Oleh: Khaulah Ariska
Saat ini, Indonesia pun dunia umumnya masih disibukkan dengan corona virus disease (Covid-19) karena wabah ini memukul berbagai aspek vital kehidupan mulai dari aspek sosial, aspek ekonomi yang akhirnya collapse dan lainnya tak terkecuali aspek pendidikan yang akhirnya dijalankan secara online. Pemerintah pun mulai membuat sejumlah kebijakan dalam upaya penanganan, tetapi dinilai bak ‘siput berjalan’ karena lamban apalagi saat masih panas-panasnya virus menyebar, pemerintah justru membuka keran lebar-lebar bagi para investor asing yang berasal dari episentrum wabah, lantas percaya diri dengan penyelesaian melalui herd immunity pun melegalkan kebijakan tambal sulam dan tumpang tindih lainnya.
Dalam dunia pendidikan, baru-baru ini muncul salah satu kebijakan yang menyita perhatian publik, yaitu terkait rencana Kemdikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) untuk membuka kembali sekolah pada pertengahan Juli 2020. Walau Plt.Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, Muhammad Hamid menegaskan bahwa rencana ini dimungkinkan untuk sekolah-sekolah yang telah dinyatakan aman dari wabah corona pun nantinya kegiatan sekolah akan menggunakan protokol kesehatan dan diwajibkan memakai masker, namun kebijakan ini justru meresahkan dan menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi rakyat terutama para guru.
Dilansir dari laman CNN Indonesia, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan, menyangsikan koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terlihat tak sinkron dalam penanganan corona.”Kalau ingin membuka sekolah di tahun ajaran baru, oke itu kabar baik. Tapi (datanya) harus betul-betul(tepat), mana (daerah) yang hijau, kuning, merah”, tuturnya kepada CNN Indonesia.com, Sabtu (9/5).
Sudah seharusnya rencana kurang matang ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan. Bagaimana tidak, pemerintah dengan santainya berencana membuat kebijakan yang justru tidak didasarkan pada data-data valid terkait pemastian bahwa Covid-19 tidak lagi menyebar, terkait penderita Covid-19 sudah terisolasi juga terkait mana zona merah dan mana zona hijau. Apalagi untuk pengoordinasian perihal jumlah pasien positif atau penanganan saja masih tak sinkron antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ditambah tes akurat secara massal dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk memastikan seseorang menderita Covid-19 atau tidak saja belum dilakukan, dengan dalih bahwasanya masih kekurangan alat. Padahal sebelumnya pemerintah telah memotong dana pendidikan sebesar triliunan rupiah yang katanya dialihkan untuk penanganan wabah Covid-19. Na’udzubillah.
Sebaiknya pemerintah tidak perlu menggaungkan rencana yang asal-asalan, tidak berpikir matang yang berpotensi membawa petaka yang lebih parah lagi.
Begitulah penguasa yang hanya pandai beretorika perihal kebijakan tetapi yang terlaksana hanyalah kosong melompong. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh al-Hakim bahwasanya akan tiba suatu masa di mana urusan umat akan diurusi oleh orang Ruwaibidhah. Ketika sahabat bertanya “Siapa Ruwaibidhah itu?” Rasulullah Saw. menjawab, “Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum”. Astagfirullah.
Begitulah potret watak penguasa saat ini. Mulai dari membuat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang notabene lebih praktis daripada lockdown total karena lebih sedikit menyerap biaya apalagi amanah periayahan umat diserahkan oleh pemerintah pusat pada daerah yang pada akhirnya PSBB berlaku hanya di beberapa daerah. Demikian juga dalam bidang pendidikan, yang awalnya kebijakan menjalankan pembelajaran melalui online hingga kebijakan aneh membuka sekolah di tengah virus yang masih menyebar guna kemaslahatan ekonomi negara. Bukankah dari awalnya sudah keliru karena lebih mementingkan ekonomi dari nyawa rakyat, lantas mengapa kembali berhasrat menjadikan rakyat sebagai tumbal?
Begitulah potret penguasa zalim yang menetapkan kebijakan tak menitikberatkan pada kemaslahatan rakyat. Penguasa yang lahir dari rahim bobrok sistem kapitalisme yang berakidahkan sekularisme yang memisahkan antara agama dan kehidupan tentu berefek pada pemisahan agama dari negara. Sekularisme dengan paham-paham turunannya yang batil seperti paham materialisme mengakibatkan penguasa membuat kebijakan yang didorong profit semata dan cenderung tak mencapai garis finish pun lebih memihak para elit berduit lantas mengorbankan nyawa rakyat. Sehingga kesejahteraan rakyat semata-mata sebuah fatamorgana.
Lain lagi dengan sistem Islam. Kebijakan penguasa berdasarkan aturan sahih yang berasal dari Tuhan Pencipta bumi beserta segala lainnya, Allah Swt, sehingga kesejahteraan rakyat tak perlu disangsikan karena justru berada pada urutan teratas walau bukan dalam kondisi berlangsungnya wabah. Penguasa sangat sigap dan hati-hati akan pemenuhan kebutuhan rakyatnya, sehingga apalagi terjadi wabah, penguasa bergerak cepat membuat kebijakan menghentikan penularan dengan melakukan lockdown terhadap wilayah yang terkategori zona merah, sedangkan untuk wilayah di luarnya tetap menjalankan aktivitas sebagaimana biasanya agar pendidikan, ekonomi negara, pun aspek lainnya tetap stabil. Dalam melakukan lockdown, negara menanggung semua kebutuhan rakyatnya tanpa terkecuali.
Dari situ jelas bahwasanya selama kita masih bernaung di bawah sistem sekular kapitalisme, maka selama itu pula untung-rugi/asas manfaat akan berselancar dalam kehidupan antara penguasa dan rakyatnya. Lantas di mana kita menjumpai penguasa yang andilnya demi kesejahteraan rakyat? Hanya dalam sistem Islam, Khilafah, yang penguasanya dididik atas wahyu Allah dan berdasar pada teladan mereka, Rasulullah Saw yang sadar betul akan pertanggungjawaban di depan Sang Maha Adil atas amanah yang diembannya ini. Penguasa di sistem Islam tak akan membuat kebijakan yang ‘mencekik’ rakyat di bawah tanggungannya. Maka, sudah sepatutnya kita tetap berada dalam garda terdepan memperjuangkan Islam untuk diterapkan secara kafah dalam kehidupan, yaitu dengan tegaknya daulah Khilafah Islamiyyah.
Wallahu a'lam
Tags
Opini