Solusi Kontraproduktif Menambah Rumit Dampak Covid



Oleh : Ulianafia

Penanganan Covid-19 sampai hari ini belum menunjukkan kapan waktu akan berakhirnya. Korban masih saja terus berjatuhan. Meski telah hampir 4 bulan negeri ini terjangkiti, namun rakyat tak kunjung juga teredukasi dengan baik. Berbagai kerusuhan, ketakutan yang berlebih dan bahkan sikap mengabaikan  masih saja mewarnai sebagian kehidupan masyarakat ini. 

Akibat belum terurai akan penanganan dan langkah yang efektif dalam penyelesaian wabah ini. Memunculkan berbagai problem sosial yang semakin menjadi. 

Sebagaimana yang dirilis Tempo.co, kriminalitas selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta mengalami tren peningkatan. Secara nasional, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia mencatat ada kenaikan kasus kriminalitas sebesar 11,80 persen dari pekan ke-15 hingga pekan ke-16 di 2020. Baik dari tawuran, pencurian dan perampokan di minimarket, penjembretan dan pembegalan sampai pada bunuh diri karena PHK.

Kriminalitas ini, tidak tercipta kecuali semakin jauhnya kesejahteraan hidup rakyat dan bahkan rakyat terancam mati kelaparan akibat wabah covid-19 ini. Dengan ini maka peran negara patut dipertanyakan. Sebab Sebagaimana faktanya negara sebagai penguasa masih mandul dalam pemberian pelayanan dan perlindungan kepada rakyatnya. Seperti pemberian asimilasi kepada 38.822 napi misalnya. Yang kembali berulah sesaat setelah dibebaskan. Serta pemberian bantuan kepada rakyat yang tumpang tindih dan berjibaku setumpuk syarat. Melarang rakyat negeri mudik namun malah mendatangakan 500 TKA dari China. Semua kebijakan ini sangat nampak kontraproduktif dalam penanganan covid-19 dan dinilai penuh dengan kepentingan sebagian kalangan.

Maka tidaklah semua ini disebabkan melaiy asas dasar yang menjadi pijakan negara ini dalam memimpin yaitu, Demokrasi Kapitalis-sekuler. Sehingga, penyelesaian hanya berorientasi pada fisik semata dan manafikkan akan kebutuhan aspek lainnya. 

Seperti Kapitalis-sekuler menafikkan naluri-naluri (gharizah) lain dalam diri manusia. Kemudian menjadikan materi sebagai tujuan dengan kebebasan yang diagung-agungkan alias menafikkan aturan agama dalam kehidupan. Sebagaimana naluri beragama, naluri melestarikan keturunan dan naluri mempertahankan diri. Selain memang ada kebutuhan jasmani yang menjadi kebutuhan primer.

Terkait hal ini Islam hadir untuk memberi jalan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan itu. Terkait naluri beragama (gharizah taddayun), negara Islam akan menjaga dan menjamin pelaksanaanya. Melalui pendidikan yang berbasis agama Islam, sehingga masyarakat akan terbina akidahnya dengan lurus. Mengenal Pencipta mereka, mengetahu hakikat hidup di dunia yang tiada lain ialah untuk beribadah (Abdullah), serta mengetahui akan tempat akhir kehidupannya. 

Selanjutnya, dalam penjagaannya negara akan menutup semua akses-akses kemaksiatan yang dapat melemahkan dan melunturkan akidah. Seperti, vidio porno, film dan berbagai tontonan yang mengandung kesyirikan dan tidak mengantarkan kepada kekuatan iman, melarang peredaran menimun keras dan narkotika, serta menutup tempat- tempat kemasiatan. Kemudian penegakan hukum yang tegas bagi pelaku pelanggaran. Dengan demikian rakyat akan memiliki standar kebenaran dan kebathilan yang sama, yaitu ridha dan murka Allah semata. 

Selanjutnya, naluri melestarikan keturunan (gharizah nau'). Negara islam akan menjamin setiap rakyatnya untuk bisa menikah. Saat setelah ia sudah baligh dan mampu. Seperti perhatian yang begitu besar ditunjukan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz saat memerintahkan kepada salah satu gubernurnya.
“Coba carilah seandainya masih adakah para gadis dan perjaka (para jomblo) yang belum menikah semata-mata dikarenakan ketiadaannya harta. Maka seandainya kamu mampu (dana mencukupi) maka segeralah nikahkan mereka semua dan berilah (bayarkanlah) uang maharnya,” perintah Sang Khalifah pada gubernurnya, Abdul Hamid.

Sebab, sebagaimana Umar bin Khatab berkata, “Tidak ada yang menghalangimu menikah, kecuali kelemahan dan kemaksiatan”.

Maka, begitulah perhatian seorang pemimpin dalam Islam akan segala kebutuhan dan keselamatan rakyat-rakyatnya. 

Begitupun dengan naluri baqa' dan kebutuhan jasmani lainnya. Negara yang sebagai periayah akan memenuhi dan menjamin terpenuhinya semua kebutuhan dasar rakyatnya. Yang tentu dengan jalan-jalan yang telah ditunjukan oleh Islam. Seperti membagi hak kepemilikan, baik kepemilikan pribadi maupun umum. Sehingga, rakyat akan terjaga dan terlindungi hak-hak kekayaannya dan pembelanjaannya secara baik dan bertanggungjawab.

Seperti pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang benar dan shahih. Yaitu, SDA haram untuk diprivatisasi ataupun diswastanisasi, namun harus dikelola oleh negara dan sepenuhnya untuk pemenuhan kebutuhan rakyat. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saat tambang garam akan dikelola oleh seorang sahabat, namun kemudian Rasulullah melarangnya saat diingatkan oleh salah seorang sahabat yang lain. Sebab, tambang garam merupakan SDA milik umum.

Selain itu ada pembentukan kas Baitul Mal sebagai  sumber pemenuhan kebutuhan rakyat. Dimana pendistribusian dan pengelolaannya dilakukan oleh negara secara adil.

Jadilah rakyat akan merasakan kesejahteraan hidup, baik fisik maupun psikis serta pondasi iman yang kuat. Sehingga, rakyat tidak akan melakukan tindak kriminal dengan mudahnya dengan tanpa rasa takut. Sekalipun jika terjadi masa krisis. 

Sebab, keimanan yang selalu terjaga akan membimbing seseorang kepada perilaku yang mulia. Sekaligus mencegah dari perbuatan dzalim. Menjaga keikhalasan hanya untuk mendapat ridho Allah SWT semata.

“Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”

Wallahu'alam bishawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak