Oleh: Maya A.A. (Gresik)
Pandemi virus corona COVID-19 telah mengancam asasi paling dasar bagi setiap manusia, yakni hak untuk hidup. Secara global, lebih dari 200 ribu jiwa melayang akibat serangan virus tersebut. Tak sampai di situ, kini kelaparan juga tengah mengintai nyawa ratusan juta penduduk dunia.
Dilansir oleh Tempo 23/4, lembaga dunia World Food Program mengatakan masyarakat dunia menghadapi ancaman kelaparan besar-besaran dalam beberapa bulan lagi akibat resesi ekonomi yang dipicu pandemi COVID-19 atau virus Corona.
Saat ini ada 135 juta orang menghadapi ancaman kelaparan. Proyeksi dari WFP menunjukkan jumlahnya bisa meningkat dua kali lipat menjadi 270 juta orang. Jumlah ini masih bisa bertambah karena ada sekitar 821 juta orang yang kurang makan. Sehingga, total warga dunia yang bisa mengalami bencana kelaparan melebihi 1 miliar orang.
Bencana pangan ini bisa terjadi di sekitar 55 negara jika melihat pada skenario terburuk. Adapun negara negara yang menempati peringkat terburuk terkait ancaman kelaparan tersebut adalah Yaman, Kongo, Afganistan, Venezuela, Ethiopia, Sudan Selatan, Suriah, Nigeria dan Haiti. PBB mengingatkan wabah virus Corona ini bisa menyebar juga ke Afrika dan menyebabkan bencana kemanusiaan besar.
Eksekutif Direktur WFP, David Beasley, mengatakan bahwa negara-negara tersebut menghadapi opsi sangat buruk yaitu menyelamatkan warganya dari infeksi virus Corona tapi kemudian warganya meninggal akibat kelaparan.
Sejak bertahun-tahun lalu, kelaparan memang masih menjadi momok bagi jutaan manusia. Namun kondisi tersebut kini semakin memburuk ketika secara bersamaan, dunia dilanda krisis akibat pandemi wabah SARS-CoV-2. Banyaknya korban berjatuhan, macetnya perekonomian di berbagai level dan sistem kesehatan yang kurang mumpuni di sejumlah negara berkembang tentu akan menyedot anggaran negara yang tak sedikit. Ujungnya, tekanan besar terhadap sumber daya pangan dipastikan tidak akan sanggup dihadapi oleh negara-negara kapitalis.
Namun yang sebenarnya terjadi adalah sama saja. Dengan atau tanpa pandemi, kapitalis mustahil mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya secara keseluruhan. Terbukti, sebelum wabah, dunia masih memiliki hampir 1 miliar penduduk yang kurang pangan. Sementara Indonesia, terdapat 22 juta dan akan bertambah 2 kali lipat di tengah wabah.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Tak lain tak bukan karena sistem kerja kapitalis memang didesain untuk mengenyangkan perut para cukong semata dan mengabaikan hak rakyat jelata. Sehingga yang terjadi adalah ketimpangan sosial pada level individu hingga bangsa.
Sebuah data menunjukkan, satu dari delapan orang seluruh dunia menderita busung lapar. Menangapi hal itu, Pengamat Ekonomi Universitas Pendidikan Indonesia, Arim Nasim pada 2016 lalu mengatakan bahwa kelaparan tersebut bukan karena tidak tersedia nya sumber daya alam. Tapi karena 80% kekayaan dunia dimonopoli oleh 20% manusia.
Paradigma ekonomi semacam ini tentu saja dilegalkan, bahkan akan terus dipelihara oleh kapitalisme. Endingnya, kekayaan hanya terakumulasi di tangan segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat sisanya tetap hidup dalam keterbatasan. Parahnya, diakui oleh para ahli, eksistensi kemiskinan tersebut hanya mampu ditekan/diturunkan, bukan untuk dihilangkan.
Menangani masalah ini, konsep Islam dalam institusinya yang bernama khilafah telah memberikan solusi. Dari hulu, fokus sistem ekonomi Islam ada pada distribusi kekayaan dengan melarang keras monopoli terhadap barang barang milik umum seperti SDA dan komoditas strategis. Sehingga dengan begini, negara bisa leluasa mengelolanya untuk dikembalikan lagi manfaatnya kepada rakyat.
Ditambah lagi harta milik negara seperti pungutan jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, dst. Dengan kekayaan yang sedemikian besar sangat memungkinkan negara Khilafah mampu mengurusi hajat rakyatnya termasuk dalam kondisi pandemi baik untuk kebutuhan pangan, kesehatan, kebutuhan energi, dan sebagainya. Didukung pula dengan prinsip anggaran yang bersifat mutlak untuk pemenuhan hajat rakyat yang bersifat asasi.
Tak hanya itu, negara juga memiliki peranan yang bersifat sentralistik dalam pengaturan seluruh aspek kehidupan termasuk tata kelola pangan. Dengan ini, meski swasta boleh memiliki usaha pertanian, namun rantai pasok pangan akan tetap dikuasai negara dan tidak boleh dialihkan kepada korporasi. Sehingga, negara bisa leluasa melakukan intervensi dalam keadaan apapun, termasuk ketika lock down.
Selanjutnya, dalam menangani krisis pangan, negara juga melarang keras warganya untuk melakukan penimbunan dan memberi sanksi tegas bagi pelakunya. Selain untuk menjaga ketersediaan pangan, langkah ini juga untuk mencegah melambungnya harga pangan karena ulah spekulan.