Oleh: Tia Damayanti, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial Politik)
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial Politik)
Masih dalam suasana New Normal. Dengan narasi yang membingungkan, pemerintah membuat kejutan baru, yakni ditandatanganinya PP Tapera pada 20 Mei 2020. Penandatanganan oleh Presiden Jokowi ini menjadikan Tapera memiliki landasan hukum yang pasti bagi pelaksanaannya. PP Tapera ini merupakan penegasan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Poin pentingnya adalah mengenai besarnya iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera.
Ada banyak pertanyaan seputar PP Tapera. Tentu pertanyaan pertama adalah mengapa baru sekarang ditandatangani PP-nya? Padahal Undang-Undangnya sudah ada sejak 2016. Mengapa penandatanganan ini berlangsung dalam suasana New Normal Covid-19 yang narasi dan juntrungnya masih sangat tidak jelas? Kemudian muncul tudingan miring, sinis dan ekstrem, bahwa jangan-jangan PP ini memiliki maksud dan tujuan tersembunyi. Yakni pemerintah kembali menghimpun dana dari masyarakat di tengah menipisnya _current flow_ cadangan devisa negara. Sinyalemen ini diperkuat dengan gonjang-ganjing isu pengalihan penggunaan dana haji yang tertunda akibat Covid-19.
Hal kedua yang merupakan titik krusial dan kritis dari PP Tapera adalah tudingan bahwa kepemilikan rumah dengan cara demikian sangat tidak _worth it_ bagi pekerja. Bukan hanya soal besaran potongannya, melainkan manfaat dan prosedur pencairannya. Tentu hal ini secara psikologis akan memancing antipati para pekerja. Bukankah sektor usaha dan roda perekonomian baru akan mulai menggelinding setelah dihantam Covid-19? Lalu mengapa pemerintah masih menambah beban kewajiban iuran? Sikap antipati tersebut bisa mendorong pemikiran sinis. Yakni jangan-jangan Tapera yang tadinya dimaksudkan sebagai Tabungan Perumahan Rakyat, malahan menjadi Tabungan Penderitaan Rakyat.
Di tanggal yang sama, CNN Indonesia menurunkan data kementrian PUPR. Bahwa kesenjangan kepemilikan rumah masih pada kisaran 7,6 juta unit di tahun 2019. Pemerintah menargetkan angka tersebut akan terpangkas menjadi 5 juta unit tahun 2020 dan bahkan 2,6 juta unit di tahun 2024. Ditilik dari mekanisme potongan besaran iuran dan kebutuhan rumah, nampaknya Tapera ini memang masuk akal dan baik-baik saja. Betulkah demikian? Persoalannya adalah ada beberapa hal yang mesti dicermati. Bukan sekadar masalah manfaat, melainkan juga resiko, psikologi beban ekonomi dan tentu saja hambatan yang dikhawatirkan muncul dalam mekanisme pelaksanaan Tapera.
Seandainya ada seorang pekerja pabrik krupuk. Dia ingin memiliki rumah sangat sederhana sedikit semen sempit sekali. Harganya taruh lah 200 juta. Berapa yang bisa dicover Tapera? Dengan situasi ekonomi yang tersendat perputarannya, sudah bagus jika bank mau menerima 25% nya dari Tapera. Akibatnya, si pekerja pabrik krupuk ini akan dibebani dua cicilan. Cicilan untuk Tapera, dan cicilan sisa harga rumahnya. Lalu apa gunanya Tapera jika skenarionya seperti itu? Bukankah lebih bermanfaat jika pemerintah menerbitkan regulasi perbankan bagi kredit pemilikan rumah sangat sederhana sedikit semen sempit sekali (RSSSSSS).
Berikutnya adalah tentang _overlapping_. Jika anda anggota TNI atau Polri, ASABRI sudah memfasilitasi kredit pemilikan rumah. Lalu kenapa harus dipotong iuran Tapera? BPJS Tenaga Kerja yang sekarang menjadi BPJAMSOSTEK juga menawarkan program kepemilikan rumah. Ini adalah sebuah overlapping, tumpang tindih potongan iuran. Tak ada celah manfaat Tapera. Sungguh membingungkan. Sebetulnya apa yang ada di benak pemerintah?
Yang tak kalah pentingnya adalah regulasi Tapera itu sendiri. Bagi ASN yang mengikuti Bapertarum tentu sudah faham. Uang yang sudah disetor tidak bisa ditarik dengan leluasa. Harus mengendap dalam jangka waktu lama, bahkan sangat lama. Untuk ASN ok lah, dana Tapera bisa cair bersamaan dengan masa pensiun. Tapi bagaimana dengan pekerja pabrik krupuk yang misalnya ia terkena PHK? Bagaimana nasib uang yang sudah disetor? Pemerintah wajib menjelaskan secara detail dan rinci tentang hal ini.
