Siasat Politisasi Bansos dibalik Pandemi




Oleh: Heni Ummu Ghooziyah
(Anggota Revowriter)

Dampak yang cukup berat dirasakan masyarakat ditengah serangan pandemi Corona (Covid-19) saat ini. Hal ini terlihat dari mencuatnya berita tentang banyaknya rakyat kelaparan juga kasus bunuh diri akhir-akhir ini. Harapan rakyat untuk mendapatkan bantuan secara merata dari negara sepertinya harus pupus di tengah jalan. 

Bagaimana tidak, nyatanya data yang sudah dikumpulkan ketua RT untuk warga yang perlu mendapatkan bantuan tak berguna. Lantaran bantuan yang akan diterima tidak sesuai dengan data pengajuan. Seperti halnya yang terjadi di Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru, Riau. Salah satu ketua  RW, M Ikhwan menolak bantuan sembako untuk warga yang terdampak Corona. Dengan alasan data penerima bantuan tidak sesuai dengan data yang diajukan RT dan RW. (Minggu, 27/4/2020 kepada Kompas.com)

Tak hanya itu penyaluran bantuan sosial (bansos) berupa paket sembako untuk warga terdampak virus Corona (Covid-19) juga sempat tersendat. Keterlambatan bansos tersebut nyatanya membuat rakyat semakin sengsara. Hal ini juga diakui oleh menteri sosial (Mensos) Juliari Batubara, bahwa penyebab keterlambatan tersebut karena harus menunggu tas untuk mengemas paket sembako. "Awalnya iya (sempat tersendat) karena ternyata pemasok-pemasok sebelumnya kesulitan bahan baku yang harus import," katanya kepada wartawan, Rabu (29/4). Mengapa pembagian paket bansos harus menunggu tas pembungkus yang bahannya harus impor?

*Politisasi Bansos*

Nyatanya tas untuk mengemas paket sembako yang dimaksud itu bertuliskan 'Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19' yang diberi warna merah putih. Logo Presiden Republik Indonesia dan Kementerian Sosial serta cara-cara agar terhindar dari virus corona juga terpampang jelas di tas tersebut.

Hal ini memantik polemik dan memunculkan banyak kritik dari masyarakat. Karena terkesan bantuan tersebut dikeluarkan langsung oleh Presiden Jokowi. Padahal jelas sumber dana bantuan sosial tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipungut dari uang rakyat. Apa maksudnya? Jelas pembagian bansos telah dipolitisasi.

Siasat politisasi bansos merupakan salah satu trik kampanye dalam politik. Eropa lebih mengenalnya dengan istilah pork barrel atau gentong babi kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo. "Tujuannya tentu untuk membangun favorability, kesukaan terhadap dia," tutur Kunto kepada CNNIndonesia.com, Rabu (29/4).

Fenomena politisasi bansos tak hanya terjadi di tingkat nasional, namun telah menggurita hingga ke daerah. Seperti yang terjadi di Klaten pengguna Twitter pun ramai mengkritik keras dengan mengunggah tagar #BupatiKlatenMemalukan. Tagar itu sempat memuncaki trending topic pada Senin (27/4). Kejadian bermula dari foto bansos yang viral di media sosial. Dalam paket bantuan sosial mulai dari beras, masker, hand sanitizer hingga buku tulis untuk siswa tertempel wajah Bupati Klaten Sri Mulyani. 

*Rakyat Jadi Korban*

Rentetan peristiwa tersebut makin menegaskan bahwa penanganan wabah pun tak lepas dari politisasi demi kepentingan pencitraan untuk mengukuhkan kursi rezim. Lagi-lagi rakyat yang harus menjadi korban. Seperti nasib yang dialami satu keluarga yang terdiri dari tujuh orang ditemukan warga sudah lemas karena kelaparan di tengah kebun di Kelurahan Amassangan, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Kejadian yang hampir sama juga dialami oleh 12 mahasiswa yang diamankan di sebuah penginapan di Seram Barat. "Mereka kami tahan karna melanggar larangan PSBR selama masa pandemi," kata Alberto selaku Kepala Bagian Satuan Polisi Pamong Praja Seram Bagian Barat, Minggu (3/5) sore. Salah seorang mahasiswa mengungkapkan mereka nekat mudik ke kampung halaman lantaran kehabisan uang belanja dan sempat menahan lapar. 

