untuk kembali kepada amanat UUD 1945 dalam pasal 31 Ayat 1, 2, 3, 4, 5 berisikan: Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Rasanya sulit jika itu berharap pada sistem yang diadopsi negara Indonesia hari ini. Sifat dan karakter kapitalisme tak memberi ruang bagi pemerintah untuk turun tangan langsung membiayai kebutuhan rakyat yang menjadi kewajibannya, melainkan harus membuka pintu selebar mungkin untuk investasi. Koorporasi lah kelak yang membiayai seluruh pemenuhan kebutuhan pokok rakyat termasuk pendidikan.
Hubungan negara dengan rakyat yang semestinya adalah periayaan ( pengurusan) dengan mengambil Kapitalisme sebagai landasan pengaturan akhirnya berubah menjadi bisnis. Bicara dengan pemerintah adalah bicara untung rugi. Rakyat dianggap benalu bila terlalu rewel meminta ini itu, sementara pengusaha adalah anak emas yang harus dipelihara oleh negara.
Islam adalah sistem terbaik sepanjang masa, sejarah tak mungkin terhapus begitu saja sekalipun telah banyak upaya dari kaum kafir menghapusnya. Namun tak terelakkan , munculnya para ilmuwan muslim, sumber data yang berlimpah yang melandasi penemuan-penemuan ilmuwan barat ratusan tahun berikutnya , bangunan universitas, perpustakaan yang hingga kini masih bisa dilihat adalah bukti betapa konsennya khilafah mengurusi pendidikan. Semua diberikan gratis karena pendanaan yang kokoh dari Baitulmal. Jika sejarah itu berupa wahyu yang dijanjikan tegak kembali mengapa kaum Muslim masih harus mencari yang lain? Wallahu a'lam bish showwab.