Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulius Ideologis
Maraknya pos larangan mudik yang belum dibuka di sejumlah jalan arteri di perbatasan Jabodetabek, semakin menunjukkan penanganan kebijakan larangan mudik oleh pemerintah yang amburadul. Seperti yang disampaikan oleh Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sekaligus anggota Komisi II DPR sebagaimana yang dilansir oleh www.indonesiaplus.id, 24/4/2020.
Menurut Mardani, kebijakan pelarangan mudik yang diambil pemerintah sudah amat terlambat. Pasalnya, tak lepas sudah banyak masyarakat mencuri start mudik dan berpotensi menyebarkan Covid-19 di kampung halaman.
Sebelumnya, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Jawa Barat Heri Antasari melaporkan sekitar 350 ribu pemudik dini yang masuk ke Jabar sebelum kebijakan larangan mudik dikeluarkan Jokowi. “Sudah terjadi pergerakan dari zona merah ini sangatlah berbahaya,” ungkpanya.
Meski begitu, Jokowi membantah bahwa mudik tidak sama dengan pulang kampung. Demikian ucapnya dalam wawancara bersama Najwa Shihab pada Rabu (22/4/2020). Sontak hal itu menjadi pembicaraan netizen di Twitter. Hingga kata kunci pulang kampung menjadi topik terpopuler Twitter di Indonesia pada Kamis (23/4/2020).
Jokowi menilai bahwa kegiatan orang yang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman itu bukanlah mudik, melainkan pulang kampung. Katanya, pulang kampung dilakukan untuk kembali ke keluarga di kampung karena sudah tidak memiliki aktivitas atau pekerjaan di kota rantau. Sementara mudik, masih kata Jokowi, dilakukan menjelang Hari Raya Lebaran Idulfitri.
Antropolog dari Universitas Padjajaran, Budi Rajab mengatakan, memang ada perbedaan makna pada istilah pulang kampung dan mudik. Namun, mudik itu sendiri pasti pulang kampung. Dengan demikian, mudik adalah bagian dari pulang kampung. (www.kumparan.com, 24/4/2020)
Aturan larangan mudik sudah resmi diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan dalam Permenhub nomor 25 Tahun 2020, yang berjudul Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Permenhun ini mengatur sejumlah hal, terkait durasi larangan, ruang lingkup, hingga jenis transportasi serta pelaksanaannya. (www.kumparan.com, 24/4/2020)
Tetapi Permenhub di atas memiliki kelemahan, karena secara spesifik ketentuan Permenhub merujuk pada mudik sebagaimana tertulis pada nama aturannya.
Lantas, bagaimana bila ada orang yang akan pulang kampung? Apakah ketentuannya sama? Bagaimana caranya petugas yang mengawasi ketentuan itu membedakan pulang kampung atau mudik? Hal itu dikarenakan pada Permenhub tidak disebut sama sekali mengenai pulang kampung. Ditambah lagi Permenhub juga tidak memuat definisi dari kata mudik.
Sementara itu pengamat transportasi dari ITB, Sony Sulaksono Wibowo mengatakan larangan mudik tidak signifikan bisa mencegah orang tidak mudik. Ia mengkhawatirkan kondisi masyarakat menengah ke bawah tetap akan pulang kampung saat sudah tidak tersedia pekerjaan di tempatnya merantau.
Dengan alasan daripada nganggur lebih baik pulang kampung, hal itu yang terjadi saat ini. Walau dilarang, tapi tidak bisa menutup keran mudik, karena pasti akan terjadi. (pikiran-rakyat.com, 22/4/2020)
Mau dibilang apalagi, pemerintah tak sanggup membiayai kebutuhan pokok rakyatnya selama masa stay at home atau di Rumah Saja, puluhan ribu pekerja dirumahkan alias PHK massal. Belum lagi puluhan ribu jumlah napi yang dibebaskan juga berupaya mempertahankan diri mencari sesuap nasi setelah bebas. Akhirnya pilihan mudik atau pulang kampung menjadi alternatif untuk dapat bertahan hidup dari bahaya kelaparan.
Tidur di emperan toko karena tak mampu membayar rumah kos-kosan juga ditempuh untuk bertahan tinggal di kota. Mudik dilarang, pekerjaan telah hilang, nyawa terancam melayang. Itulah gambaran sebagian besar masyarakat kita saat ini. Hendaknya pemerintah mengevaluasi setiap protokol kebijakan larangan mudik dan pulang kampung. Karena masih banyak celah yang bisa berdampak negatif bagi rakyat.
Inilah kisah manusia yang akan terus berulang selama masih hidup dalam kegelapan sistem kapitalis. Tak ada cahaya harapan kehidupan yang tenang dan damai. Selalu penuh penderitaan dan kesulitan. Bukankah ini yang telah Allah SWT firmankan pada umat-Nya,
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS Thaha:24)
Sejatinya, tugas utama penguasa adalah sebagai pelayan rakyat bukan pelayan para kapitalis. Sebagai pelayan umat pemimpin dalam Islam memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Khalifah Umar ra, bahwa jika ada salah seorang warganya yang mengeluhkan pola kepemimpinannya, ia akan bermuhasabah diri hingga tak bisa memejamkan mata semalam suntuk.
Sayang, pemimpin seperti ini tidak mungkin lahir dari rahim sistem demokrasi sekuler yang jauh dari tuntunan Islam. Karena pemimpin yang banyak melayani dan mendengar hanya mungkin lahir dari rahim sistem yang baik yaitu sistem Islam atau Khilafah. Maka tidakkah kita merindukan kembali kehadiran sistem Islam di tengah-tengah kita yang bisa melahirkan para pemimpin yang melayani rakyat dan bertanggung jawab? Sampai kapankah kita kaan bertahan dalam kondisi yang hanya bisa diam dan menggigit jari?
Wallahu a’lam bi ash showab