Keadaan rakyat saat ini sungguh miris bagaikan tikus mati di lumbung padi. Negeri gemah ripah loh jinawi nyatanya tak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya. Semua ini adalah dampak dari sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Jargon dari, untuk, dan oleh rakyat tidak sesuai dengan kenyataan bahwa berbagai macam kebijakan yang diambil sesuai dengan keinginan para kapitalis. Tidak ada kebijakan-kebijakan yang diambil murni untuk rakyat. Lihat saja seperti pembagian bansos ditengah pandemi seperti ini, para penguasa masih tega mengambil kesempatan sebagai ajang pencitraan memikat hati rakyat. Meskipun sebenarnya yang dipakai adalah uang yang berasal dari rakyat itu sendiri. 

*Bagaimana Solusinya?*

Sejatinya peran negara adalah untuk mengurusi rakyatnya hingga mampu merasakan kesejahteraan secara adil dan merata. Namun selama kita masih mengekor pada sistem kapitalis yang ditawarkan barat, selama itu pula solusi-solusi tuntas nan mulia tidak akan pernah terwujud nyata. Kapitalis, sebuah sistem yang diterapkan semata-mata hanya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi para pemilik modal. Tidak akan pernah mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat. Sehingga sistem yang penuh dengan tipuan ini harus segera diakhiri demi kesejahteraan rakyat dan kebersahajaan bangsa. 

Begitupun dengan kepemimpinan dalam Islam. Islam memberikan solusi tuntas akan sosok kepemimpinan. Tak akan ada pemimpin yang mengambil kesempatan dalam kesulitan rakyatnya. Dalam Islam kepemimpinan tak memerlukan pencitraan, sebab merupakan amanah yang sungguh berat. Konsekuensinya adalah surga atau neraka. Maka tak akan ada lagi pemimpin yang berani menelantarkan rakyatnya hanya untuk menunggu tas bertuliskan "tas bantuan Pemimpin/Presiden". Ataupun memangkas data yang seharusnya  memang layak mendapatkan bantuan dari negara. Para pemimpin dalam sistem Islam juga tidak akan mengambil untung rugi untuk kepentingan pribadi. Dalam pengambilan kebijakan yang paling utama adalah untuk mensejahterakan dan melindungi rakyatnya. Semisal Khalifah Umar bin Khattab yang seketika mengetahui ada salah seorang rakyatnya kelaparan bersama anak-anaknya, langsung memanggul makanan dan membawakannya langsung kerumahnya. Tak perlu menunggu tas bantuan untuk sekedar pencitraan.

Indonesia adalah negeri yang kaya raya akan sumber daya alam, bahkan dunia pun mengakuinya dan ingin memperebutkannya. Sudah seharusnya pemimpin negeri ini mampu mengelolanya dengan benar untuk kemaslahatan rakyat. Sehingga tak layak jika negara abai terhadap urusan rakyat apalagi di tengah pandemi seperti ini hanya karena alasan belum atau tidak ada dananya. Maka sudah semestinya negeri ini kembali menengok kembali sejarah kedaulatan Syara'. 

Begitulah Islam mengatur sistem yang diterapkan harus sesuai dengan hukum Allah selaku Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Begitupun dengan pemimpin dalam Islam harus tunduk patuh kepada hukum Allah dalam setiap pengambilan kebijakan yang akan diambilnya. Sebab para pemimpin sejatinya adalah pelayan umat dan  sungguh sangat berat pertanggungjawabannya kelak dihadapan Allah Ta'ala.  

Dan pemimpin negeri sepatutnya merenungkan kembali salah satu hadits Rasulullah shalallahu ' alaihi wasallam berikut : "Tidaklah seorang hamba yang Allah angkat untuk mengurusi urusan rakyat itu mati pada hari ia mati, sementara ia menipu (mengkhianati) rakyat, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Semoga negeri ini dikaruniai pemimpin yang amanah dan diberkahi Allah Ta'ala sehingga kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat diseluruh pelosok negeri ditengah pandemi seperti saat ini. Aamiin
Wa'allahu 'alam


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak