Oleh: Irohima
Kenaikan iuran BPJS di tengah wabah Corona saat ini tak hanya melukai rakyat namun juga mempertegas bahwa pemerintahan saat ini tak cukup adil pada rakyat. ditengah sulitnya ekonomi, jumlah pengangguran yang makin meningkat, serta gelombang PHK besar besaran, menaikkan iuran BPJS adalah kebijakan yang sangat tidak bijaksana.
Perpres 64 tahun 2020 yang memutuskan bahwa iuran BPJS kesehatan kelas II dan kelas I naik 100% membuat banyak pihak terkejut Karena kebijakan tersebut terjadi beberapa hari usai Komite III DPD RI yang membidangi kesehatan menggelar rapat dengan Direktur BPJS.
Kebijakan ini melanggar putusan MA yang telah membatalkan Peraturan Presiden 75/2019 tentang jaminan kesehatan yang mengatur kenaikan iuran BPJS kesehatan pada Januari 2020.
Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam pasal 34 dengan rincian :
-Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp.150.000 dari saat ini Rp.80.000
-Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp.100.000,dari saat ini sbesar Rp.51.000
-Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp.25.500 menjadi Rp.42.000
Pemerintah memberi subsidi Rp.16.500 hingga yang dibayarkan tetap Rp.25.500.Meskipun begitu pada 2021 mendatang subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp.7000, hingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp.35.000.
Meski disesalkan banyak pihak namun pemerintah mengklaim bahwa diterbitkannya perpres baru untuk lebih memberikan perlindungan kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani dalam media briefing online, kamis(14/5/2020) mengatakan bahwa ini bukanlah, jangka pendek melainkan jangka panjang supaya ada kesinambungan dan kepastian.
Naiknya iuran BPJS menambah luka masyarakat, ditengah kacaunya kondisi perekonomian serta wabah virus Corona yang hingga saat ini masih belum teratasi, kebijakan ini menambah daftar panjang penderitaan rakyat. Fasilitas kesehatan yang merupakan hak setiap warga negara dan dipermudah dalam mendapatkannya kini semakin sulit dijangkau terutama oleh rakyat yang bependapatan minim. Tidak hanya itu kesulitan menjangkau biaya yang dibebankan pada peserta kelas I dan II juga menyebabkan banyak yang memutuskan turun kelas.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa BPJS telah lama mengalami defisit keuangan, hingga tak heran banyak yang berasumsi kenaikan iuran ini semata mata untuk menutupi defisit yang telah lama membelit tubuh BPJS. Dalam rapat gabungan DPR pada 18 Februari 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa BPJS kesehatan masih mengalami defisit Rp.15,5 trilyun meski telah menerima suntikan modal dari negara sebesar Rp.13,5 trilyun.Angka ini lebih kecil dari proyeksi defisit tahun 2019 sebesar Rp.32,8 trilyun.
BPJS kesehatan telah mengalami defisit sejak 2014 hingga sekarang. Mengutip data Litbang Kompas, defisit pada tahun 2014 tercatat sebesar Rp.1,94 trilyun,tahun 2015 Rp.4.42 trilyun. Tahun 2016 defisit sempat turun menjadi 150 milyar, sebelum membengkak menjadi Rp.10.19 trilyun, tahun 2018 kembali defisit 12,33 trilyun.
Banyak yang menilai kebijakan menaikkan iuran bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan. Indonesian Corruption Watch meragukan naiknya iuran BPJS kesehatan bisa menyelesaikan masalah defisit keuangan kronis lembaga tersebut. Mereka juga menilai kenaikan iuran ini tak seharusnya dilakukan ditengah pandemi dengan membebani masyarakat. Peneliti Kebijakan Sosial Perkumpulan Prakarsa Eka Afrina Djamhari berpendapat bahwa kenaikan iuran tak akan membuat keuangan lembaga itu langsung positif,karena banyak yang memutuskan untuk turun kelas agar mendapat harga lebih murah.
Kenaikan iuran ini tetaplah bentuk tidak pedulian negara terhadap rakyat. Saat ini dampak dari wabah Covid-19 semakin hari semakin terasa, tak hanya berdampak pada perekonomian saja namun masalah sosial lainnya ikut bergejolak, apalagi ditengah rakyat sedang menjalani ibadah puasa. Salah satu masalah yang hingga kini belum bisa teratasi adalah masalah kesehatan dan segala fasilitasnya yang belum bisa memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat. Telah banyak keluhan masyarakat maupun tenaga medis akan kurangnya sarana dan prasarana kesehatan untuk menanggulangi virus Covid-19 ini.
Belum lagi masalah yang terkait dengan yang non Covid. Berbagai kebijakan yang diterapkan semisal social distancing, PSBB, karantina mandiri, work from home ataupun learning from home sangat tidak efektif dan cenderung menimbulkan masalah baru. Terbukti dengan banyaknya pelanggaran yang terjadi baik dilakukan masyarakat atau oknum pejabat itu sendiri. Banyaknya warga luar negeri yang membanjiri Indonesia juga menjadi bukti bahwa pemerintah tak serius menangani kasus ini, Kepedulian mereka hanya terkait masalah ekonomi bukan pandemi.