Ditambah lagi persoalan psikologis kecurigaan masyarakat. Potongannya memang hanya 3%. Tapi itu berlaku bagi semua pekerja di seluruh Indonesia. Sebuah dana yang mega kuantitas, tentunya. Dan dana mega kuantitas tersebut mengendap dalam waktu yang sangat lama. Bagaimana pengelolaannya? Bagaimana akuntabilitas publiknya? Jangan-jangan seperti skandal Jiwasraya. Naudzubillahi min dzalik.
Mencermati serangkaian fakta di atas, wajar hal ini terjadi dalam era sistem kapitalis-sekuler saat ini. Karena hubungan penguasa dengan rakyatnya tak ubahnya seperti penjual dan pembeli. Mereka (baca : penguasa) tak peduli dengan kondisi rakyatnya yang tengah bertaruh nyawa akibat pandemi dan dengan seenaknya memeras rakyat dengan dalih untuk tabungan perumahan atau demi kesejahteraan. Setiap kebijakan yang hendak diambil pun sering kali memperhitungkan untung dan rugi. Tentu penguasa yang dibuat untung dan rakyat yang selalu dirugikan.
Analisis mereka begitu tajam jika menyangkut pendapatan dan devisa, tetapi pelit ketika harus menanggung biaya rakyat. Tak heran jika kebijakan yang diambil justru memunculkan masalah baru, akibat salah mengambil kebijakan yang tentunya semakin menambah penderitaan rakyat.
Kebijakan dalam sistem kapitalis ini, sangat berbeda dengan kebijakan dalam sistem Islam. Karena penguasa/pemimpin dalam Islam memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi kebutuhan umat. Rasulullah saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).
Dalam hadis tersebut jelas bahwa para Khalifah, sebagai para pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak.
Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya. Rasulullah saw. memerintahkan mereka untuk memberi nasehat kepada setiap orang yang dipimpinnya dan memberi peringatan untuk tidak berkhianat. Imam Suyuthi mengatakan lafaz raa‘in (pemimpin) adalah setiap orang yang mengurusi kepemimpinannya. Lebih lanjut ia mengatakan, “Setiap kamu adalah pemimpin”. Artinya, penjaga yang terpercaya dengan kebaikan tugas dan apa saja yang di bawah pengawasannya. (serambinews.com, 07/07/2017)
Khalifah inilah yang akan menerapkan politik ekonomi Islam untuk menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) seperti perumahan, bagi setiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.
Politik ekonomi Islam ini lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara individual, bukan secara kolektif. Karena itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sebuah negara semata, tetapi juga menjamin setiap orang/individu untuk menikmati peningkatan taraf hidup tersebut.
Dalam perspektif Islam, rumah termasuk kebutuhan primer bagi setiap orang selain sandang dan makanan. Kebutuhan primer tersebut menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah saw. sebagai kepala negara hingga para khalifahnya telah menetapkan dan menjalankan kebijakan ini. Dan hal ini melalui mekanisme sebagai berikut:
Pertama, Islam mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok bagi dirinya dan bagi orang yang wajib dia nafkahi. Firman Allah Swt.:
“Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya.” (QS. al-Mulk [67]: 15)
Peran negara dalam hal ini yaitu memfasilitasi rakyat berupa lapangan kerja yang mencukupi atau memberikan bantuan lahan, peralatan dan modal.
Kedua, Islam juga mewajibkan menanggung nafkah atas para ayah, dan atas ahli waris jika ayah tidak mampu bekerja. Allah Swt. berfirman :
“... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. ...” (QS. al-Baqarah [2]: 233).
Sedangkan Rasulullah saw. bersabda: “Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu, dan saudara perempuanmu; kemudian kerabatmu yang jauh." (HR. Nasa'i)
Ketiga, Islam juga mewajibkan menanggung nafkah atas Baitul Mal, jika tidak ada orang yang wajib menanggung nafkah mereka. Rasulullah saw. bersabda :
“Seorang imam (khalifah) bagaikan penggembala dan ia bertanggungjawab atas gembalaannya (rakyatnya).”
Dengan menggunakan harta milik negara, maka khalifah bisa menjual, menyewakan, membeli atau menghibahkan rumah bagi orang yang membutuhkan. Sehingga tidak ada lagi rakyat yang terlantar, tidak memiliki rumah atau bahkan menjadi gelandangan. Sejahtera yang diidamkan akan terwujud.
Khalifah pun akan mengelola keuangan sesuai dengan pandangan Islam. Ketika negara tidak mempunyai dana, ia tidak akan membebani rakyat dengan beban sekecil apa pun. Ia akan memaksimalkan pengelolaan SDA yang dimiliki. Ditambah pengelolaan harta ghanimah, fai, jizyah, dan kharaj. Tidak hanya mengandalkan pajak dan pungutan lain.
Demikianlah gambaran singkat bagaimana Islam menyelesaikan masalah perumahan dengan tuntas. Sudah saatnya aturan ini dijadikan pedoman para penguasa, sehingga Tabungan Perumahan Rakyat tak menjadi Tabungan Penderitaan Rakyat. Dengan mengikuti aturan Islam, insya Allah akan menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Wallahua'lam bishshawwab.
Tags
Opini