Tidak terasa kita telah memasuki 10 hari yang ke-2 dari bulan yang mulia ini, yaitu Bulan Ramadhan. Artinya kita telah melewati hari-hari Rahmat Allah yang turun secara melimpah dan memasuki hari-hari dimana ampunan Allah terhampar luas. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
"Awal bulan Ramadan adalah Rahmat, pertengahannya Maghfirah, dan akhirnya 'Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka)."
Meskipun ramadhan kita tahun ini berbeda, karena kita melaksanakan bulan yang dirindukan ini ditengah wabah covid-19. Semoga kita masih tetap mendapatkan keberkahan dari bulan ini. Meskipun pasti ada rasa was-was dalam diri kita, karena memang sejak ditemukan kasus pertama 2 Maret 2020, kasus ini masih terus meningkat. Hingga Senin (4/5) kasus positif mencapai 11.587 orang, pasien meninggal sebanyak 864 orang.
Dalam ramadhan terkandung peluang emas untuk bertaubat kepada Allah ta’ala. Siapapun yang bersungguh-sungguh berpuasa di bulan ini, maka Allah akan mengampuni segenap dosanya sehingga dia diibaratkan seperti bayi yang baru dilahirkan ibunya, yaitu suci, murni tanpa dosa.
Rasululah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan di mana Allah ta’ala wajibkan berpuasa dan aku sunnahkan kaum muslimin menegakkan (sholat malam). Barangsiapa berpuasa dengan iman dan mengharap ke-Ridhaan Allah ta’ala, maka dosanya keluar seperti hari ibunya melahirkannya.” (HR Ahmad 1596)
Kita tentu berharap taubat kita tidaklah sia-sia. Maka patutlah kita mengingat syarat taubat diterima, diantaranya adalah ikhlas karena Allah, berhenti dari dosa, menyesal yaitu bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tepatlah kiranya langkah pertama kita dalam taubat ini diawali dengan perenungan kesalahan apa yang telah kita lakukan. Terlebih ada yang menyebut wabah yang sedang menimpa kita adalah peringatan dari Allah ta’ala.
Coba kita tengok permasalahan negeri ini. Mulai dari kondisi generasi muda kita sampai sikap pejabat negaranya, tidakkah menunjukkan kerusakan yang nyata? Masih lekat dalam ingatan kita kasus pembunuhan oleh seorang gadis remaja 15 tahun yang tega membunuh anak perempuan 6 tahun di Sawah Besar, Jakarta Pusat. Yang lebih mengagetkan sang pembunuh melakukannya dengan sadar dan tanpa ada penyesalan. Tidakkah ini salah satu permasalahan besar negeri ini?
Demikian juga dengan sikap para pejabat negeri ini. Misal dalam mengatasi wabah covid-19 yang sedang menimpa negeri ini. Mereka tidak mengambil kebijakan lockdown tetapi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) karena pertimbangan faktor ekonomi. Sementara pelaku ekonomi tetap terpuruk dengan anjuran tetap di rumah saja. Mereka juga melarang warganya untuk mudik lebaran tetapi membolehkan 500 TKA Cina masuk juga dengan pertimbangan ekonomi. Bahkan salah satu pejabat negara merasa keheranan angka kematian kasus covid-19 per 14/4/2020 kurang dari 500. Apakah demikian seharusnya sikap para pejabat negara?Lebih mementingkan kepentingan ekonomi dibanding keselamatan rakyatnya. Tidakkah kondisi yang demikian sangat memprihatinkan?
Seorang pemimpin dalam islam tidaklah demikian. Dia akan bersungguh-sungguh dalam menjalankan perannya. Pun tidak akan meremehkan nyawa meski hanya 1 nyawa. Resiko ekonomi haruslah menjadi tanggung jawab negara dengan memberikan jaminan penuh baik di masa pandemi maupun tidak. Karena pemimpin dalam Islam menyadari bahwa ia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, sebagaimana hadist Rasulullah:
Dari Ibnu Umar RA sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal tanggungjawabnya. Seorang pembantu rumah tangga adalah bertugas memelihara barang milik majikannya dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya (HR. Muslim).
Dalam masa kepemimpinannya sebagai khalifah, Umar bin Khattab pernah berkata: “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Bagdad dikarenakan jalanan rusak, aku sangat khawa¬tir, sebab aku pasti akan ditanya oleh Allah swt : mengapa engkau tidak mera¬takan jalan untuknya”?Begitu khawa¬tirnya beliau jika ada rakyatnya yang tidak mendapatkan haknya, bahkan binatang sekalipun tidak boleh tersakiti.
Demikianlah gambaran pemimpin dan pejabat dalam islam. Jadi memang selayaknya kita melakukan taubatan nasuha. Agar teraih apa yang menjadi tujuan tertinggi puasa, yaitu menjadi manusia bertaqwa. Sebagaimana yang diperintahkan Allah ta’ala dalam Qur’an surat Al Baqarah ayat 183:
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib menjelaskan ciri-ciri orang yang bertaqwa meliputi 4, yaitu: Ciri pertama, Al-Khaufu minal-Jalil, yakni manusia yang merasa takut kepada Allah ta’ala yang mempunyai sifat Maha Agung. Kedua, Al-‘Amalu bi At-Tanzil, manusia yang beramal dengan apa yang diwahyukan oleh Allah ta’ala. Ciri ketiga, lanjut Mukti, Ar-Ridha bil-Qalil, merasa cukup dan ridha dengan pemberian Allah ta’ala, meskipun hanya sedikit. Keempat, Al-Isti`dadu li Yaumir-Rahil, yaitu sentiasa mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian dan kembali menghadap Allah ta’ala.
Jadi wujud taubat yang hakiki dari negeri ini seharusnya adalah dengan mewujudkan ketaqwaan total seluruh negeri. Dan untuk mewujudkan ketaqwaan total tersebut diperlukan negara yang menerapkan aturan Allah secara total, memimpin dalam ketaatan dan mewujudkan suasana ketaqwaan atas warganya. Wa’allahu a’lam bi ash showab.