Seperti kita ketahui BPJS adalah sebuah lembaga penyelenggara Jaminan sosial yang mencakup ketenagakerjaan dan kesehatan, Lembaga ini bertugas memberikan pelayanan bagi masyarakat, namun dalam operasionalnya banyak masalah yang menerpa lembaga ini.Salah satunya defisit. Dan untuk mengatasi defisit yang terus naik tiap tahun, menaikkan iuran adalah salah satu solusi yang dianggap paling cepat. Namun kebijakan ini menambah beban rakyat yang sebelumnya sudah terpuruk sebelum dan setelah adanya pandemi. Dengan menaikkan iuran negara makin memaksimalkan usaha untuk mengumpulkan pundi pundi rupiah dengan asas gotong royong. Dengan kata lain pemerintah menggunakan BPJS kesehatan untuk akumulasi kapital dan tentu saja untuk meraup keuntungan.
BPJS dalam prakteknya, mengkondisikan bahkan bersifat memaksa setiap warga negara untuk menjadi peserta BPJS. Jika ada yang menolak maka dipastikan warga akan membayar mahal ketika akan mengakses pelayanan kesehatan. Tidak hanya itu,BPJS juga memaksa warga yang bukan penerima bantuan iuran (PBI) agar tetap patuh membayar setiap kali dikenakan kenaikan premi iuran. Bisa dibayangkan tingkat kesulitan masyarakat dalam mengelola pendapatan perbulan untuk kebutuhan hidup disamping membayar iuran.
Mungkin tidak terlalu rumit bagi kalangan tingkat atas. Tapi bagaimana dengan kalangan menengah kebawah bahkan miskin sama sekali. Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia masih jauh untuk dibilang merata, bahkan tingkat kemiskinan justru persentasenya makin meningkat. Terlebih di masa pandemi ini, semua serba sulit, bukan tak mungkin situasi kedepannya akan lebih buruk. BPJS kini tak lebih dari lembaga yang hanya mengambil keuntungan ketimbang melayani masyarakat.
Dalam Islam, kesehatan adalah salah satu hak dasar publik yang harus dipenuhi oleh negara bukan malah di komersialisasi. Maka haram bagi pemerintah memiliki program yang bertujuan komersil ataupun menjadi regulator dan fasilitator yang memuluskan agenda hegemoni dan bisnis korporasi apapun alasannya.
Islam mempunyai prinsip pembiayaan kesehatan rakyat berbasis baitul mal. Sumber sumber pemasukan dan pengeluaran baitul mal sepenuhnya berlandaskan ketentuan syara agar negara mempunyai finansial yang cukup untuk operasional berbagai fungsi vital negara.
Salah satu sumber pemasukan yaitu harta milik umum berupa sumber daya alam dan energi yang sangat melimpah. Jika saja Indonesia mengelola sendiri SDA nya tentu akan bisa menopang finansial negara, namun sayang sistem ekonomi kapitalisme yang dianut negeri ini membuat penjajah, kaum kafir dan kapitalis menguasai sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik umat dan keuntungannya harus kembali ke umat.
Pembiayaan kesehatan berbasis baitul mal bersifat mutlak, disini maksudnya ada atau tidak ada kekayaan negara, pelayanan kesehatan adalah sesuatu yang wajib dilakukan negara. Bila seandainya baitul mal tidak mencukupi maka negara akan memungut pajak temporer dari orang orang kaya saja sejumlah kebutuhan anggaran mutlak, tidak lebih. Namun perlu dicatat penarikan pajak ini hanya dilakukan pada saat darurat saja.
Konsep pelayanan kesehatan Islam telah terbukti menjadi konsep terbaik selama puluhan abad dan terbaik sepanjang masa.
Sejarah telah mencatat bagaimana sejarahwan Amerika Will Durrant menyatakan kekaguman lewat tulisannya ....,Rumah sakit Al Manshuri (683 H/1284 M) Kairo,.”...Pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka; dan sejumlah uang diberikan pada pasien yang sudah bisa pulang agar tidak perlu segera bekerja...”{ W.Durant : The Age of Faith; op cit; pp 330-1}
Masya Allah, sejarah telah membuktikan bagaimana penerapan Islam dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam pelayanan kesehatan benar benar meraih puncak kemanusiaan, kesejahteraan dan kejayaan yang gemilang. Semua fasilitas umum dan pelayanan publik dapat diakses dengan mudah, kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja.
Saatnya kita kembali pada konsep Islam
Kehadian sistem Islam adalah kebutuhan yang mendesak saat ini. Islam satu satunya penawar bagi sakit kita yang sudah berkepanjangan, sakit akibat persoalan yang ditimbulkan oleh sistem sekularisme, kapitalisme dan neoliberalisme yang sudah mengakar dalam jiwa bangsa ini.
Wallahualam bisshawab